URGENSI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPPU) CALON TUNGGAL PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA)

Jakarta, WARTA-BPHN

Gunjang-ganjing permasalahan Pilkada serentak yang dipandang oleh beberapa pihak banyak permasalahan seperti yang dilansir oleh beberapa media. Kondisi ini yang ditangkap oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional (Puslitbang SHN)-Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dengan mengundang pakar hukum Tata Negara dari Universitas Diponegoro, Semarang, Hasyim Asy’ari dan bertindak sebagai moderator Awaluddin dari Dirjen Peraturan Perundang-undang (Dirjen PP). Fenomena ini yang diangkat oleh Puslitbang SHN melalui kegiatan Continuing Legal Education (CLE) mengambil tema “Menimbang Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu) Calon Tunggal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)”. Selasa, (25/8)

 

Dalam pengantarnya Awaluddin mengatakan apa yang disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, bahwa pemerintah mendukung tahapan-tahapan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait masih adanya 4 daerah yang memiliki calon tunggal serta 80 daerah berpotensi hal yang sama karena hanya memiliki 2 pasangan calon kepala daerah.

 

Menurut narasumber, Hasyim menyampaikan bahwa hasil pendaftaran calon kepala daerah dan wakil kepala daerah pada 26-28 Juli 2015 di 269 daerah (9 Provinsi, 36 Kota dan 224 Kabupaten) yang akan menggelar Pilkada serentak pada tanggal 9 Desember menunjukkan peliknya persoalan Pemilu di  Indonesia. Salah satu persoalan yang muncul adalah minimnya calon yang mendaftar bahkan terjadi fenomena calon tunggal (hanya terdapat 1 pasangan calon yang mendaftar) di beberapa daerah.

 

Kemudian, hasil rekapitulasi KPU yang dipublikasikan melalui websitenya per tanggal 31 Juli 2015 terdapat 837 pasangan calon yang mendaftar. Rinciannya sebanyak 21 pasangan calon di 9 provinsi, 699 pasangan calon di 233 kabupaten dan 117 pasangan calon di 36 kota. Pasangan calon dari Parpol terdapat 679 dan jalur perseorangan terdapat 158. Jumlah pasangan calon di masing-masing daerah yaitu 1 daerah (0,37 %) tidak ada pasangan calon mendaftar, 12 daerah (4,46 %) dengan 1 pasangan calon, 79 daerah (29,37 %) dengan 2 pasangan calon, 148 daerah (55,02 %) dengan 3-4 pasangan calon, 24 daerah (8,92 %) dengan 5-6 pasangan calon, dan 5 daerah (1,86 %) dengan lebih dari 6 pasangan calon. Keberadaan calon tunggal membawa ancaman perlu ditundanya Pilkada di daerah  yang hanya memiliki calon tunggal.

 

Lebih lanjut Beliau menyampaikan juga permasalahan calon tunggal yang menyebabkan terdapat kekosongan hukum dalam hal “batas waktu (penundaan) yang ditentukan sampai tersedia minimal 2 pasangan calon”. KPU telah berusaha mengisi kekosongan hukum ini melalui peraturan KPU nomor 12 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas PKPU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pilkada yang isinya menyebutkan dalam hal sampai dengan berakhirnya pembukaan kembali masa pendaftaran hanya terdapat 1 pasangan calon yang mendaftar, KPUD menetapkan keputusan penundaan seluruh tahapan dan pemilihan diselenggarakan pada pemilihan serentak berikutnya. Persoalan calon tunggal ini termasuk aspek strategis pemilu. Adapun aspek strategis Pemilu meliputi: derah pemilihan dan alokasi kursi, mekanisme pencalonan; metode pemberian suara; dan formula pemilihan (penentuan perolehan kursi dan calon terpilih). Pengaturan terhadap hal-hal terkait aspek strategis Pemilu ini  perlu diatur di tataran undang-undang. Di sinilah muncul opsi untuk membentuk Perppu sebagai produk regulasi yang memiliki materi muatan serupa dengan Undang-Undang namun memiliki beberapa perbedaan (dengan undang-undang) seperti dapat dibentuk dengan cepat karena tidak melalui mekanisme pembentukan undang-undang biasa di DPR.

 

Terhadap opsi ini, Hasyim berpandangan bahwa tidak terdapat urgensi untuk membentuk Perppu Pilkada. Pasalnya, regulasi yang ada yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 sudah mengantisipasi untuk menghindari kekosongan jabatan kepala daerah yang tertuang dalam Pasal 201 ayat (8) dan (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dimana isinya menyatakan bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) diangkat pejabat kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) sampai dengan pelantikan (Gubernur, Bupati, Walikota) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Oleh karena itu, ketentuan ini sesuai dengan kerangka negara kesatuan di mana daerah otonom merupakan bagian integral dari pemerintah pusat. Karenanya, pengangkatan pejabat daerah oleh pemerintah pusat merupakan ketentuan yang tidak menyalahi, bahkan selaras dengan kerangka negara kesatuan. Hal yang perlu diantisipasi adalah diperlukan penegasan dan penguatan kewenangan Pejabat yang diangkat tersebut agar tetap memiliki kewenangan layaknya kepala daerah definitif sehingga memiliki legitimasi yang kokoh di kemudian hari utamanya saat berhadapan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

 

Dengan demikian, fenomena calon tunggal ini menguak masalah yang lebih mendalam dari sekadar persoalan  regulasi. Fenomena ini sesungguhnya merupakan kritik keras bagi partai politik yang merupakan pilar penting keberlangsungan rezim Pemilu dan Pemilukada di Indonesia. Persoalan calon tunggal menunjukkan kegagalan partai politik dalam melakukan rekrutmen dan kaderisasi politik. Sudah saatnya partai politik bebenah, diharapkan Pemilu di tanah air dapat betul-betul membawa kesejahteraan masyarakat dan tidak menjadi permainan politik yang menguntungkan elit-elit politik belaka, begitu juga dalam melakukan fungsi rekrutmen dan kaderisasi secara profesional dan fair sehingga dapat melahirkan calon-calon pemimpin yang kompeten. *VW, MBS & tatungoneal