PEMBAHARUAN HUKUM TANAH

 

 

 

 

 

Sambutan Kepala BPHN, Dr. Wicipto Setiadi SH.,MH

 

Dalam Seminar tentang :

PENYELESAIAN SENGKETA DAN KONFLIK PERTANAHAN DALAM

PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PERTANAHAN NASIONAL

 

Negara kita dewasa ini bergerak dengan sangat dinamis, terlebih dalam era transformasi dan globalisasi. Hal ini makin terstimulasi dengan tatanan kehidupan berbagai perubahan landasan bernegara, termasuk amandemen atas Undang-Undang Dasar 1945. Di situlah puncak terjadinya berbagai perubahan yang menyangkut konstitusi, Undang-Undang dan berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Perubahan tersebut terjadi dalam gelombang demokratisasi yang tinggi, serta berbagai tuntutan kebebasan, sehingga sarat dengan kritik-kritik yang tajam atas sistem sebelumnya, termasuk yang terkait dengan sistem hukum pertanahan. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar dalam tahap penataan serta penyesuaian pada masa transisi. Terang Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Wicipto Setiadi pada peserta di Bandung (17/11).

Lebih lanjut dikatakan eksistensi tanah sangat lekat dengan manusia. Tanah adalah kehidupan dan sumber kehidupan bagi makhluk yang ada di bumi ini. Karena itu tanah menjadi sangat penting.  Tanah senantiasa memiliki fungsi dan peran yang bernilai tinggi baik dari sudut ekonomi, sosial, dan politik, khususnya untuk negara yang memiliki corak agraris. Sebagian masyarakat, tanah juga menjadi symbol status yang bermakna kultural. 

Perkembangan hukum pertanahan termasuk di Indonesia bisa dilihat dari beberapa fase dimulai dari  masa kolonial / penjajahan; masa orde lama, periode demokrasi liberal (1945-1959); masa orde lama, periode demokrasi terpimpin (1959-1966); masa orde baru (1966-1998) hingga masa reformasi (1998-saat ini).

Pada masa kolonial, hukum agraria tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan, yang mempunyai sifat dualisme, yaitu berlakunya hukum adat, dan hukum barat. Dualisme semacam ini tentu tidak menjamin kepastian hukum bagi rakyat asli (pribumi). Nuansa dominasi, eksploitasi, diskriminasi, dan dependensi juga terlihat jelas pada masa ini. Beberapa ketentuan yang berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan sangat merugikan rakyat. Hal ini misalnya dapat dilihat dari adanya ketentuan “Contingenten” dan “Verplichte leveranten”, yang menyatakan bahwa pajak atas hasil tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa Kolonial, tanpa dibayar sepeser pun. Bahkan terdapat ketentuan   “Roerendiensten”, yang lebih dikenal  dengan “kerja rodi”, yang dibebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.

Sejak awal kemerdekaan pemerintah telah mengambil langkah-langkah konkret untuk mengakhiri berlakunya UU produk kolonialisme, meskipun kenyataannya UU agraria nasional yang “bulat” baru dapat diundangkan pada tahun 1960. Untuk menyusun UU Agraria yang bercorak nasional dan bulat (menyeluruh) tersebut, maka sejak awal kemerdekaan juga dibentuk komisi atau panitia yang diberi tugas menyusun dasar-dasar hukum agraria baru. 

Rangkaian langkah-langkah dalam membuat peraturan perundang-undangan secara parsial dan membentuk berbagai panitia agraria, bahkan sampai mengajukan RUU- tersebut menunjukkan bahwa pada periode ini pemerintah bersungguh-sungguh untuk membuat hukum agraria yang responsif atau sesuai denggan rasa keadilan dalam masyarakat. Meskipun belum pada hukum agraria nasional yang komprehensif, tetapi dari produk- produknya yang parsial itu, dapat dilihat dengan jelas, hukum agraria pada periode ini berkarakter sangat responsif.

Situasi ini mirip sekali dengan situasi setelah lahirnya reformasi 1998. Perbedaannya adalah bahwa pada masa reformasi ini, perubahan yang dilakukan lebih dimaksudkan sebagai upaya-upaya koreksi atas berbagai kebijakan yang dibuat pada masa Orde Baru maupun kebijakan Orde lama yang tidak responsif yang dilanjutkan oleh Orde Baru.

Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam demokrasi yang semakin menguat,  maka semangat pembaruan agraria juga menggema dan kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang merekomendasikan dilakukannya pembaruan atau revisi terhadap UUPA. Dalam TAP MPR RI No.IX/MPR/2001 dinyatakan bahwa salah satu arah kebijakan pembaruan agraria adalah:

1.  Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah oleh rakyat;

2. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sisematis dalam rangka pelaksanaan landreform.

Hal tersebut dimandatkan secara tegas dalam ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 TAP-MPR No.IX Tahun 2001 di mana DPR RI bersama Presiden ditugaskan untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini, serta untuk segera melaksanakan Ketetapan tersebut dan melaporkan pelaksanaannya pada Sidang Tahunan MPR RI.

