BPHN.GO.ID - Jember. RUU Penilai masuk usulan Pemerintah di dalam Program Legislasi (Prolegnas) Jangka Menengah 2020-2024. Artinya RUU ini telah lolos seleksi awal skala prioritas dan memiliki urgensi pembentukan. Dua syarat tersebut membawa RUU Penilai didorong masuk sebagai prioritas di tahun depan.
“Kebutuhan profesi Penilai sangat besar dalam berbagai bidang. Perbankan, pasar modal, pembangunan infrastruktur, investasi, penegakkan hukum dan sebagainya,” kata Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (KaBPHN), Widodo Ekatjahjana. Widodo melihat sudah waktunya RUU Penilai yang mengatur profesi Penilai dimasukkan ke dalam prioritas di tahun 2023.
Secara umum, Penilai bertugas untuk melakukan proses penilaian dengan analisa yang jelas atas benda nyata. Penilai merupakan pejabat yang berwenang memberikan tafsiran atau penilaian terhadap aset bangunan, pabrik, rumah maupun aset lainnya. Pada dimensi penegakkan hukum, profesi Penilai memberikan tafsiran obyek yang sedang dalam sengketa.
“Ada kepastian nilai obyek sengketa karena ada tafsiran dari seorang Penilai. Saat ini siapa saja bisa menafsirkan yang menimbulkan ketidakpastian,” ujar KaBPHN. Widodo menambahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) butuh tafsitan dari Penilai untuk menyatakan besaran kerugian negara.
RUU Penilai akan menjadi landasan yuridis dan konstitusional yang kuat dan kokoh. Dari sisi yuridis profesi Penilai bekerja membantu negara dalam memberikan kepastian dan keadilan. Baik itu mengenai aset negara berupa barang milik negara, juga untuk kepentingan publik dan private.
Widodo menjelaskan bahwa profesi Penilai secara konstitusional melaksanakan alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. “Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Selain itu juga harus ditarik ke sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tercipta kepastian, perlindungan dan keadilan,” ujarnya saat menyampaikan keynote speech pada kegiatan Konsultasi Publik RUU Penilai di Jember, Jumat (16/09).
Dengan segala urgensi RUU Penilai untuk masuk prioritas di tahun depan, KaBPHN menegaskan agar penyusunan RUU tersebut wajib memperhatikan syarat formil dan syarat materiil. Syarat formil yaitu dengan menjaring partisipasi serta masukan dari masyarakat. Sedangkan syarat materiil yaitu dengan menguji apakah RUU ini dapat menimbulkan pertentangan secara vertikal dan pertentangan secara horizontal.
“Jangan sampai bertentangan secara vertikal dengan peraturan yang lebih tinggi, UUD 1945. Begitu juga Pancasila. Jika yang diurus oleh Penilai hanya urusan kapital materialistik dan bersifat individual, itu bukan semangat dan bukan sosok penilai dalam mengaktualisasi sila ke lima Pancasila. Jika Penilainya gagal, dia mencederai nilai keadilan yang diamanahkan oleh Pancasila. Ini harus benar-benar dijaga,” jelas Widodo.
Tidak hanya itu, RUU Penilai tidak boleh bertentangan secara horizontal dengan UU lain. Jika terjadi, maka akan menimbulkan ketidakpastian yang bisa ‘memasung’ atau ‘menyandera’ regulasi sektor lain. “Agar hal tersebut tidak terjadi, teman-teman di Pusat Perencanaan Hukum Nasional akan membantu penyelarasan Naskah Akademik draft RUU Penilai. Kalau bisa ajak juga Analis Hukum,” lanjutnya.
Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional Djoko Pudjirahardjo dalam kesempatan yang sama memberikan tanggapan atas Naskah Akademik RUU Penilai yang disusun oleh Kementerian Keuangan. Sebelumnya Kapusrenleg terlebih dulu menjelaskan tahapan-tahapan pembentukan perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana yang diubah dalam UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“RUU Penilai ini sudah dalam tahap perencanaan, yaitu masuk ke Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024 dan penyusunan Naskah Akademik (NA),” jelas Djoko.
Dalam tanggapannya Djoko menjelaskan bahwa perlu perbaikan sistematika dan materi muatan pada Bab I, II dan IV. Perbaikan di Bab I yaitu tentang uraian argumentasi filosofis, uraian metodis yuridis empiris, penajaman argumentasi sosiologis dan penyesuaian sistematika. Pada Bab II diperlukan pemilahan teori dan prinsip sesuai ruang lingkup yang diatur. Di Bab IV revisi penyesuaian sistematika.
