Rapat Pleno Prolegnas Di Lingkungan Pemerintah

Penyamaam Persepsi dan paradigma Prolegnas diperlukan dalam menjaga komitmen, baik di lingkungan Pemerintah maupun DPR. Dengan begitu, Prolegnas dapat berjalan dengan konsisten dan terarah.
 
Jakarta, Selasa (25 Maret 2008)— Penyamaam Persepsi dan paradigma Prolegnas diperlukan dalam menjaga komitmen, baik di lingkungan Pemerintah maupun DPR. Dengan begitu, Prolegnas dapat berjalan dengan konsisten dan terarah. Demikian salah satu hal penting yang mengemuka dalam Rapat Pleno Prolegnas yang diadakan Pusat Perencanaan Pembangungan Nasional BPHN di Jakarta, 25 Maret kemarin.

Rapat Pleno yang dihadiri oleh Biro-biro Hukum Departemen/LPND, ini dalam rangka mempersiapkan penyusunan Prolegnas Prioritas Tahun 2009 (Prolegnas Tahunan) dan Prolegnas Tahun 2010 – 2014 (Prolegnas Jangka Menengah). Dalam kaitan hal tersebut, BPHN selaku koordinator penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah, akan memulai kegitan monitoring Prolegnas 2008. Rapat yang melibatkan beberapa LSM --tergabung dalam Forum Komunikasi Prolegnas— tersebut, juga dihadiri oleh Ketua Baleg DPR RI FX. Soekarno serta mantan Kepala BPHN Sunaryati Hartono, yang masing-masing berkesempatan memberikan masukan.

“Prolegnas hendaknya disusun dengan mempertimbangkan visi yang ingin mewujudkan sistem hukum nasional yang tidak terlepas dari ideologi dan nilai kerakyatan,” demikian dikemukakan Soekarno. Untuk itu menurutnya, Prolegnas jangan dipahami sebagai daftar keinginan saja, tetapi harus mempunyai misi untuk terwujudnya Indonesia yang demokratis, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut serta dalam ketertiban dunia, dalam sistem pembangunan hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan bangsa.

Mengenai prosedur penyusunan Prolegnas, kata Soekarno, hendaknya dijalankan dengan komitmen yang tinggi, baik di lingkungan Pemerintah maupun DPR. Sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Pengelolaan Prolegnas, bahwa “lalu lintas” Prolegnas harus melalui satu pintu, yaitu Menteri Hukum dan HAM di lingkungan Pemerintah dan Baleg di lingkungan DPR. Jika komitmen itu dijaga dengan baik, maka langkah-langkah yang besifat “potong kompas” tidak perlu terjadi lagi.

Sementara itu, Sunaryati Hartono –yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Ombudsman-- mengatakan bahwa Prolegnas pada hakekatnya merupakan konkritisasi langkah-langkah di bidang perundang-undangan untuk dapat mewujudkan tujuan yang kita kehendaki sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah/Panjang (RPJM/RPJP). “Prolegnas seharusnya merupakan pemetaan masa depan, bukan hanya masa depan yang kita inginkan, tetapi juga masa depan yang dapat kita bangun. Misalnya, blueprint/mainset untuk lima tahun atau sepuluh tahun kedepan adalah pengembangan IT, untuk itu apa saja yang harus direncanakan dan apa saja yang harus dipersiapkan dan dalam konteks UU nya,” demikian katanya. Oleh karena itu, Prolegnas dapat dijadikan cermin politik hukum nasional yang menggambarkan arah hukum yang akan dibentuk.

Jangan Terlalu Mudah Meratifikasi

Dalam kesempatan ini Sunaryati juga mengkritik langkah-langkah legislatif yang terlalu mudah meratifikasi perjanjian internasional tanpa melihat kondisi dan kebutuhan yang ada di Indonesia. Ketika kita meratfikasi suatu perjanjian internasional maka seluruh aturan perundang-undangan yang terkait harus tunduk pada konvensi Internasional tersebut. Sebagai contoh ratifikasi WTO (UU No.7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing World Trade Organization) yang ternyata banyak merugikan Indonesia dan tidak sesuai dengan visi ekonomi kerakyatan. “Oleh karena itu kita jangan sok internasonal padahal kondisi lokal kita belum mampu menopang,” kata Sunaryati.

Oleh karena itu, bahan-bahan dan informasi pada setiap pembahasan RUU harus disiapkan agar dapat menghasilkan UU yang sistemik, futuristik, holisitk dan nasionalistik. Dalam hal ini Naskah Akademik memegang peranan yang sangat penting, agar mendapatkan UU yang langgeng, karena secara filosofis dan sosiologis dapat diterima masyarakat luas. “Departemen jangan hanya mengajukan program RUU saja, namun tanpa menyiapkan NA yang memadai,” demikian Sunaryati.
Grand Disign BPHN 

Kepala BPHN Ahmad M Ramli, pada kesempatan ini mengemukakan grand design Prolegnas untuk lima tahun ke depan. Dalam hal ini BPHN akan menjaring pendapat/aspirasi masyarakat mengenai aturan apa yang diperlukan untuk diatur, kemudian diinventarisir lalu ditawarkan pada Departemen/LPND untuk menjadi inisiator/pemrakarsa.  

“Dalam forum seperti inilah sebenarnya BPHN berkesempatan menjaring pendapat dari masyarakat sehingga secara sosiologis hukum menjadi bagian dari masyarakat, karena sering kali Departemen/LPND kekurangan ide mengenai hukum apa yang benar-benar dibutuhkan masyarakat,” jelas Ramli.


Selain itu, pada 15 April mendatang, lanjut Ramli, BPHN akan mengadakan Konvensi Nasional tentang Sistem Hukum Nasional untuk menjaring pendapat mengenai hukum apa yang harus dibangun ke depan. Untuk itu, BPHN akan melakukan penelitian kembali secara komprehensif tentang evaluasi dan efektifitas Prolegnas yang sudah berjalan selama ini. (ais)