Jakarta, WARTA-bphn

Uji publik  tentang Proposal Penelitian tentang Penegakan Hukum  Konflik-konflik Agraria yang terkait dengan Hak-hak Masyarakat Adat digelar di Aula Mudjono Kantor BPHN, Jakarta, Selasa (16/6).

Menurut Suharyo, Ketua Peneliti Penegakan Hukum Konflik Agraria mengatakan NKRI sebagai negara yang bercirikhas Nusantara mempunyai tanggungjawab untuk mengelola dan memanfaatkan serta mengamankan seluruh potensi  untuk kemakmuran rakyat  (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945).

Sebagai tindaklanjut dari pasal tersebut berpangkal tolak sebagai negara kepulauan, maka dikeluarkan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang kemudian di revisi menjadi UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 tentang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Walupun UU No. 27 Tahun 2014 telah disahkan namun masih terdapat kekosongan hukum dalam penaturan tata ruang pengelolaan laut, khususnya dikolom perairan laut di luar 12 mil hingga kolom perairan laut di landas kontinen di luar Zona Ekonomi Eksklusif sesuai UU No, 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Convention on the Law of The Sea (Konvensi PBB tentang Hukum Laut), serta Zona Tambahan belum diatur. Selain itu Eksistensi UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Runang dalam penerapannya pada wilayah pesisir dan lautan banyak terkendala. Aspek kelembagaan hukum/peraturan dan penegakan hukum penataan ruang wilayah pesisir dan lautan cenderung merambahnya pengaplingan dan komersialisasi. Diharapkan dalam pertemuan ini para peserta yang hadir dapat memberikan input terutama pada nara sumber Chandra Motik yang konsen mencermati kondisi kemaritiman kita, kata Suharyo.

Kegiatan ini diikuti lebih dari dua puluh perserta yang terdiri dari para akedemisi, penggiat kelautan serta Lembaga Swadaya Masyarakat yang terus memantau perkembangan maritim Indonesia.*tatungoneal