Transformasi Digital Berubah Cepat, Penyuluh Hukum Dituntut Lebih Adaptif
Jakarta, BPHN.go.id – Era digital turut mempengaruhi kebiasaan masyarakat. Transformasi yang cepat dan dinamis memunculkan konsekuensi terhadap langkah maupun strategi yang tepat untuk memberikan pemahaman hukum kepada seluruh lapisan masyarakat. Sebagai garda terdepan yang melakukan pembinaan dan penyebarluasan informasi hukum, pejabat fungsional Penyuluh Hukum tidak bisa lagi menggunakan cara-cara penyuluhan hukum yang konvensional atau kuno.

Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM Yunan Hilmy, mengatakan keberadaan hukum di tengah masyarakat saling mempengaruhi sehingga pada titik akhirnya nanti hasil dari interaksi kedua variabel tersebut akan membentuk suatu budaya hukum. Fenomena ini, mengutip pendapat Prof Mochtar Kusumaatmadja, seorang begawan hukum Indonesia, merupakan salah satu fungsi hukum sebagai sarana perekayasa sosial (law as a tool of social engineering).

“Hukum dan masyarakat karenanya selalu ada dalam posisi saling mempengaruhi satu sama lain. Di antara keduanya selalu ada interaksi yang dinamis, yang kemudian turut membentuk budaya hukum suatu masyarakat,” kata Yunan dalam sambutannya pada acara Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Pembangunan Budaya Hukum di Indonesia melalui Redesain Penyuluhan Hukum, Pendidikan, dan Penilaian Kepatuhan Hukum”, Selasa (29/08) di Aula Mudjono lantai 4 Gd. BPHN, Cililitan – Jakarta Timur.

Budaya hukum kerap disebut sebagai komponen sistem hukum yang paling berpengaruh dalam pembangunan hukum. Budaya hukum yang baik, akan menghasilkan karya-karya terbaik. Seseorang menggunakan atau tidak menggunakan hukum dan patuh atau tidak patuh terhadap hukum sangat tergantung pada komponen-komponen yang ada dalam budaya hukumnya. Sebaik apapun hukum dibuat, tetapi pada akhirnya keberhasilan hukum akan ditentukan oleh budaya hukum masyarakat yang bersangkutan.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Awaludin Marwan, mengatakan eksistensi pejabat fungsional Penyuluh Hukum, dalam konteks pembangunan budaya hukum punya posisi yang strategis, yakni sebagai garda terdepan dalam melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan serta sekaligus ujung tombak dalam menyebarkan ilmu. Namun, di era transformasi digital yang masif dan cepat, Penyuluh Hukum menghadapi tantangan serius karena perubahan sosial masyarakat.

“Masyarakat kini berkembang, dari masyarakat yang interaktif menjadi masyarakat internet, lalu bertransformasi lagi menjadi masyarakat visual yang lebih menyukai video pendek. Ini menjadi tantangan untuk kita dalam melakukan penyuluhan hukum, sehingga kedepannya membuahkan hasil yang sangat maksimal,” papar Marwan.

Dalam kesempatan yang sama, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Ratih Lestarini berpendapat, untuk mengoptimalkan dampak bekerjanya hukum, langkah awalnya dengan memetakan struktur masyarakatnya itu sendiri. Sebab, tidak bisa disamaratakan perlakuan antara struktur masyarakat satu dengan lainnya. Fakta yang dihadapi, tingkat pendidikan di Indonesia menurut data Programme for International Student Assessment (PISA), meski menurut Ratih tidak ada kolerasi langsung dengan kepatuhan dan kesadaran hukum, menempati urutan ke-74 dari total 79 negara atau peringkat keenam negara terendah yang disurvei.

“Faktanya terdapat hal yang lebih berpengaruh, yaitu ambisi atau keinginan yang dilakukan manusia untuk mencapai tujuannya. Dengan menggunakan segala cara sehingga mengakibatkan timbulnya pelanggaran hukum,” ujar Ratih.

Sementara itu, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu punya perspektif yang menarik. Ninik mengatakan, penyelenggara negara serta Aparat Penegak Hukum (APH) tidak menunjukkan teladan dalam kepatuhan hukum. Hal ini terlihat dengan banyaknya pemberitaan mengenai tindak pidana korupsi, pencucian uang, flexing kekayaan hingga kekerasan yang dilakukan penyelenggara negara maupun aparat penegak hukum. Menurut Ninik, dalam membangun kepatuhan hukum, perlu dibangun mulai dari hal-hal sederhana yang harus ditanamkan dalam sistem pendidikan, seperti kebiasaan mengantri, jujur, hingga menghormati sesama.

“Hukum justru digunakan untuk melukai masyarakat, ketimbang memberikan pelindungan kepada masyarakat untuk memperoleh penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan HAM,” sebut Ninik.