BPHN.GO.ID - Semarang. Upaya pelaku industri kreatif untuk menembus pasar internasional masih dihadapkan pada sejumlah tantangan. Di samping masih minimya literasi terkait aspek pemasaran, para pelaku industri kreatif justru terkendala tantangan yang dihadapi di internal pelaku usaha itu sendiri. Perlu keseriusan untuk membuat pelaku industri kreatif ‘naik kelas’ mulai dari basis data, pembinaan, hingga kurasi produk yang dihasilkan.
Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM RI, Nur Ichwan, mengatakan, industri kreatif menjadi penggerak penciptaan nilai ekonomi yang didasarkan pada pengetauan, keterampilan, dan bakat manusia yang tidak terbatas. Produk dan layanan yang dihasilkan oleh industri kreatif merupakan sumber daya yang begitu berharga dan bernilai ekonomi tinggi.
“Berdasarkan kajian awal Kelompok Kerja (Pokja) Analisis dan Evaluasi (AE) Hukum Industri Kreatif, penyelenggaraan industri kreatif seringkali dihadapkan pada beberapa permasalahan seperti misalnya produk impor yang mendominasi,” kata Nur Ichwan, dalam arahannya pada FGD Analisis dan Evaluasi Hukum mengenai Industri Kreatif, Selasa (21/5) bertempat di Aula Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Jawa Tengah.
Dalam kapasitasnya sebagai narasumber, Ketua Umum GEKRAFS Provinsi Jawa Tengah, Berty Diah Rahmana, mengatakan, penguatan ekonomi kreatif dapat dilakukan melalui tiga hal, yakni digitalisasi, kolaborasi, dan inovasi. Menurut Berty, kuatnya ekosistem ekonomi kreatif serta kolaborasi antar sektor dan apresiasi masyarakat terhadap produk lokal termasuk kampanye #BanggaBuatanIndonesia merupakan peliang bagi sektor ekonomi kreatif.
“Kami sebagai pelaku ekonomi kreatif selalu melihat sisi positif dalam hal apapun karena kreatifitas itu tanpa batas. Optimisme ini yang selalu melandasi sikap dan karya-karya pelaku ekonomi kreatif,” sebut Berty.
Di samping kolaborasi dan penguatan ekosistem, pengembangan industri kreatif juga perlu diseriusi kepada urusan internal pelaku industri kreatif itu sendiri. Pendiri dan Pemilik Jenama Rorokenes Indonesia, Syanaz Nadya Winanto Putri, mengatakan, persaingan pelaku industri kreatif saat ini sudah dimulai sejak masuknya produk impor dari luar negeri. Meski ibarat dua sisi mata uang, impor produk bisa dimaknai negatif tetapi dapat pula dimaknai positif sepanjang dijadikan pemacu bagi pertumbuhan industri kreatif di dalam negeri itu sendiri.
“Pelaksanaan kegiatan kriya naik kelas dilakukan secara kolaboratif antar lingkup lembaga disertai dengan pendataan akurat, pendampingan, dan kurasi,” ujar Syanaz.
Untuk menjadikan pelaku industri kreatif ‘naik kelas’, Syanaz menyebutkan ada lima tahapan penting yang mesti dilakukan secara simultan dan berkelanjutan. Pertama, pemetaan pelaku UMKM yang akan naik kelas; Kedua, Penumbuhan dan pengembangan kewirausahaan; Ketiga, Legalitas usaha; Keempat, Produktivitas; dan Kelima, Aksesibilitas. “Pendampingan manajemen usaha, pengolahan, logistik, pengujian produk, pemasaran sehingga industri dapat naik kelas,” sebut Syanaz.
Sebagai informasi, kegiatan FGD Analisis dan Evaluasi Hukum Industri Kreatif yang digelar di Semarang (21/5) hari ini merupakan serangkaian kegiatan Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum mengenai Industri Kreatif sepanjang tahun 2024. Selain menghadirkan narasumber yang merupakan pelaku usaha ekonomi kreatif dan asosiai ekonomi kreatif, Tim Pokja AE turut melibatkan pihak akademisi serta perwakilan dari Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif setempat.
Turut hadir dalam kegiatan FGD Analisis dan Evaluasi Hukum Industri Kreatif, yakni Kepala Divisi Administrasi Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Jawa Tengah, Anton Edward Wardhana, perwakilan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bappeda Jawa Tengah, perwakilan Komite Ekonomi Kreatif Jawa Tengah, Universitas Negeri Semarang (UNNES), Universitas Stikubank, Apindo Jawa Tengah, Lentera Vokasi (Vokasee.id), dan PT. Impala Ruang Bersama serta para Analis Hukum pada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Jawa Tengah.