“Banyaknya peraturan perundang-undanganan, yang tumpang tindih, inkosisten dan bertentangan baik antara peraturan yang sederajat maupun dengan peraturan yang lebih tinggi, merupakan permasalahan hukum yang harus segera diatasi.”
Palembang, Media Humas BPHN.
Pembangunan nasional mensyaratkan adanya pembangunan substansi hukum (legal substance) yang berkelanjutan, disamping sub-sub sistem hukum yang lain, yaitu budaya hukum (legal culture) dan kelembagaan/aparatur hukum (legal structure). Demikian pidato Kepala BPHN Dr. Wicipto Setiadi, SH., MH dalam pembukaan Forum Komunikasi Regulasi Daerah di Pelembang , Senin (6/6).
Pembentukan peraturan perundang-undanganan harus dibangun melalui sebuah proses, mulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan setidaknya 3 (tiga) hal ideal yang dijadikan dasar dalam proses, yaitu: (a) asas-asas pembentukan peraturan perundang-undanganan yang baik; (b) Politik hukum pembentukan peraturan perundang-undanganan yang baik; dan (c) sistem pengujian peraturan perundang-undanganan yang memadai.
Banyaknya peraturan perundang-undanganan, yang tumpang tindih, inkosisten dan bertentangan baik antara peraturan yang sederajat maupun dengan peraturan yang lebih tinggi, merupakan permasalahan hukum yang harus segera diatasi. Data dari Kementerian Dalam Negeri, sepanjang tahun 2002-2009, tercatat sebanyak 1.878 perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah dibatalkan. Kebanyakan Perda yang bermasalah tersebut terkait dengan kecenderungan Pemda yang menciptakan berbagai pungutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undanganan diatasnya dan bertentangan dengan kepentingan umum, menghambat arus barang antardaerah, serta menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Berdasarkan ketentuan Pasal 136 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undanganan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Kemudian pada ayat (4) dinyatakan Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undanganan yang lebih tinggi. tandasnya
Lebih lanjut Wicipto mengatakan bahwa Ketentuan Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 tersebut memberikan penegasan bahwa walaupun otonomi yang seluas-luasnya memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat, akan tetapi tidak berarti daerah dapat membentuk peraturan perundang-undanganan atau keputusan yang terlepas dari sistem perundang-undanganan nasional. Peraturan perundang-undanganan di tingkat daerah merupakan bagian tak terpisahkan dari kesatuan sistem perundang-undanganan nasional. Sesungguhnya permasalahan mengenai pembatalan perda, bukan sepenuhnya menjadi kesalahan dari Pemda. Selain Pemerintah Daerah yang memang harus melakukan intropeksi dan evaluasi terhadap peraturan daerah yang disusunnya, Pemerintah Pusat juga harus melakukan evaluasi terhadap kebijakan Pemerintah yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah, utamanya yang terkait dengan pembentukan peraturan daerah. Salah satunya adalah kebijakan mengenai perencanaan pembentukan peraturan daerah. Sebagai instrumen awal yang penting dalam proses pembentukan peraturan daerah, sampai dengan saat ini instrumen pengaturan mengenai teknis penyusunan dan pengelolaan Prolegda masih belum jelas. Kondisi inilah yang menyebabkan timbulnya permasalahan dalam hal tata cara perencanaan pembentukan peraturan daerah yang tentu saja hal tersebut berdampak pada produk hukum yang dihasilkan.
Sebagaimana telah diketahui, mekanisme penyusunan dan pengelolaan Prolegda tidak diatur secara jelas dalam UU No 10 Tahun 2004 maupun dalam UU No 32 Tahun 2004. Bahkan kedua UU tersebut juga tidak mendelegasikan tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegda ke dalam peraturan pelaksanaan. Oleh karena itu, memang wajar apabila sampai saat ini masih ada “kebingungan”, khususnya di daerah, dalam melaksanakan ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU No. 10 tahun 2004.
