FGD Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional  Dalam Rangka Penyelamatan dan Pengelolaan Kawasan Hutan

Jakarta-BPHN, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) lebih ideal jika kembali diintegrasikan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan). Alasan pengintegrasian kedua UU ini, selain karena memiliki kesamaan objek dan politik hukum, juga karena UU P3H tidak mengakomodir semua ketentuan Pasal 50 UU Kehutanan, serta ditengarai sudah membias dari politik hukum yang melatarbelakangi pembentukannya. Hal ini mengemuka dalam focus group discussion (FGD) yang diadakan oleh Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum Dalam Rangka Penyelamatan dan Pengelolaan Kawasan Hutan, Pusat Evaluasi dan Analisis Hukum Nasional, di BPHN, Jakarta (10/8). Dalam kesempatan ini, Budi Riyanto, selaku narasumber dalam FGD ini mengatakan bahwa UU P3H sudah melenceng dari tujuan awalnya, sehingga tidak mengherankan jika banyak kekurangan dan ketidakefektifan pelaksanaan dari UU ini. Selain itu, penegak hukum dari kejaksaan juga mengemukakan beberapa kelemahan dalam ketentuan pasal mengenai sanksi dan penyidikan dalam UU P3H.

FGD ini dihadiri oleh 15 orang peserta dari berbagai instansi pemerintah, akademisi dan LSM yang merupakan pemangku kepentingan dari peraturan perundang-undangan terkait bidang kehutanan. Penyelenggaraan FGD dibagi ke dalam dua sesi. Masing-masing peserta FGD mempresentasikan kertas kerjanya sesuai dengan topik yang dimintakan panitia. Sesi pertama diikuti oleh 7 peserta, yaitu perwakilan dari Sekretariat Kabinet, Kementerian PPN/Bappenas, Ditjen Gakum Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan Agung RI, dan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL). Selaku narasumber pada sesi ini adalah Didik Suharjito (Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB).

Sedangkan sesi kedua diikuti oleh 8 peserta, yaitu perwakilan dari Sekretariat Negara, Kementerian Keuangan, Ditjen KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan, Kementerian ATR/BPN, Badan Restorasi Gambut, Bareskrim Kepolisian Negara RI, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Pada sesi kedua ini juga dihadiri oleh Budi Riyanto (FH UI) yang berkesempatan memberikan tanggapan atas paparan masing-masing peserta, selain menyampaikan presentasi makalahnya sebagai narasumber FGD.

Didik Suharjito dalam makalahnya membahas mengenai pendekatan ekosistem dalam pembangunan yang berkembang sejak tahun 1990-an yang menekankan tiga pilar utama, yaitu: ekologi (ecologically sound), ekonomi (economically viable) dan sosial (socially acceptable). Ketiga pilar saling terkait dan mendukung satu sama lain sebagai satu kesatuan. Sedangkan Budi Riyanto membahas masalah ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang tercermin dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa Negara menguasai sumber daya alam termasuk hutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dikatakannya bahwa campur tangan pemerintah tersebut menunjukan bahwa Indonesia menganut konsep kesejahteraan (walfare state), agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi tarik-menarik pengaturan, maka perlu dibentuk hukum/undang-undang, sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih yang dapat menyebabkan kekacauan.

Selaian bahasan mengenai kemungkinan pengintegrasian UU P3H dan UU Kehutanan, diskusi juga membahas mengenai kerancuan pengaturan antara fungsi hutan, status hutan dan manajemen hutan, kelembagaan yang ikut terlibat dalam masalah kehutanan, sanksi pidana, sanksi administratif kejahatan bidang kehutanan, hingga masalah PNBP bidang kehutanan. FGD ini dimaksudkan untuk memberikan masukan kepada Pokja dalam memperkaya dan menajamkan analisis, baik dari sisi peraturan perundang-undangnnya dalam arti substansi hukum, maupuan pelaksanaannya.(ae)