BPHN.GO.ID – Bogor. Hasil rilis terbaru dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK/CPI) tahun 2022 menunjukkan tantangan serius yang terus dihadapi oleh Indonesia dalam upaya melawan korupsi. Transparency International Indonesia menyebutkan skor IPK Indonesia tahun 2022 adalah 34/100, menempatkannya pada peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Angka ini merupakan penurunan paling signifikan sejak 1995.
Hal tersebut menunjukkan bahwa respons terhadap praktik korupsi cenderung berlangsung lambat bahkan semakin memburuk. Terutama karena minimnya dukungan nyata dari para pemangku kepentingan yang terlibat.
“Situasi ini menimbulkan keprihatinan sekaligus perhatian dari Presiden. DPR juga menyampaikan concern yang sama saat raker dengan Kemenkumham,” ucap Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum BPHN Yunan Hilmy dalam kegiatan Focus Group Discussion Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi Hukum Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi: ‘Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Korupsi’, Kamis (11/05/2023).
Yunan Hilmy menyampaikan hasil evaluasi sementara BPHN yang mengidentifikasi beberapa permasalahan utama dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi (tipikor).
“Beberapa permasalahan yang kami temui antara lain adanya pengaturan dalam United Nations Convention against Corruption (UNCAC) yang belum diatur pada UU Tipikor, tingkat pengembalian aset tipikor yang masih rendah, kesulitan penanganan perkara tindak pidana pencucian uang dan UU Tipikor yang ada saat ini belum mengatur secara rinci mengenai pencegahan (whistle blowing system dan pelaporan LHKPN belum maksimal),” tambah Yunan dalam kegiatan yang berlangsung di Hotel 101 Bogor ini.
Dalam konteks ini, tindak pidana pencucian uang (TPPU) menjadi perhatian utama. TPPU memiliki hubungan erat dengan korupsi karena sering digunakan untuk menyembunyikan jejak uang hasil korupsi atau kegiatan kejahatan lainnya.
Yenti Garnasih, seorang Akademisi Fakultas Hukum Universitas Trisakti menekankan pentingnya “follow the money” dalam TPPU. Ikuti aliran uang dalam praktik korupsi dan lihat siapa saja pihak yang terlibat dalam kasus tersebut.
“IPK Indonesia merosot bukan karena penegakan hukumnya, melainkan karena adanya conflict of interest pada tataran implementasi. Para pakar di dunia internasional bicara bahwa fokus untuk memerangi korupsi ini bukan lagi untuk mengambil kebebasan orang atau mencari uang pengganti. Tetapi untuk menelusuri aliran uang. Sehingga siapa pun yang terlibat dalam proses itu dapat dikriminalisasi,” tambah Yenti.
Mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra Marta Hamzah mencermati bahwa pasal 2 dan 3 UU Tipikor tidak sesuai konteks yang ada saat ini. Latar belakang sejarah terbentuknya kedua pasal tersebut adalah untuk melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan asing.
“Cikal bakal lahirnya pengaturan pada UU Tipikor adalah Peraturan Penguasa Militer Atas Daerah Angkatan Darat di Seluruh Wilayah Indonesia Nomor 06-08-011 Tahun 1957. Konteksnya dalam rangka nasionalisasi perusahaan asing. Penggunaan pasal 2 dan 3 UU Tipikor dalam membuat Mutual Legal Assistance (MLA) tidak dapat dijadikan dasar untuk perampasan aset di luar negeri," pungkas Chandra.
Kegiatan FGD kali ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Analisis dan Evaluasi Hukum mengenai Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi. Melalui FGD ini diharapkan Kelompok Kerja (Pokja) Analisis dan Evaluasi Hukum Mengenai Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi yang diketuai oleh Tongam R. Silaban (Koordinator Bidang Polhukamkesra) dapat memperoleh data dan informasi mengenai urgensi, efektivitas, serta permasalahan substansi dan kelembagaan penegakan hukum tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana korupsi. (HUMAS BPHN