BPHN.GO.ID – Jakarta. Penyusunan Rancangan Peraturan Presiden tentang Kepatuhan Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pelaksanaan Hukum (RPerpres Kepatuhan Hukum) telah memasuki babak baru. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (Ditjen PP) Kemenkumham RI menggelar kegiatan Rapat Panitia Antarkementerian (PAK), Senin (29/04/2024).
Agenda Rapat PAK pertama ini adalah sarana bertukar pikiran (brainstorming) dan menghimpun masukan dari anggota tim PAK yang terdiri dari kementerian dan lembaga terkait mengenai desain besar RPerpres Kepatuhan Hukum. Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional BPHN, Arfan Faiz Muhlizi, menyampaikan tiga poin utama urgensi penyusunan RPerpres tersebut.
“Pertama, RPerpres Kepatuhan hukum ini merupakan upaya untuk membina dan memastikan pilar sistem hukum bekerja secara optimal dalam mewujudkan tujuan bernegara yang diwujudkan dengan meningkatkan kesadaran dan kepatuhan hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan hukum,” kata Arfan menjelaskan.
Kedua, lanjut Arfan, tugas meningkatkan kesadaran dan kepatuhan hukum merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintahan. Visi pembangunan Indonesia menekankan tanggung jawab untuk menegakkan supremasi hukum yang didukung oleh sistem hukum nasional yang mantap dan mencerminkan kebenaran dan keadilan, serta memperoleh legitimasi yang kuat dari masyarakat.
“Ketiga, upaya dan cara meningkatkan kesadaran dan kepatuhan hukum secara terencana dan terpadu belum diatur, sehingga perlu diatur dalam Peraturan Presiden sebagai bentuk pelaksanaan kekuasaan Presiden yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,” tambah Arfan.
Sekretaris BPHN, I Gusti Putu Milawati, mengungkapkan apresiasinya terhadap Ditjen PP yang sudah memfasilitasi Rapat PAK kali ini. Ia berharap masukan berharga dalam rapat ini dapat membantu percepatan proses penyusunan RPerpres Kepatuhan Hukum tersebut.
“Kami juga berharap urgensi atau pun permasalahan terkait RPerpres ini dapat dibahas lebih lanjut dalam Rapat Konsinyering yang akan difasilitasi oleh BPHN. Terima kasih sekali lagi atas dukungan dan masukan dari pihak yang hadir, sehingga kami bisa menyempurnakan kembali RPerpres Kepatuhan Hukum ini,” ungkap Milawati.
Dukungan penuh terhadap penyusunan RPerpres Kepatuhan Hukum yang digagas BPHN ini juga diungkapkan oleh perwakilan kementerian dan lembaga yang hadir, salah satunya dari Presiden ASAHI, Harvardy M. Iqbal. Ia berharap di tahun 2024 ini Kemenkumham dapat diberikan legitimasi menjadi pembina teknis Auditor Hukum di Indonesia.
Harvardy juga menambahkan bahwa laporan audit hukum yang dikeluarkan oleh auditor hukum atau analis hukum nantinya dapat digunakan sebagai bukti di pengadilan sebagai bentuk pertanggungjawaban dari auditor hukum. Ia juga memberi saran agar Kemenkumham perlu mengawasi organisasi yang mewadahi profesi auditor hukum agar jika terjadi pelanggaran etika, seorang auditor hukum tidak pindah ke organisasi profesi lainnya.
Hal senada juga disampaikan oleh perwakilan dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Miftakul Azis mengatakan bahwa Kemenkumham dapat menjadi pembina untuk profesi-profesi dibidang hukum.
Guru Besar Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada, Nindyo Pramono menekankan pentingnya audit legal terhadap badan usaha, badan hukum, dan badan publik untuk memastikan kepatuhan mereka terhadap peraturan perundang-undangan. Praktik di beberapa negara saat ini, audit legal dan finansial telah berjalan beriringan. Perusahan yang akan go public akan diminta melakukan Legal Due Diligence (LDD) dan audit finansial secara bersamaan.
“Saat ini, dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, hukum kerap dinilai sebagai penghambat. Ini yang perlu diluruskan dan menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah. Oleh karena itu, saya sangat mendukung perbaikan melalui audit hukum ini,” kata Nindyo.
Kepala Biro Hukum Kementerian Perdagangan (Kemendag), Sri Hayati, juga mengungkapkan dukungan atas penyusunan RPerpres ini. Namun, dia menekankan perlunya memastikan bahwa peraturan tersebut tidak menghambat kebijakan kementerian lain yang terkait.
“Secara prinsip mendukung RPerpres ini karena akan menghasilkan peraturan terkait kepatuhan yang akan menumbuhkan kesadaran hukum dan menghindari terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam pembentukan PUU. Namun, perlu dilihat secara komprehensif agar peraturannya nanti tidak menghambat kebijakan kementerian terkait, misalnya mengenai ekspor dan impor,” ucap Sri Hayati.
Hal senada diungkapkan oleh Asisten Deputi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Kementerian Sekretariat Negara, Rejeki Wijiastuti. Ia menyoroti adanya potensi irisan RPerpres ini dengan peraturan perundang-undangan lain seperti UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Selain itu, kita juga perlu memperhatikan kembali audit kepatuhan hukum yang dilakukan kepada badan usaha serta badan hukum,” kata Rejeki Wijiastuti.
Rapat ini diselenggarakan hybrid, secara luring di Ruang Legiprudensi Ditjen PP, Kuningan, Jakarta Selatan dan secara daring melalui aplikasi Zoom. Kegiatan turut dihadiri oleh Sekretaris Jenderal ASAHI Wartono Wirjasaputra, Perencana Ahli Pertama Direktorat Hukum dan Regulasi Bappenas Yasmin Dwi Lestari, Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Utama Ditjen PP Priyanto, Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan Ditjen PP Cahyani Suryandari, Kepala Pusat Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional Jonny P. Simamora, Kepala Pusat Pembudayaan dan Bantuan Hukum Sofyan, Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nur Ichwan, serta tamu undangan lainnya. (HUMAS BPHN)