Apa itu Naskah Akademik? Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu RUU, Raperda Provinsi atau Raperda Kabupaten/ Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masayarakat.
Arik Hariyono, Direktur Penilaian Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (DJKN) menerangkan progres penyusunan RUU Penilai dimulai di tahun 2009. Di tahun 2022 ini DJKN telah melakukan konsultasi publik sebanyak 18 di seluruh Indonesia. Dia menjelaskan Naskah Akademik RUU Penilai yang terdiri dari Bab I Pendahuluan, Bab II Kajian Teoritis dan Praktik Empiris, serta Evaluasi dan Bab III Analisis Peraturan Perundang-undangan Terkait. Berikutnya Bab IV Landasan Filosofis, Sosilogis dan Yuridis, Bab V Sasaran, Jangkauan, Arah Pengaturan, dan Ruang Lingkup Pengaturan Materi Muatan UU dan penutup.
“Secara ringkas Struktur Draft RUU Penilai, ada 15 BAB yang terdiri 63 Pasal. Menurunkan 11 pokok pengaturan dalam Peraturan Pemerintah. Selain itu menurunkan 9 pokok pengaturan dalam Peraturan Menteri,” lanjutnya.
Koordinator Penyelarasan Naskah Akademik Pusat Perencanaan Hukum Nasional Septyarto Priandono menerangkan bahwa Proses pembentukan RUU Penilai akan membutuhkan dukungan dari banyak pihak. “Dukungan dari Masyarakat Profesi Penilai Indonesia harus diapresiasi. Diharapkan institusi itu konsisten mengawal proses pembentukan RUU hingga ditetapkan menjadi Undang-Undang,” katanya dalam kesempatan terpisah.
Kegiatan Diskusi Publik ini dilaksanakan secara hybrid, yaitu secara luring di Grand Valonia Jember dan secara daring melalui aplikasi Zoom dan Youtube. Selain KaBPHN Widodo Ekatjahjana, Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional Djoko Pudjirahardjo, Direktur Penilaian Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Arik Hariyono, Ketua Komisi Bidang Perekonomian DPRD Provinsi Jawa Timur Alyadi Mustofa, juga Wakil Dekan 1 Fakultas Hukum Universitas Jember I Gede Widhiana Suarda. Ikut hadir Ketua 1 Dewan Pengurus Nasional MAPPI Guntur Pramudiyanto, Ketua 2 Dewan Pengurus Nasional MAPPI Dedy Mohamad Firmanto, peserta dari profesi Penilai, dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember. (HUMAS BPHN)
“Kebutuhan profesi Penilai sangat besar dalam berbagai bidang. Perbankan, pasar modal, pembangunan infrastruktur, investasi, penegakkan hukum dan sebagainya,” kata Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (KaBPHN), Widodo Ekatjahjana. Widodo melihat sudah waktunya RUU Penilai yang mengatur profesi Penilai dimasukkan ke dalam prioritas di tahun 2023.
Secara umum, Penilai bertugas untuk melakukan proses penilaian dengan analisa yang jelas atas benda nyata. Penilai merupakan pejabat yang berwenang memberikan tafsiran atau penilaian terhadap aset bangunan, pabrik, rumah maupun aset lainnya. Pada dimensi penegakkan hukum, profesi Penilai memberikan tafsiran obyek yang sedang dalam sengketa.
“Ada kepastian nilai obyek sengketa karena ada tafsiran dari seorang Penilai. Saat ini siapa saja bisa menafsirkan yang menimbulkan ketidakpastian,” ujar KaBPHN. Widodo menambahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) butuh tafsitan dari Penilai untuk menyatakan besaran kerugian negara.
RUU Penilai akan menjadi landasan yuridis dan konstitusional yang kuat dan kokoh. Dari sisi yuridis profesi Penilai bekerja membantu negara dalam memberikan kepastian dan keadilan. Baik itu mengenai aset negara berupa barang milik negara, juga untuk kepentingan publik dan private.
Widodo menjelaskan bahwa profesi Penilai secara konstitusional melaksanakan alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. “Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Selain itu juga harus ditarik ke sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tercipta kepastian, perlindungan dan keadilan,” ujarnya saat menyampaikan keynote speech pada kegiatan Konsultasi Publik RUU Penilai di Jember, Jumat (16/09).
Dengan segala urgensi RUU Penilai untuk masuk prioritas di tahun depan, KaBPHN menegaskan agar penyusunan RUU tersebut wajib memperhatikan syarat formil dan syarat materiil. Syarat formil yaitu dengan menjaring partisipasi serta masukan dari masyarakat. Sedangkan syarat materiil yaitu dengan menguji apakah RUU ini dapat menimbulkan pertentangan secara vertikal dan pertentangan secara horizontal.
