BPHN.GO.ID – Sukabumi. Pada September 2023 silam, publik dikejutkan dengan polemik pengelolaan dana bantuan hukum yang dilakukan oleh 85 kepala desa di Sukabumi. Berdasarkan informasi terbaru, MP Lawfirm, yang merupakan mitra kerja sama bantuan hukum desa, melakukan gugatan ke Inspektorat dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) Kabupaten Sukabumi terkait polemik tersebut.
Saksi Ahli dari Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM (BPHN Kemenkumham), Masan Nurpian, menerangkan bahwa pemberian layanan bantuan hukum harus dilaksanakan oleh lembaga yang terakreditasi oleh Kemenkumham sebagai organisasi Pemberi Bantuan Hukum (PBH). Lebih lanjut, penerima program bantuan hukum merupakan orang dan/atau kelompok orang miskin.
“Oleh karena itu, bagi setiap lembaga yang akan mengakses APBN dan/atau APBD maka harus dilakukan oleh PBH dan penerimanya harus seseorang yang berstatus tidak mampu (miskin),” jelas Masan ketika memberikan keterangan dalam sidang yang berlangsung di PTUN Jawa Barat, Bandung, pada Kamis (21/03/2024).
Masan menambahkan bahwa setiap desa mendapatkan Dana Desa yang di antaranya dapat digunakan untuk program bantuan hukum di wilayah masing-masing. Program bantuan hukum di desa dengan menggunakan Dana Desa harus tetap mengikuti mekanisme Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
“Kendati Permendes Nomor 8 Tahun 2022 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2023 dan Pedoman Umum Pelaksanaan Penggunaan Dana Desa Tahun 2023 memungkinkan alokasi anggaran Dana Desa untuk bantuan hukum, penyalurannya harus tetap sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, khususnya UU Bantuan Hukum dan peraturan pelaksana di bawahnya,” tambah Masan.
Penggunaan Dana Desa untuk layanan bantuan hukum, menurut Masan, dapat dilakukan oleh pemerintah desa dengan syarat tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2023 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum serta penyaluran Dana Bantuan Hukum.
Dalam kasus kontrak antara Pemerintah Desa dengan MP Lawfirm di Sukabumi, diketahui bahwa pembayaran untuk jasa yang diberikan tidak dilakukan dengan mekanisme reimbursement. Selain itu, apabila merujuk Pasal 55 Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, Pengajuan Surat Permohonan Pencairan (SPP) untuk kegiatan yang seluruhnya dilaksanakan melalui penyedia barang/jasa dilakukan setelah barang/jasa diterima.
“Seharusnya MP Lawfirm mendapatkan pembayaran jasa yang diberikannya melalui reimbursement. Oleh sebab itu, hal tersebut tidak sesuai dengan mekanisme penganggaran, dan penyaluran dana oleh pemerintah dalam hal bantuan hukum,” jelas Masan.
MP Lawfirm juga mempermasalahkan tumpang tindihnya penyelenggaraan bantuan hukum yang diselenggarakan pemerintah melalui BPHN dengan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Masan berpandangan bahwa Pasal 22 tentang UU Advokat telah mengatur mengenai bantuan hukum cuma-cuma yang peruntukkannya bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Advokat tidak boleh meminta honorarium kepada klien yang berstatus tidak mampu tersebut (pro bono) dan juga tidak menerima pembiayaan dari negara.
“Jika Advokat yang bersangkutan menjalankan bantuan hukum dan mendapatkan pembiayaan dari negara, baik pemerintah pusat maupun daerah, maka bantuan hukum yang dimaksud merujuk pada UU Bantuan Hukum, dengan segala konsekuensi kepatuhannya dan mekanisme yang berlaku,” ujar Masan. (HUMAS BPHN)