BPHN.GO.ID – Jakarta. Jelang Pemilu 2024, Aparatur Sipil Negara (ASN) telah diwanti-wanti untuk selalu menjaga independensi mereka dan memastikan bahwa kepentingan publik diutamakan di atas segalanya. Namun, menjaga netralitas bukanlah perkara mudah. Ketika partai politik berlomba-lomba memperoleh dukungan, godaan untuk terlibat dalam politik praktis begitu menggiurkan.
Pentingnya menjaga netralitas ini juga turut jadi perhatian Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, Yunan Hilmy. Ia mengungkapkan bahwa ketidaknetralan ASN akan berdampak pada pelayanan publik yang diberikan.
“Bayangkan jika ASN dalam suatu instansi tidak netral dan condong pada salah satu pihak. Hal ini tentu akan merugikan pihak lain yang berseberangan dengannya. Pada akhirnya akan mencederai, tidak hanya etika (dan kode etik) ASN, namun juga mencederai demokrasi,” jelas Yunan Hilmy dalam Apel Pagi Pegawai di Lingkungan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Senin (10/07/2023).
Seandainya ASN tidak netral dan terlalu banyak cawe-cawe dalam demokrasi, yang bukan menjadi tugasnya (dalam bidang politik), maka akan merusak sendi-sendi hukum dan sendi demokrasi. Menurut Yunan, salah satu dampak yang dikhawatirkan adalah terjadinya benturan di masyarakat. Jika hal tersebut terjadi, maka akan membuat indeks hukum dan indeks reformasi Indonesia menjadi menurun. Di sinilah kewajiban ASN untuk menjaga hal tersebut jangan sampai terjadi.
Yunan juga mengingatkan bahwa pada menjelang pemilu, sering kali muncul isu dan upaya untuk mengubah Undang-Undang (UU) terkait politik. Misalnya pada beberapa waktu yang lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan keputusannya terkait sistem pemilu proporsional terbuka dan proporsional tertutup.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN telah mengadakan kajian serta diskusi-diskusi ilmiah, baik secara daring maupun luring, terkait sistem pemilu ini pada bulan Februari 2023 yang lalu. Beberapa narasumber, termasuk praktisi dan akademisi, dihadirkan dalam diskusi tersebut.
“Mereka (para narasumber) berkesimpulan bahwa perubahan UU itu sesuatu hal yang lumrah, akan tetapi bukan untuk kepentingan sesaat. Artinya, UU Pemilu tidak harus dilakukan ketika tahapan pemilu sudah dimulai, karena pasti akan mengarahkan kepada ketidaknetralan atau keuntungan beberapa pihak,” tambah Yunan dalam kegiatan yang berlangsung di Lapangan BPHN tersebut.
Sebagai penutup, Yunan Hilmy mengimbau kepada seluruh jajaran pegawai BPHN untuk perkuat netralitas dan berkomitmen untuk menyukseskan Pemilu 2024. “Ciptakan suasana gembira, tidak bermusuh-musuhan dan tidak saling menjatuhkan. Oleh karena itu akan lahir pemilu yang menjunjung etika berbangsa dan bernegara yang baik. Kita bukan negara liberalis dan sosialis. Namun negara dengan demokrasi Pancasila,” ujarnya. (HUMAS BPHN)
Pentingnya menjaga netralitas ini juga turut jadi perhatian Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, Yunan Hilmy. Ia mengungkapkan bahwa ketidaknetralan ASN akan berdampak pada pelayanan publik yang diberikan.
“Bayangkan jika ASN dalam suatu instansi tidak netral dan condong pada salah satu pihak. Hal ini tentu akan merugikan pihak lain yang berseberangan dengannya. Pada akhirnya akan mencederai, tidak hanya etika (dan kode etik) ASN, namun juga mencederai demokrasi,” jelas Yunan Hilmy dalam Apel Pagi Pegawai di Lingkungan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Senin (10/07/2023).
Seandainya ASN tidak netral dan terlalu banyak cawe-cawe dalam demokrasi, yang bukan menjadi tugasnya (dalam bidang politik), maka akan merusak sendi-sendi hukum dan sendi demokrasi. Menurut Yunan, salah satu dampak yang dikhawatirkan adalah terjadinya benturan di masyarakat. Jika hal tersebut terjadi, maka akan membuat indeks hukum dan indeks reformasi Indonesia menjadi menurun. Di sinilah kewajiban ASN untuk menjaga hal tersebut jangan sampai terjadi.
Yunan juga mengingatkan bahwa pada menjelang pemilu, sering kali muncul isu dan upaya untuk mengubah Undang-Undang (UU) terkait politik. Misalnya pada beberapa waktu yang lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan keputusannya terkait sistem pemilu proporsional terbuka dan proporsional tertutup.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN telah mengadakan kajian serta diskusi-diskusi ilmiah, baik secara daring maupun luring, terkait sistem pemilu ini pada bulan Februari 2023 yang lalu. Beberapa narasumber, termasuk praktisi dan akademisi, dihadirkan dalam diskusi tersebut.
“Mereka (para narasumber) berkesimpulan bahwa perubahan UU itu sesuatu hal yang lumrah, akan tetapi bukan untuk kepentingan sesaat. Artinya, UU Pemilu tidak harus dilakukan ketika tahapan pemilu sudah dimulai, karena pasti akan mengarahkan kepada ketidaknetralan atau keuntungan beberapa pihak,” tambah Yunan dalam kegiatan yang berlangsung di Lapangan BPHN tersebut.
Sebagai penutup, Yunan Hilmy mengimbau kepada seluruh jajaran pegawai BPHN untuk perkuat netralitas dan berkomitmen untuk menyukseskan Pemilu 2024. “Ciptakan suasana gembira, tidak bermusuh-musuhan dan tidak saling menjatuhkan. Oleh karena itu akan lahir pemilu yang menjunjung etika berbangsa dan bernegara yang baik. Kita bukan negara liberalis dan sosialis. Namun negara dengan demokrasi Pancasila,” ujarnya. (HUMAS BPHN)