SEKILAS TAWARAN METODE PENAFSIRAN FILOSOFIS

Keberlakuan filosofis merupakan salah satu dasar terpenting dari suatu peraturan perundang-undangan sekaligus dasar yang paling sulit dianalisa atau dideteksi (dibandingkan dasar-dasar lainnya) karena sifatnya yang abstrak. Metode-metode analisa evaluasi perundang-undangan yang selama ini sudah ada pun memiliki kelemahan dalam menganalisa dasar filosofis suatu peraturan perundang-undangan.

Hal inilah yang mendorong Puslitbang SHN BPHN untuk mengadakan Continuing Legal Education dengan tema “Sekilas Tawaran Metode Penafsiran Filosofis” yang dibawakan oleh Shidarta dari EPISTEMA Institute. Kegiatan dilaksanakan Aula Mudjono, Kantor BPHN dibuka oleh Plh. Kapuslitbang SHN, Agus Subandriyo, Rabu, (8/7).   

Setiap norma hukum pasti dijiwai oleh asas-asas hukum yang bersumber dari nilai-nilai yang ada di dalam suatu masyarakat. Nilai digambarkan seperti gumpalan awan yang kemudian turun menjadi hujan—yakni asas-asas—dan kemudian ditampung oleh beragam wadah—yakni norma. Sebagai wadah, norma-norma memiliki beragam kapasitas, dari yang menampung banyak air, (berarti norma tersebut mengandung banyak muatan nilai/filosofis) dan yang menampung sedikit air saja (berarti norma tersebut tidak banyak mengandung muatan nilai).

Karena nilai-nilai bersifat sangat abstrak, pengujian terhadap muatan filosofis suatu peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dengan menggunakan asas-asas hukum yaitu meta kaidah yang berada di belakang norma hukum. Asas-asas hukum pada umumnya ditarik dari doktrin-doktrin yang dikemukakan para ahli.  

Mengenai asas-asas hukum yang universal, terdapat beberapa pendapat ahli yang dapat dijadikan rujukan. Paul Scholten mengemukakan lima asas hukum yang universal. Asas yang pertama adalah pemisahan baik dan buruk ini berarti setiap hukum harus dapat menunjukkan apa yang baik dan buruk. Asas kedua setelah ini adalah asas kesamaan perlakuan yang dijiwai oleh nilai keadilan. Asas ketiga yang berdampingan dengan asas keempat adalah asas kepribadian (dijiwai nilai kebebasan) dan asas persekutuan (dijiwai nilai kasih sayang). Setiap hukum akan memiliki penekanan dimensi kepribadian dan dimensi persekutuan yang berbeda, namun tidak mungkin menafikkan salah satunya. Asas yang terakhir adalah asas kewibawaa. Suatu hukum akan memiliki wibawa apabila dapat memenuhi keempat asas yang sebelumnya.

Merujuk pada pemikiran ahli hukum lainnya, Hallevy, Shidarta mengemukakan bahwa suatu ketentuan hukum yang spesifik (spesific legal provision) merupakan turunan atau konkretisasi dari asas-asas hukum di atasnya yang bersifat lebih umum. Jadi dalam sebuah norma hukum terdapat asas-asas yang berjenjang mulai dari Supra Principles yang diturunkan menjadi Fundamental Principles  kemudian diturunkan lagi menjadi Secondary Principles dan barulah menjelma menjadi Spesific Legal Provisions. Supra Principles berupa asas hukum yang umum dan berlaku di segala sektor sedangkan Fundamental Principles biasanya sudah merupakan asas-asas yang berdimensi sektoral dan sangat berkaitan dengan area hukum dari peraturan perundang-undangan tersebut.

Dalam melakukan penafsiran filosofis, dapat dilakukan dengan pertama-tama mencari Supra Principles-nya. Kemudian dari sana dicarilah turunan Fundamental Principles di sektor hukum terkait dan seterusnya. Di sisi lain perlu diingat juga bahwa suatu ketentuan hukum bergerak di antara moral (nilai ideal) dengan tuntutan fakta yang ada. Ketentuan hukum bisa jadi memiliki muatan moral yang lebih nyata apabila mengatur hal-hal yang umum dan prinsipil. Tetapi ketentuan hukum yang mengatur hal-hal yang lebih konkrit dan teknis biasanya tidak terlalu kelihatan dimensi moralnya.

Dimensi moral kerap berkaitan erat dengan keadilan, sedangkan dimensi fakta berkaitan erat dengan kemanfaatan. Pergerakan hukum di antara dua dimensi ini pada negara-negara Anglo Saxon ditentukan oleh para hakim melalui putusannya, tetapi di Indonesia, hal ini dilakukan oleh pemerintah/eksekutif. 

Pada prakteknya, penerapan hal-hal yang filosofis ini bergantung pada politik hukum pemerintah. Jika filsafat hukum adalah refleksi dari nilai-nilai, politik hukum adalah memilih nilai-nilai. Pilihan politik hukum pemerintah dapat saja bersifat dinamis namun tidak boleh keluar dari koridor dan setiap pilihan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan. Bagaimanapun, nilai dan asas dapat juga bergeser dalam suatu masyarakat. Di sinilah dibutuhkan kepekaan dan kejelian para pembentuk maupun analis hukum untuk dapat menjaga agar hukum dapat relevan di tengah masyarakat (mengakomodasi sebanyak mungkin fakta) dalam jangka waktu sepanjang mungkin (VW).