Tujuan  Cita-cita Bangsa adalah Membentuk Masyarakat Yang Tertib, Makmur dan Sejatera

Jakarta, WARTA-BPHN

Paparan dari  tiga narasumber dalam kegiatan Analisa dan Evaluasi Peraturan Kolonial di kantor Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang digawangi oleh Pusat Perencaan Pembangunan Hukum Nasional (Pusrenkumnas) menjadi perhatian serius bagi peserta. Banyak  hal yang membuat peserta tersentak dengan apa yang dilontarkan oleh narasumber tersebut.

Seperti paparan Guru Besar Universitas Padjadjaran Bandung,  Sunaryati Hartono, menyampaikan bahwa tatanan masyarakat dirasakan sudah jauh dari apa yang dicita-citakan. Salah satu tujuan menuju cita-cita bangsa adalah membentuk masyarakat yang tertib, makmur dan sejatera, sesuai dengan falsafah dan idologi mereka akan kehidupan berbangsa, yang mengejawantahkan aspirasi dan warna-warna budaya yang dianggap baik dan patut dilaksanakan oleh selompok manusia yang menganggap dirinya sebangsa dan se-tanah air, Kamis (12/11).

Begitu juga dalam hal Negara Kesatuan Republik Indonesia bahwa tatanan kehidupan bermasyarakat harus mencerminkan identitas bangsa Indonesia dan tujuan kita bernegara, yang tersebut dalam sila-sila Pancasila sebagai tercantum dalam Mukadimah atau Pembukaan UUD RI 1945. Dan selalu diikrarkan oleh siapapun dari anak SD sampai pada Kepala Negara dan Pemerintahan paling sedikit setahun sekali pada saat Hari Kemerdekaan, dimana seluruh elemen masyarakat mengikrarkan. Namun sayang, dalam kenyataannya ikrar tersebut sampai  ini, di Usianya ke 70 tahun pasca Kemerdekaan  belum juga menjadi  kenyataan. Sementara generasi muda yang harus menlanjutkan dan mewujudkan cita-cita para pejuang merebut Kemerdekaan Bangsa dan Kedaulatan, banyak yang sudah tidak mengerti bahkan memahami apa dan mengapa mereka berjuang agar Pancasila itu akan merupakan “indentitas” dan fisafah kenegaraan yang wajib dikembangkan dan direalisasikan dan diwujudkan dalam kehidupan bernegara Republik Indonesia; baik dalam kehidupan Politik, Hukum, Ekonomi dan Sosial Indonesia maupun dalam kehidupan pribadi dan kehidupan antara bangsa. Apa yang tertera dalam UUD 1945 maupun yang sudah beberapa kali diamandemen dan kenyataan hukum yang kita rasakan sehari-hari masih terjadi perbedaan yang sangat menyolok.

Dalam kondisi ini Sunaryati menyimpulkan bahwa Hukum Positif Indonesia yang masih berdasarkan dan memberlakukan beratus-ratus peraturan Hukum Kolonial/Hindia-Belanda  dari abad 19 dan 20 tersebut harus secepatnya diganti, tegas Ketua Tim Analisa dan Evaluasi Peraturan Kolonial.

Hal lain yang menjadi perhatian peserta juga adalah paparan dari Dosen FH Universitas Katolik Pahyangan Bandung, Bayu Seto Hardjowahono. Berkenaan dengan gambaran pemahaman Hukum Perdata Internasional (HPI).

Dikatakan pemahaman bahwa Hukum Nasional Indonesia yang akan dibangun sebagai sistem hukum nasional, membutuhkan sebuah sub-sistem perdata internasional. Karena HPI adalah bagian dari sebuah sistem hukum nasional yang melengkapi sistem hukum itu dengan asas-asas dan aturan hukum yang digunakan dalam menghadapi persoalan hukum yang mengandung unsur asing. Seringkali sebutan Hukum Perdata Internasional adakalanya agak menyesatkan karena banyak berkesimpulan bahwa HPI adalah salah satu bagian dari hukum keperdataan atau Hukum Internasional.

Ada cara untuk memahami HPI sebgai bidang hukum tersendiri yaitu: HPI adalah sekumpulan asas dan aturan hukum yang bersifat all-pervading, karena setiap/semua perkara hukum di bidang hukum keperdataan dan bahkan juga persoalan-persoalan khas yang harus dijawab terlebih dahulu sebagai akibat adanya forign elemens di dalam perkara yang bersangkutan.

Dan persoalan HPI yang dihadapi di pengadilan Indonesia adalah:

a)    apakah pengadilan Indonesia berwenang untuk mengklaim yurisdiksi untuk mengadili perkara tersebut;

b)    hukum internal mana yang harus dipilih dan digunakan oleh pengadilan Indonesia untuk menyelesaikan perkara tersebut;

c)     sejauh mana Pengadilan Indonesia harus mengakui dan melaksanakan putusan-putusan asing.

Ketiga masalah pokok tersebut  merupakan masalah-masalah pokok HPI.

 Sub-sitem HPI yang lengkap dalam sebuah sistem hukum nasional akan memuat asas-asas dan aturan-aturan yang mencakup sekurang-kurangnya ketiga masalah pokok tersebut. Pilihan lain adalah membangun sebuah kodifikasi parsial untuk memuat asas dan aturan yang menyangkut choice of  law issue, sehingga persoalan-persoalan tentang yurisdiksi serta pengakuan dan pelaksanaan putusan hukum asing diatur dalam hukum acara nasional, jelasnya.

Sementara panelis Yu Un Oppusunggu dari FH Universitas Indonesia mengedepan pembicaraan berkenaan dengan permasalahan Pengaruh Perkembangan Hukum Dagang Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Nasional. Dalam hal ini beliau membahas persoalan Hukum Dagang, Sumber Hukum Dagang mulai dari KUHD/WvK; KUHP/BW; Kebiasaan; serta beberapa Undang-Undang seperti: Kepalilitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; Badan Usaha Milik Negara, Koperasi, PT, Hak Cipta, Merek Rahasia Dagang dan Penanaman Modal. Persoalan lainnya juga disampaikan dari permasalahan Saham dan Hak Suara, Perkembangan Hak Cipta; Perkembangan Penanaman Modal sampai pada pluralisme hukum.

Kegiatan yang digelar pkl. 09.30 WIB sampai dengan pkl. 14.30 tersebut diakhiri dengan pertanyaan-pertanyaan dari peserta mengenai batasan Peraturan Kolonial; Perlukan dibuat Peraturan Baru dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asia (MEA), Bagaimana dengan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang harus menjunjung kearifan lokal, budaya, agama dan lain sebagainya serta hingga banyaknya peraturan perundang-undangan yudicial review di Mahkamah Kontitusi. *tatungoneal