TAHUN 2014 TERJADI 472 KONFLIK AGRARIA

Jakarta, WARTA-bphn

Konflik Agraria yang acapkali terjadi dan merebak ini pertanda utama dari kebutuhan untuk segera dilaksanakannya Pembaruan Agraria. Demikian yang dilontarkan, Ahyar Ari Gayo, Ketua Penelitian Hukum tentang Penegakan Hukum Konflik-konflik Agraria yang terkait dengan Hak-hak Masyarakat Adat.

Lebih lanjut beliau katakan, Konflik Agraria yang terjadi selalu disebabkan oleh alasan ketimpangan kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria atau yang disebut ketimpangan struktur agraria. Selama 2009 – 2014, jumlah konflik agraria struktur, yaitu konflik agraria yang diakibatkan oleh kebijakan atau putusan pejabat publik dan mengakibatkan banyak korban serta berdampak luas secara sosial, ekonomi dan politik di Indonesia meningkat dengan tajam. Pada Tahun 2009 terjadi 89 konflik agraria. Jumlah ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Dan Tahun 2014 terjadi 472 konflik agraria, ini menjadi keprihatinan kita bersama, jelas Ahyar.

Berdasarkan latar belakang tersebut, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) memandang perlu melakukan Penelitian Hukum tentang Penegakan Hukum Konflik-konflik Agraria yang terkait dengan Hak-hak Masyarakat adat, sehingga diketahui akar permasalahan yang terjadi pada masyarakat.

Adapun Permasalahan yang akan diteliti menyangkut a). Kebijakan apa yang dilakukan Pemerintah untuk menyelesai Konflik Agraria yang terkait dengan Hak-hak masyarakat adat; b) Bagaimana Penegakan Hukum Konflik-konflik Agraria yang terkait dengan hak-hak masyarakat adat Pasca Putusan Mahkamah Kontitusi; serta c) Apa hambatan dan bagimana Solusi penyelesaian penegakan hukum konflik agraria yang terkait dengan hak masyarakat adat.

Sementara tujuan Penelitian hukum ini adalah:1. Untuk mengetahui reaksi pasca putusan Mahkamah Kontitusi terhadap Penyelesaian Konflik Agraria oleh Pemerintah; 2.    Untuk mengetahui penyelesaian konflik agraria melalui cara pemberian sertifikat kepemilikan atau mekanisme kearifan lokal; 3.    Revisi UU Agraria sebagai bagian dari pemebrian hak atas tanah sebagai bagian dari kearifan lokal.

Untuk itu kami mengharapkan kritik ataupun saran baik dari narasumber maupun dari peserta undangan yang hadir dalam kegiatan ini, harap Ahyar.*tatungoneal