BPHN.GO.ID – Bekasi. Sejumlah pengaturan dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi beserta perubahannya masih menyisakan sejumlah tantangan bagi penegakan hukum. Aparat penegak hukum (APH) baik di tingkat penyidikan, penuntutan, hingga persidangan mengalami persoalan tersendiri yang membuat upaya pemberantasan kasus korupsi tidak berjalan mulus sesuai tujuan pemidanaannya. Muncul harapan agar hambatan-hambatan dalam pemberantasan kasus korupsi diperbaiki di tingkat regulasi.
Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM, Yunan Hilmy mengatakan, sistem peradilan pidana dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi belum dapat berjalan dengan optimal padahal kasus korupsi merugikan keuangan negara, menghambat pertumbuhan serta kelangsungan Pembangunan nasional. Oleh karena itu, BPHN menaruh perhatian yang tinggi terhadap upaya evaluasi peraturan perundang-undangan dalam rangka mengefektifkan pemberantasan kasus-kasus korupsi di masa mendatang.
“Melihat urgensi tersebut maka dirasa perlu untuk melakukan evaluasi terhadap pengaturan penegakan hukum tindak pidana korupsi,” kata Yunan saat membuka kegiatan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Refleksi Penegak Hukum Terhadap Pengaturan Tindak Pidana Korupsi”, Kamis (24/08) di Hotel Avenzel Bekasi, Jawa Barat.
Untuk lebih menangkap tantangan dan hambatan dalam penegakan hukum, Kelompok Kerja (Pokja) Analisis dan Evaluasi Hukum Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi mengundang perwakilan dari institusi penegak hukum untuk berbagi pengalaman masing-masing. Pada tahap Penyidikan, Direktur Penyidikan dan Plt. Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Brigjen Pol. Asep Guntur Rahayu menyoroti soal belum jelasnya mengenai kapan suatu perkara korupsi dikoordinasikan, disupervisi atau diambilalih dengan institusi penegak hukum lain, yakni antara KPK dan Kejaksaan Agung.
“Selain itu, perkara yang diambil alih apakah penyidikan harus diulang kembali? hal ini juga belum secara tegas diatur” kata Asep.
Pada tahapan penuntutan, Kasubdit Tipikor dan TPPU Direktorat Penuntutan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Arif Budiman berujar, pembuktian terbalik masih menjadi persoalan terutama dalam penerapannya pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999. Namun, ketika digunakan pada Pasal 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 terkait suap, pembuktian terbalik relatif lebih mudah diterapkan.
Menyambung soal Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999, Hakim Ad Hoc Tipikor Banding pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Fauzan mengatakan, sekalipun Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dari segi penjatuhan hukuman pidana, beleid tersebut hanya sebagai pedoman bagi hakim sehingga masih muncul disparitas besaran putusan pidana dalam perkara korupsi.
“Terhadap tindak pidana yang punya klaster yang sama, Perma tersebut sangat membantu” ujar Fauzan.
Ketua Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi BPHN Kementerian Hukum dan HAM, Tongam Renikson Silaban mengidentifikasi beberapa permasalahan yang ditemukan, seperti efektivitas unsur kerugian keuangan negara atau perekonomian negara pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999, tumpang tindih pengaturan gratifikasi dan suap, dan pengaturan serta pelaksanaan pemulihan aset/perampasan aset hasil tindak pidana korupsi belum optimal.
Dalam sesi diskusi, perwakilan KPK juga menyoroti soal penerapan pasal suap dalam rangka pembuktian harus membuktikan adanya pemberi dan penerima suap. Dalam konteks penerima suap adalah prajurit TNI atau dari unsur militer, belum jelas apakah perkaranya dipisah atau dilakukan melalui koneksitas. Dari Kejaksaan Agung, Arif juga menyebut unsur lain pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999, yakni unsur kerugian perekonomian negara tengah dibahas di internal Kejaksaan Agung.
“Saat ini Kejaksaan Agung sedang mencoba memformulasi ruang lingkup perekonomian negara,” tutup Arif.
Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM, Yunan Hilmy mengatakan, sistem peradilan pidana dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi belum dapat berjalan dengan optimal padahal kasus korupsi merugikan keuangan negara, menghambat pertumbuhan serta kelangsungan Pembangunan nasional. Oleh karena itu, BPHN menaruh perhatian yang tinggi terhadap upaya evaluasi peraturan perundang-undangan dalam rangka mengefektifkan pemberantasan kasus-kasus korupsi di masa mendatang.
“Melihat urgensi tersebut maka dirasa perlu untuk melakukan evaluasi terhadap pengaturan penegakan hukum tindak pidana korupsi,” kata Yunan saat membuka kegiatan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Refleksi Penegak Hukum Terhadap Pengaturan Tindak Pidana Korupsi”, Kamis (24/08) di Hotel Avenzel Bekasi, Jawa Barat.
Untuk lebih menangkap tantangan dan hambatan dalam penegakan hukum, Kelompok Kerja (Pokja) Analisis dan Evaluasi Hukum Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi mengundang perwakilan dari institusi penegak hukum untuk berbagi pengalaman masing-masing. Pada tahap Penyidikan, Direktur Penyidikan dan Plt. Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Brigjen Pol. Asep Guntur Rahayu menyoroti soal belum jelasnya mengenai kapan suatu perkara korupsi dikoordinasikan, disupervisi atau diambilalih dengan institusi penegak hukum lain, yakni antara KPK dan Kejaksaan Agung.
“Selain itu, perkara yang diambil alih apakah penyidikan harus diulang kembali? hal ini juga belum secara tegas diatur” kata Asep.
Pada tahapan penuntutan, Kasubdit Tipikor dan TPPU Direktorat Penuntutan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Arif Budiman berujar, pembuktian terbalik masih menjadi persoalan terutama dalam penerapannya pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999. Namun, ketika digunakan pada Pasal 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 terkait suap, pembuktian terbalik relatif lebih mudah diterapkan.
Menyambung soal Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999, Hakim Ad Hoc Tipikor Banding pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Fauzan mengatakan, sekalipun Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dari segi penjatuhan hukuman pidana, beleid tersebut hanya sebagai pedoman bagi hakim sehingga masih muncul disparitas besaran putusan pidana dalam perkara korupsi.
“Terhadap tindak pidana yang punya klaster yang sama, Perma tersebut sangat membantu” ujar Fauzan.
Ketua Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi BPHN Kementerian Hukum dan HAM, Tongam Renikson Silaban mengidentifikasi beberapa permasalahan yang ditemukan, seperti efektivitas unsur kerugian keuangan negara atau perekonomian negara pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999, tumpang tindih pengaturan gratifikasi dan suap, dan pengaturan serta pelaksanaan pemulihan aset/perampasan aset hasil tindak pidana korupsi belum optimal.
Dalam sesi diskusi, perwakilan KPK juga menyoroti soal penerapan pasal suap dalam rangka pembuktian harus membuktikan adanya pemberi dan penerima suap. Dalam konteks penerima suap adalah prajurit TNI atau dari unsur militer, belum jelas apakah perkaranya dipisah atau dilakukan melalui koneksitas. Dari Kejaksaan Agung, Arif juga menyebut unsur lain pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999, yakni unsur kerugian perekonomian negara tengah dibahas di internal Kejaksaan Agung.
“Saat ini Kejaksaan Agung sedang mencoba memformulasi ruang lingkup perekonomian negara,” tutup Arif.