Soroti Tantangan dalam Pembentukan PUU di Indonesia, Kapusren BPHN Bahas Agenda Penataan Regulasi dengan Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri

BPHN.GO.ID – Jakarta. Pembentukan peraturan perundang-undangan (PUU) di Indonesia saat ini menghadapi sejumlah tantangan signifikan, termasuk masalah over regulasi, peraturan yang tumpang tindih, realisasi capaian, serta tingkat Kepatuhan dalam proses pembentukan PUU yang masih tergolong rendah.  Padahal, usulan PUU yang diajukan tiap tahunnya juga tidak sedikit. Fenomena ini mencerminkan adanya kesenjangan antara kuantitas usulan dengan efektivitas implementasinya.

Mencermati hal tersebut, Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Arfan Faiz Muhlizi, menekankan pentingnya perencanaan PUU yang matang sekaligus membangun mekanisme penilaian guna memastikan kepatuhan dalam pembentukan PUU untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut. Menurutnya, pada tahap awal perencanaan diperlukan penelitian dan kajian komprehensif mengenai landasan hukum, substansi kebijakan, analisis evaluasi peraturan, serta dampak penerapan regulasi (Cost & Benefit Analysis).

“Selain itu, perlu dipahami bersama bahwa tidak seluruh permasalahan hukum harus diselesaikan dengan regulasi. Oleh karena itu pembentukan regulasi harus diseleksi sesuai kebutuhannya.  Terlalu banyak regulasi berpotensi adanya disharmoni PUU,” pungkas Arfan ketika bertindak menjadi narasumber dalam kegiatan Fasilitasi Koordinasi Penyelesaian Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan Bidang Otonomi Daerah, Selasa (21/05/2024). 

Dalam acara yang diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Ditjen Otda) tersebut, Arfan juga menyampaikan bahwa pembentukan regulasi hanya satu bagian dari substansi hukum dalam sistem hukum nasional. Penyelesaian masalah hukum harus memperhatikan pula aspek nonregulasi, seperti struktur hukum (sarana, prasarana, dan aparatur) serta budaya hukum.

Menurut Arfan, salah satu instrumen perencanaan peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan yaitu melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas), serta Program Penyusunan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden (Progsun PP/PerPres),  yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Untuk Prolegnas, Pemerintah, DPR dan DPD merupakan pihak-pihak yang berwenang untuk menyusunnya.

“Prolegnas merupakan ‘pintu masuk’ pertama dari pembentukan suatu UU. Kita juga perlu memperhatikan dengan cermat RUU apa saja yang diusulkan untuk masuk dalam daftar Prolegnas. Pengusulan RUU harus dilakukan analisis kebutuhan terlebih dahulu secara objektif,” jelas Arfan dalam acara yang berlangsung di Hotel A One, Menteng, Jakarta Pusat.  

Sebagai instansi yang bertugas melakukan pembinaan hukum, BPHN juga turut andil dalam proses perencanaan hukum nasional. Salah satu langkah strategis yang dilakukan BPHN yakni dengan membangun sebuah sistem/aplikasi perencanaan hukum bernama Sirenkum. Melalui aplikasi ini, pengusulan RUU prakarsa Pemerintah dalam Prolegnas dan pengusulan RPP/RPerpres dalam Progsun PP/Perpres dapat dilakukan secara daring. 

“Pengusulan tiap tahun akan dimulai pada bulan Juli sampai September. RUU atau RPP/Rperpres yang telah masuk dalam Prolegnas Prioritas dan Progsun PP/Perpres juga akan dilakukan pemantauan progresnya melalui aplikasi Sirenkum,” ungkap Arfan. 

Di aplikasi Sirenkum, pemrakarsa harus dapat menyampaikan justifikasi atas urgensi usulannya melalui daftar pertanyaan yang sudah disediakan. Misalnya pertanyaan apa dan bagaimana kondisi/gejala/fenomena yang dihadapi saat ini, apa akar masalah dari kondisi/gejala/fenomena tersebut, serta apakah intervensi peraturan perundang-undangan merupakan solusi dari akar masalah tersebut ataukah sebenarnya ada solusi lain selain regulasi. 

Daftar pertanyaan tersebut berfungsi sebagai alat analisis yang akan memberikan gambaran dan memastikan bahwa peraturan yang akan disusun memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Kita juga dapat memperoleh gambaran analisis dampak pengaturan sebagai data yang objektif dalam penentuan kebijakan. 

Selain itu, Sirenkum juga digunakan sebagai sarana monitoring perkembangan usulan RUU, RPP, dan RPerpres, sekaligus memberikan penilaian Kepatuhan atas proses pembentukan PUU yang sedang berjalan. (HUMAS BPHN)