Walaupun terdapat aturan dari Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Prolegda, yaitu Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 169 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Program Legislasi Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah, akan tetapi pada pelaksanaannya di lapangan, kedua kebijakan tersebut belum mampu menjawab kebingungan mengenai pelaksanaan Prolegda. Permendagri No 16 Tahun 2006 hanya menyebutkan “Penyusunan produk hukum daerah yang bersifat pengaturan dilakukan berdasarkan Prolegda”. Akan tetapi ternyata Permendagri tersebut juga tidak mengatur lebih lanjut ketentuan yang berkenaan dengan aspek Prolegda. Sebenarnya Kepmendagri No. 169 Tahun 2004 relatif lebih rinci mengatur mekanisme Prolegda, akan tetapi produk hukum ini masih juga mempunyai kelemahan, antara lain belum sepenuhnya mengacu ketentuan UU No. 10 tahun 2004, penyusunan Prolegda yang diatur dalam Kepmendagri tersebut hanya ditujukan untuk lingkungan pemerintah daerah sehingga untuk kalangan DPRD sendiri boleh dikatakan sama sekali belum ada gambaran atau pedoman mengenai bagaimana mekanisme penyusunan Prolegda yang berasal dari inisiatif DPRD. Padahal mendasarkan ketentuan dalam Pasal 136 UU No. 32/2004 dinyatakan bahwa Perda dapat ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.
Salah satu bentuk kemajuan terkait dengan fungsi legislasi di DPRD adalah keberadaan Badan Legislasi Daerah (Balegda) di DPRD. Pasal 302 ayat (1) dan Pasal 353 ayat (1) huruf d UU No. 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Jo. Pasal 35 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD, menentukan bahwa salah satu alat kelengkapan DPRD adalah Badan Legislasi Daerah. Ketentuan ini merupakan langkah maju sekaligus dapat menjawab pertanyaan dan keraguan anggota DPRD semasa diberlakukannya UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD terkait pembentukan dan sifat alat kelengkapan DPRD, dalam hal ini Panitia Legislasi (Panleg). Dengan memperhatikan tugas Balegda sebagaimana diatur dalam Pasal 53 huruf a, huruf b dan huruf c PP No. 16 Tahun 2010, maka Keberadaan Balegda akan dapat memaksimalkan peran DPRD dalam pembentukan peraturan daerah yang dimulai dari proses perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengundangan dan penyebarluasan.
Fungsi dari Balegda tersebut juga harus didukung dengan peraturan perundang-undanganan yang memadai, dengan berkaca pada fakta yang terjadi saat ini, wajar apabila kemudian berharap pada RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undanganan yang sedang di bahas oleh DPR RI. RUU ini disusun untuk menggantikan UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undanganan yang masih memiliki kekurangan dan belum menampung kebutuhan hukum masyarakat mengenai pembentukan peraturan perundang-undanganan yang baik.
Juga kami mengharapkan kepada Wakil Ketua Pansus RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undanganan, Rahadi Zakaria, SIP, MH, untuk memberikan pencerahan terkait dengan perkembangan pembahasan RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undanganan, khususnya mengenai Peraturan Daerah dan Perencanaan Peraturan Daerah (Prolegda), termasuk di dalamnya mengenai mekanisme kerja antara DPRD, Pemerintah Daerah dan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM.
Saya berharap kegiatan Forum Komunikasi Regulasi Daerah ini dapat menjadi sarana berkomunikasi antara para stake holder yang terkait dengan proses pembentukan peraturan perundang-undanganan di daerah, baik DPRD, Pemerintah daerah, maupun instansi vertikal Kementerian Hukum dan HAM. Sehingga akan terwujud persamaan persepsi untuk meminimalisir permasalahan-permasalahan yang ada di bidang legislasi di daerah. Sesuai dengan kegiatan ini “Mewujudkan Penyusunan Program Legislasi Daerah Yang Terencana, Terpadu dan Sistematis Untuk Mendukung Penyusunan Peraturan Daerah yang Berkualitas”. *Media Humas BPHN