BPHN.GO.ID – Padang. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM mendorong adanya perbaikan tata kelola pada sektor minyak bumi dan gas (migas) guna kemakmuran sebesar-besarnya bagi masyarakat dan negara. Langkah strategis yang dapat dilakukan salah satunya lewat perbaikan regulasi. Pasalnya, payung hukum regulasi terkait migas sudah berusia lebih dari satu dekade.
Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN, Yunan Hilmy mengatakan, sektor migas menjadi salah satu sektor yang penting di negara kita akan tetapi hingga sekarang UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang merupakan regulasi utama dalam tata kelola termasuk hulu dan hilir migas, belum dilakukan pembaharuan. Padahal, hasil analisis dan evaluasi sementara yang dilakukan Kelompok Kerja (Pokja) Analisis dan Evaluasi Hukum terkait Migas di BPHN Kementerian Hukum dan HAM, melihat perlunya perbaikan pada regulasi dimaksud.
“Sampai saat ini Pemerintah masih berupaya melakukan revisi terhadap UU Nomor 22 tahun 2001 setelah lahir 22 tahun yang lalu,” kata Yunan, dalam Focus Group Discussion (FGD) Analisis dan Evaluasi UU Nomor 22 Tahun 2001, Kamis (22/6) di Hotel Tuntrum kota Padang – Sumatera Barat.
Salah satu hal yang disoroti lantaran UU Nomor 22 Tahun 2001 pernah diuji (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Disampaikan Yunan, setidaknya UU Nomor 22 Tahun 2001 telah diuji sebanyak empat kali ke MK karena dinilai bertentangan dengan UUD NRI 1945. Dari empat kali pengujian, tiga Putusan MK yang penting dan krusial, yakni Putusan MK No. 002/PPU-I/2003; Putusan MK No. 36/PUU.X/2012; dan Putusan MK No. 65/PUU.X/2012.
“Setelah 11 tahun putusan MK, UU Nomor 22 Tahun 2001 yang mengatur mengenai Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dinilai urgen diubah untuk mengakhiri sifat kesementaraan tersebut,” kata Yunan.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Tri Hayati, yang hadir sebagai narasumber melihat ada dua persoalan dalam UU Nomor 22 Tahun 2001, yakni pengawasan dan persoalan kewenangan dalam tata kelola migas. Salah satu yang ia soroti misalnya, peran pengawasan yang dilakukan oleh BPH Migas dalam kegiatan hilir migas berdasarkan izin usaha. Menurut Prof Tri Hayati, ketentuan tersebut multitafsir karena dapat dimaknai bahwa pengawasan hanya dilakukan terhadap badan usaha yang memiliki izin.
“Ketentuan tersebut multitafsir sehingga dapat diartikan pengawasan hanya dilakukan terhadap badan usaha yang memiliki izin. Padahal pengawasan perlu diperluas mencakup badan usaha yang tidak berizin usaha,” kata Prof Tri Hayati.
Ketua Komisi VIII DPR RI (1999-2004) sekaligus Ketua Pansus Pembahasan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Prof Irwan Prayitno, menjelaskan, saat ini sedang dilakukan revisi terhadap UU Nomor 22 Tahun 2001. Dengan revisi ini, Irwan beharap RUU Migas dapat meningkatkan penerimaan dan partisipasi daerah dalam kegiatan usaha hulu migas. Di samping itu, RUU Migas diharapkan dapat memberikan kesempatan yang luas bagi perusahaan migas milik negara seperti PT Pertamina sebagai pemimpin dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas.
“RUU Migas diharapkan memberikan ruang bagi perusahaan migas milik negara sebagai ujung tombak,” kata Prof Irwan.
Sebagai informasi, kegiatan FGD Analisis dan Evaluasi UU Nomor 22 Tahun 2001 melibatkan Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM, BPH Migas, serta dari unsur Pemerintah Daerah (Pemda), diantaranya Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Barat, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Solok, Pemkab Sijunjung. Selain itu, dari kampus juga turut hadir perwakilan dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Fakultas Hukum Universitas Ekasakti, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta. Perwakilan dari asosiasi bidang migas, yakni DPC Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana) dan instansi vertikal Kementerian Hukum dan HAM di daerah, yakni Kantor Wilayah Kemenkumham Provinsi Sumatera Barat.
Provinsi Sumatera Barat menjadi sasaran FGD didasarkan pada potensi SDA yang dimiliki yang mengandung cadangan migas dan batu bara. Provinsi Sumatera Barat mempunyai tiga daerah yang memiliki cadangan migas dan batu bara yang berpotensi dieksploitasi, yaitu di wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Sijunjung dan wilayah Sumur Sinamar Blok Singkarak South West Bukit Barisan.
Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN, Yunan Hilmy mengatakan, sektor migas menjadi salah satu sektor yang penting di negara kita akan tetapi hingga sekarang UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang merupakan regulasi utama dalam tata kelola termasuk hulu dan hilir migas, belum dilakukan pembaharuan. Padahal, hasil analisis dan evaluasi sementara yang dilakukan Kelompok Kerja (Pokja) Analisis dan Evaluasi Hukum terkait Migas di BPHN Kementerian Hukum dan HAM, melihat perlunya perbaikan pada regulasi dimaksud.
“Sampai saat ini Pemerintah masih berupaya melakukan revisi terhadap UU Nomor 22 tahun 2001 setelah lahir 22 tahun yang lalu,” kata Yunan, dalam Focus Group Discussion (FGD) Analisis dan Evaluasi UU Nomor 22 Tahun 2001, Kamis (22/6) di Hotel Tuntrum kota Padang – Sumatera Barat.
Salah satu hal yang disoroti lantaran UU Nomor 22 Tahun 2001 pernah diuji (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Disampaikan Yunan, setidaknya UU Nomor 22 Tahun 2001 telah diuji sebanyak empat kali ke MK karena dinilai bertentangan dengan UUD NRI 1945. Dari empat kali pengujian, tiga Putusan MK yang penting dan krusial, yakni Putusan MK No. 002/PPU-I/2003; Putusan MK No. 36/PUU.X/2012; dan Putusan MK No. 65/PUU.X/2012.
“Setelah 11 tahun putusan MK, UU Nomor 22 Tahun 2001 yang mengatur mengenai Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dinilai urgen diubah untuk mengakhiri sifat kesementaraan tersebut,” kata Yunan.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Tri Hayati, yang hadir sebagai narasumber melihat ada dua persoalan dalam UU Nomor 22 Tahun 2001, yakni pengawasan dan persoalan kewenangan dalam tata kelola migas. Salah satu yang ia soroti misalnya, peran pengawasan yang dilakukan oleh BPH Migas dalam kegiatan hilir migas berdasarkan izin usaha. Menurut Prof Tri Hayati, ketentuan tersebut multitafsir karena dapat dimaknai bahwa pengawasan hanya dilakukan terhadap badan usaha yang memiliki izin.
“Ketentuan tersebut multitafsir sehingga dapat diartikan pengawasan hanya dilakukan terhadap badan usaha yang memiliki izin. Padahal pengawasan perlu diperluas mencakup badan usaha yang tidak berizin usaha,” kata Prof Tri Hayati.
Ketua Komisi VIII DPR RI (1999-2004) sekaligus Ketua Pansus Pembahasan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Prof Irwan Prayitno, menjelaskan, saat ini sedang dilakukan revisi terhadap UU Nomor 22 Tahun 2001. Dengan revisi ini, Irwan beharap RUU Migas dapat meningkatkan penerimaan dan partisipasi daerah dalam kegiatan usaha hulu migas. Di samping itu, RUU Migas diharapkan dapat memberikan kesempatan yang luas bagi perusahaan migas milik negara seperti PT Pertamina sebagai pemimpin dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas.
“RUU Migas diharapkan memberikan ruang bagi perusahaan migas milik negara sebagai ujung tombak,” kata Prof Irwan.
Sebagai informasi, kegiatan FGD Analisis dan Evaluasi UU Nomor 22 Tahun 2001 melibatkan Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM, BPH Migas, serta dari unsur Pemerintah Daerah (Pemda), diantaranya Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Barat, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Solok, Pemkab Sijunjung. Selain itu, dari kampus juga turut hadir perwakilan dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Fakultas Hukum Universitas Ekasakti, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta. Perwakilan dari asosiasi bidang migas, yakni DPC Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana) dan instansi vertikal Kementerian Hukum dan HAM di daerah, yakni Kantor Wilayah Kemenkumham Provinsi Sumatera Barat.
Provinsi Sumatera Barat menjadi sasaran FGD didasarkan pada potensi SDA yang dimiliki yang mengandung cadangan migas dan batu bara. Provinsi Sumatera Barat mempunyai tiga daerah yang memiliki cadangan migas dan batu bara yang berpotensi dieksploitasi, yaitu di wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Sijunjung dan wilayah Sumur Sinamar Blok Singkarak South West Bukit Barisan.