Bertema “Menemukan Kembali Watak Hukum Pancasila di Tengah Arus Perubahan Sosial, Politik dan Ekonomi di Indonesia”
Jakarta, WARTA-bphn
Dialog Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Tahun 2011dengan tema “Menemukan Kembali Watak Hukum Pancasila di Tengah Arus Perubahan Sosial, Politik dan Ekonomi di Indonesia”, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kegiatan yang dihadiri oleh anggota Tim Penyusunan Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional (PPHN) Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian/LPNK, akademisi, praktisi, LSM, dilaksanakan dengan tujuan untuk menghimpun pemikiran/gagasan perencanaan pembangunan hukum nasional untuk memberi masukan kepada Tim Penyusunan PPHN dalam memberikan rokemendasi bagi perencanaan pembangunan hukum nasional kedepan secara terpadu dan sistematis, dengan memperhatikan keberhasilan dan kegagalan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan hukum nasional yang saat ini sedang berjalan.
Dialog Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Tahun 2011 juga menghadirkan enam orang narasumber yang sudah diakui kepakaran antaralain Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH, MH.; Prof. Dr. Arief Hidayat, SH., MS; AA.GN. Ari Dwipayana, SIP,M.Si; Prof. Dr. Dimyati Hartono, SH;. Prof. Dr. CFG Sunaryati Hartono, SH; Prof. Dr. SaldiIsra, SH; Usman Hamid, SH. Dengan berbagai makalah yang berfokus pada Undang-Undang dan Hak Asasi Manusia.
Hasil akhir dari forum ini dapat disimpulkan bahwa “Pancasila masih dipandang dalam tataran nilai-nilai, belum ada kriteria yang jelas untuk dijabarkan sebagai norma dalam produk peraturan perundang-undangan dan Hukum yang berlandaskan UUD NKRI, Tahun 1945, tidak semata-mata diukur kesesuaian atau bertentangan tidaknya dengan bunyi teks pasal UUD tersebut, melainkan harus dinilai dari pesan atau acuan moral, yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 dan makna yang terkandung dibalik teks pasal-pasal konstitusi disamping itu Hukum yang berlandaskan UUD NKRI Tahun 1945 harus netral dan universal. Netral, artinya hukum yang substansinya berisi nilai-nilai yang tidak bersumber dari agama dan adat tertentu. Sedangkan universal, artinya hukum yang merupakan kristalisasi dari berbagai nilai-nilai agama dan adat yang hidup di Indonesia, secara universal diakui oleh agama-agama danadat-adat yang ada di Indonesia.
Negara hukum Indonesia sejak zaman kemerdekaan hingga saat ini bukanlah konsep Rechtsstaat dan bukan pula konsep the Rule of Law, melainkan membentuk suatu konsep negara hukum baru yang bersumber pada pandangan dan falsafah hidup luhur bangsa Indonesia. Konsep baru tersebut adalah negara hukum Pancasila sebagai kristalisasi pandangan dan falsafah hidup yang sarat dengan nilai-nilai etika dan moral yang luhur bangsa Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan tersirat di dalam Pasal-pasal UUD NKRI Tahun 1945.
Pengakuan atas ke-Bhinneka-an, harus dipadukan dengan kebutuhan membangun ke-Tunggal-Ika-an. Prinsip Tunggal Ika bisa dijabarkan sebagai kebutuhan Indonesia sebagai kesatuan sosial, politik, ekonomi, dan pemerintahan. Karena kemajemukan merupakan ciri khas Indonesia, maka menghindari pluralisme sama saja dengan menghindari kenyataan dan keyakinan yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu politik hukum nasional harus didasarkan pada prinsip keberagaaman yang membentuk Indonesia sebagai bangsa dan sebagai kesatuan administrasi-pemerintahan.Dengan kata lain politik hukum nasional harus dapat memadukan antara respon atas keragaman dan kebutuhan untuk mewujudkan cita-cita nasional.
Dan wujud konkrit dari tindakan pemerintah negara yang melindungi dan menjamin hak-hak seluruh rakyat dan tumpah darah Indonesia adalah dengan memposisikan hukum sebagai penggerak utama (prime morver) dalam pembangunan nasional agar dapat mewujudkan sinergi dengan semua bidang. Ketentuan hukum yang mengandung kriteria yang mensejahterakan tidak hanya terdapat dalam bidang hukum ekonomi atau Hukum tentang Tenaga Kerja atau Hukum Waris atau Hukum tentang Hak-hak Azasi Manusia, tetapi kriteria yang membuat Hukum Nasional Indonesia menjadi Hukum Yang menSejahterakan (untuk selanjutnya disingkat HYS) harus terdapat di semua bidang hukum. Makna hukum yang mensejahterakan harus memenuhi kriteria yang bersumber pada kewajiban untuk memelihara dan menjaga keseimbangan dan keserasian antara: Kepentingan individu di satu pihak dan kepentingan masyarakat di lain pihak; Empati terhadap kehidupan dan kesulitan yang dihadapi orang lain, dan keseimbangan dan keserasian antara kepentingan kelompok masyarakat yang maju pesat di satu pihak dan perlindungan serta bimbingan kepada pihak yang terbelakang. Keberpihakan pembuat hukum terkait dengan penguatan HAM tercermin melalui undang-undang (legislation) dan kebijakan (policy). Sedangkan keberpihakan aparat penegak hukum untuk penguatan HAM tercermin dalam tindakan mempraktikan undang-undang yang relevan dengan HAM; Dan untuk menjaga konsistensi pelaksanaan demokrasi, diperlukan suatu peraturan perundang-undangan tentang pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah yang terkodifikasi dan mempunyai daya laku serta daya guna yang lama. Demikian panitia menyampaikan pada media ini. *HumasBPHN-