Reformasi pertanahan ini harus disesuaikan dengan Pasal 5 ayat 2 Ketetapan MPR RI No.IX/MPR/2001tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang menyebutkan bahwa arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah:

1.  Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini;

2.     Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi pembangunan nasional;

3.  Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional;

4.   Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam tersebut;

5.     Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum;

6.   Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan;

7.   Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasimanfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dankondisi daerah maupun nasional.

Dalam melaksanakan pembaharuan hukum pertanahan, hal yang sangat penting harus diperhatikan adalah bahwa pembaharuan tersebut harus didasarkan pada kesadaran bahwa hukum nasional adalah suatu sistem. Sistem adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan. Sistem ini terdiri  dari sejumlah unsur atau komponen atau fungsi/variabel yang selalu pengaruh-mempengaruhi, terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas dan berinteraksi.

Semua unsur/komponen/fungsi/variabel itu terpaut dan terorganisasi menurut suatu struktur atau pola yang tertentu, sehingga senantiasa saling pengaruh mempengaruhi dan berinteraksi. Asas utama yang mengaitkan semua unsur atau komponen hukum nasional itu ialah Pancasila dan UUD 1945, di samping sejumlah asas-asas hukum yang lain seperti asas kenusantaraan, kebangsaan, dan kebhinekaan. Sistem hukum nasional tidak hanya terdiri dari kaidah-kaidah atau norma-norma hukum belaka, tetapi juga mencakup seluruh lembaga aparatur dan organisasi, mekanisme dan prosedur hukum, falsafah dan budaya hukum, termasuk juga perilaku hukum pemerintah dan masyarakat.

Sebagai suatu proses yang dinamis yang terus menerus mengalami perubahan sesuai dengan dinamika masyarakat, pembaharuan substansi hukum dan pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan perlu  memperhatikan 3 (tiga) hal, yaitu:

a.          Masa lalu yang terkait dengan sejarah perjuangan bangsa.

   Pertimbangan mengenai masa lalu tidak boleh dihilangkan agar pembentukan peraturan perundang-undangan tetap selalu sejalan dengan tujuan dibentuknya negara Indonesia (memenuhi unsur filosofis),

b.        Masa kini yang berkaitan dengan kondisi obyektif yang terjadi saat ini;

    Perhatian terhadap masa kini diperlukan agar peraturan perundang-undangan yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau sederajat hirarkinya dan dapat sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat, sehingga dapat diterapkan secara efektif dan efisien.

c.        Masa yang akan datang sesuai dengan yang dicita-citakan.

       Perspektif terhadap masa datang diperlukan agar pembentuk peraturan perundang-undangan dapat berpikir secara futuristik untuk mengantisipasi perkembangan masyarakat yang berjalan seiring dengan perkembangan teknologi dan globalisasi.

        Dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, kesadaran bahwa hukum adalah suatu sistem dapat diwujudkan dengan melakukan harmonisasi dan sinkronisasi terlebih dahulu. Istilah harmonisasi (penyesuaian) lebih menekankan pada keberadaan indikator-indikator dan karakteristik yang sama dalam suatu peraturan, sedang sinkronisasi (penyelarasan) lebih mementingkan bahwa suatu peraturan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lain.

Dengan demikian Hukum Pertanahan dalam kebutuhan masyarakat modern sekaligus bagian dari sub sistem hukum nasional setidaknya mempunyai karakter dan alur pikir sebagai berikut:

1.        Hukum Pertanahan dibuat berdasar falsafah negara Pancasila;

2.        Hukum Pertanahan dirancang untuk mencapai tahap tertentu dari tujuan negara sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;

3.  Meminimalisisasi pemberlakuan dan penerapan norma yang justru menimbulkan ketidakadilan, karena penerapan praktik hukum yang demikian akan menimbulkan ketidakadilan baru;

4.   Pembentukan hukum Pertanahan harus mengundang partisipasi dan menyerap aspirasi masyarakat melalui prosedur dan mekanisme yang fair, transparan dan akuntabel; dan berorientasi pada pembangunan keadilan sosial; serta menjamin hidupnya toleransi beragama yang berkeadaban.

5.  Pembentukan hukum Pertanahan juga harus memperhatikan dan mengadopsi prinsip/kaidah konvensi internasional terkait yang telah diratifikasi.

6.        Penegakan hukum harus dilakukan secara sistematis, terarah dan dilandasi konsep yang jelas, ditujukan untuk meningkatkan jaminan dan kepastian hukum dalam masyarakat, baik di tingkat pusat maupun daerah, sehingga keadilan dan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia dapat dirasakan oleh masyarakat;

Dari berbagai persoalan yang telah saya kemukakan, saya berharap pada seminar ini akan menghasilkan masukan-masukan konkrit atas penyempurnaan sistem hukum pertanahan, terutama terkait mekanisme penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan yang lebih berkeadilan dan mampu memberikan perlindungan bagi masyarakat di Indonesia.

*Humas BPHN-tatung