UU SJSN dan Relevansinya: Perspektif Hukum, Kendala, dan Harapan
BPHN.GO.ID - Jakarta. Undang Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) merupakan bentuk pelaksanaan kewajiban negara untuk menjamin kepastian perlindungan dan jaminan sosial untuk setiap rakyatnya. Dalam perjalanannya, SJSN ternyata masih menemui banyak kendala dan jauh dari kata ideal. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah misi pembentukan UU SJSN telah tercapai? Jika belum, apa langkah yang bisa diambil untuk memperbaiki kondisi ini?

Menyoroti keadaan aktual SJSN yang masih menghadapi banyak tantangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menginisiasi kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Pemetaan Kebutuhan Undang-Undang dalam Prolegnas 2025-2029 terkait SJSN. Plt. Sekretaris BPHN sekaligus Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional Constantinus Kristomo menegaskan urgensi perubahan regulasi yang lebih komprehensif terkait SJSN.

“Hasil diskusi dalam FGD ini diharapkan akan menjadi panduan bagi pemerintah dalam merumuskan Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2025-2029 dan sebagai bahan masukan dalam penyusunan naskah akademik serta draf Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait jaminan sosial,” pungkas Kristomo dalam kegiatan yang berlangsung di Aula Moedjono BPHN, Kamis (24/08/2023).

Salah satu narasumber dalam FGD tersebut, Ahmad Ansyori, turut memberikan perspektifnya dari sisi hukum. Ia menilai bahwa terdapat rumusan norma yang disharmoni dalam UU SJSN dan UU BPJS, baik secara vertikal maupun horizontal. Hal ini menimbulkan inkonsistensi antar UU dan dalam satu UU. Beberapa pasal UU SJSN dan UU BPJS bahkan dinyatakan bertentangan dengan UU 1945 dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Oleh karena itu pasal-pasal pada UU SJSN dan UU BPJS perlu disesuaikan rumusannya sesuai putusan MK. Lebih lanjut, harus dilakukan penataan kembali ketentuan dalam UU SJSN dan UU BPJS yang tumpang tindih/redundant sesuai dengan urgensinya,” jelas Ansyori, yang juga menjabat sebagai Direktur Pusat Kajian Hukum Jaminan Sosial & Ketenagakerjaan.

Guru Besar dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, menyoroti ketidaksesuaian antara tujuan akhir SJSN dan pelaksanaannya di lapangan. Terbatasnya jumlah peserta yang benar-benar terlindungi JKN, rendahnya tarif bayaran kapitasi dan CBG yang memengaruhi kualitas layanan, serta rendahnya belanja kesehatan jadi tantangan serius yang perlu diatasi.

“Meskipun jumlah penduduk yang terdaftar JKN mencapai 259 juta orang, namun yang benar-benar terlindungi masih jauh di bawah (angka) itu. Belanja kesehatan JKN negara kita juga hanya 0,7% PDB untuk 95% penduduk. Angka ini salah satu yang terendah di antara negara-negara berkembang,” ujarnya.

Hasbullah Thabrany juga mengusulkan perubahan UU SJSN dan UU BPJS. Menurutnya, dua UU tersebut tidak perlu dipisah dan sebaiknya digabungkan menjadi satu UU SJSN yang komprehensif. UU tersebut juga harus menjamin “kebutuhan dasar layak” bagi seluruh penduduk, seperti layanan kesehatan yang sesuai indikasi medis dan perkembangan teknologi kedokteran serta pemberian uang pensiun yang cukup untuk kehidupan yang layak, termasuk sandang, pangan (pemenuhan gizi), dan papan.

Kendati banyaknya jalan terjal dan kekurangan yang teridentifikasi, ada satu tekad kuat yang mendominasi diskusi: panggilan untuk perubahan. Dengan perubahan yang diperlukan dan kolaborasi yang kokoh, diharapkan SJSN dapat memenuhi tujuannya sebagai sarana perlindungan dan pemberdayaan masyarakat Indonesia. (HUMAS BPHN)