“Jangan sampai bertentangan secara vertikal dengan peraturan yang lebih tinggi, UUD 1945. Begitu juga Pancasila. Jika yang diurus oleh Penilai hanya urusan kapital materialistik dan bersifat individual, itu bukan semangat dan bukan sosok penilai dalam mengaktualisasi sila ke lima Pancasila. Jika Penilainya gagal, dia mencederai nilai keadilan yang diamanahkan oleh Pancasila. Ini harus benar-benar dijaga,” jelas Widodo.
Tidak hanya itu, RUU Penilai tidak boleh bertentangan secara horizontal dengan UU lain. Jika terjadi, maka akan menimbulkan ketidakpastian yang bisa ‘memasung’ atau ‘menyandera’ regulasi sektor lain. “Agar hal tersebut tidak terjadi, teman-teman di Pusat Perencanaan Hukum Nasional akan membantu penyelarasan Naskah Akademik draft RUU Penilai. Kalau bisa ajak juga Analis Hukum,” lanjutnya.
Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional Djoko Pudjirahardjo dalam kesempatan yang sama memberikan tanggapan atas Naskah Akademik RUU Penilai yang disusun oleh Kementerian Keuangan. Sebelumnya Kapusrenleg terlebih dulu menjelaskan tahapan-tahapan pembentukan perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana yang diubah dalam UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“RUU Penilai ini sudah dalam tahap perencanaan, yaitu masuk ke Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024 dan penyusunan Naskah Akademik (NA),” jelas Djoko.
Dalam tanggapannya Djoko menjelaskan bahwa perlu perbaikan sistematika dan materi muatan pada Bab I, II dan IV. Perbaikan di Bab I yaitu tentang uraian argumentasi filosofis, uraian metodis yuridis empiris, penajaman argumentasi sosiologis dan penyesuaian sistematika. Pada Bab II diperlukan pemilahan teori dan prinsip sesuai ruang lingkup yang diatur. Di Bab IV revisi penyesuaian sistematika.
Apa itu Naskah Akademik? Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu RUU, Raperda Provinsi atau Raperda Kabupaten/ Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masayarakat.
Arik Hariyono, Direktur Penilaian Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (DJKN) menerangkan progres penyusunan RUU Penilai dimulai di tahun 2009. Di tahun 2022 ini DJKN telah melakukan konsultasi publik sebanyak 18 di seluruh Indonesia. Dia menjelaskan Naskah Akademik RUU Penilai yang terdiri dari Bab I Pendahuluan, Bab II Kajian Teoritis dan Praktik Empiris, serta Evaluasi dan Bab III Analisis Peraturan Perundang-undangan Terkait. Berikutnya Bab IV Landasan Filosofis, Sosilogis dan Yuridis, Bab V Sasaran, Jangkauan, Arah Pengaturan, dan Ruang Lingkup Pengaturan Materi Muatan UU dan penutup.
“Secara ringkas Struktur Draft RUU Penilai, ada 15 BAB yang terdiri 63 Pasal. Menurunkan 11 pokok pengaturan dalam Peraturan Pemerintah. Selain itu menurunkan 9 pokok pengaturan dalam Peraturan Menteri,” lanjutnya.
Koordinator Penyelarasan Naskah Akademik Pusat Perencanaan Hukum Nasional Septyarto Priandono menerangkan bahwa Proses pembentukan RUU Penilai akan membutuhkan dukungan dari banyak pihak. “Dukungan dari Masyarakat Profesi Penilai Indonesia harus diapresiasi. Diharapkan institusi itu konsisten mengawal proses pembentukan RUU hingga ditetapkan menjadi Undang-Undang,” katanya dalam kesempatan terpisah.
Kegiatan Diskusi Publik ini dilaksanakan secara hybrid, yaitu secara luring di Grand Valonia Jember dan secara daring melalui aplikasi Zoom dan Youtube. Selain KaBPHN Widodo Ekatjahjana, Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional Djoko Pudjirahardjo, Direktur Penilaian Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Arik Hariyono, Ketua Komisi Bidang Perekonomian DPRD Provinsi Jawa Timur Alyadi Mustofa, juga Wakil Dekan 1 Fakultas Hukum Universitas Jember I Gede Widhiana Suarda. Ikut hadir Ketua 1 Dewan Pengurus Nasional MAPPI Guntur Pramudiyanto, Ketua 2 Dewan Pengurus Nasional MAPPI Dedy Mohamad Firmanto, peserta dari profesi Penilai, dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember. (HUMAS BPHN)