PENERAPAN METODE COST-BENEFIT ANALYSIS DALAM ANALISA DAN EVALUASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Jakarta, WARTA-BPHN

“Proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus terbuka sebanyak mungkin gagasan agar dapat menghasilkan peraturan perundang-undangan yang inovatif,” ungkap Rival Ahmad dalam kegiatan Continuing Legal Education yang dilaksanakan oleh BPHN, Senin,(29/6).

Kegiatan CLE ini mengambil tema Penerapan Metode Cost-Benefit Analysis dalam Analisa Evaluasi Peraturan Perundang-undangan dibuka oleh Plh. Kapuslitbang SHN, Agus Subandriyo dan menghadirkan narasumber, Rival Ahmad, dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Indonesia Jentera Law School (IJLS).

Metode Cost Benefit Analysis digunakan untuk menilai kelayakan proposal kebijakan. CBA biasanya dilakukan dalam rangka melakukan de-regulasi di suatu negara. Metode CBA mengkonversi dampak-dampak kebijakan ke dalam perhitungan moneter didasari pada pemikiran bahwa setiap kebijakan pasti memiliki dampak secara ekonomi.

Menurut Rival Ahmad, Di Belanda, sebelum membentuk sebuah peraturan, pemerintah mewajibkan agar dilakukan perhitungan terlebih dahulu mengenai biaya yang akan dikeluarkan untuk membentuk aturan tersebut. Apabila ternyata biayanya sangat tinggi dan tidak terdapat anggaran untuk membuatnya, maka peraturan tersebut tidak akan dibuat. Praktek ini sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia di mana suatu peraturan bisa  dibuat begitu saja tanpa adanya perhitungan manfaat atau kerugian yang jelas. Saat diterapkan, banyak peraturan ternyata tidak aplikatif atau tidak efektif.

Menurut data beliau, hampir semua perancang menghadapi persoalan yakni kekurangan data mengenai apa yang terjadi di lapangan. Selain itu, evaluasi terhadap efektivitas suatu peraturan perundang-undangan—apakah suatu undang-undang telah mencapai tujuan pembentukannya atau tidak, mengalami kendala apa dalam penerapannya—juga belum dilakukan. Padahal evaluasi perlu dilakukan untuk mengetahui apakah undang-undang itu memang diperlukan atau tidak. “Undang-undang bukan Kitab Suci yang bisa menyelesaikan semuanya.  

Rival juga menyoroti bagaimana di Indonesia seringkali orang tidak memiliki gambaran atau ide tentang peraturan perundang-undangan yang hendak dibuat sehingga pembentukan menjadi tidak terarah. Dalam merancang suatu peraturan perundang-undangan, seorang perancang atau pembentuk kebijakan harus terlebih dahulu membayangkan situasi baru yang hendak diwujudkan. Setelah itu, ia harus mempertimbangkan setiap opsi-opsi yang ada sebelum menentukan pilihan kebijakan yang akan diambil. Rival menekankan pentingnya kemampuan divergent thinking dalam melihat suatu persoalan serta melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan dalam membentuk sebuah kebijakan. Dengan demikian diharapkan peraturan perundang-undangan yang dibentuk dapat betul-betul membawa manfaat bagi masyarakat. *** VW-tatungoneal