Penegakan Hukum Konflik Agraria Terkait dengan Hak-Hak Masyarakat Adat

Jakarta, WARTA BPHN

Kebijakan terkait dengan masyarakat adat yang paling banyak disorot selama ini adalah di bidang tanah dan sumberdaya alam. Sebab pada lapangan itulah konflik-konflik antara masyarakat adat, instansi pemerintah dan pengusaha terus berlangsung. Kebijakan di bidang tanah dan sumberdaya alam sudah diamanatkan dalam TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. TAP MPR ini merupakan salah satu TAP MPR yang masih tetap berlaku berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status HUKUm TAP MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 serta diperkuat sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan kita oleh UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mendudukan TAP MPR secara hierarki berada di bawah UU/Perpu, demikian Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Nasional, Pocut Eliza, S.Sos. SH.,MH dalam pembukaan kegiatan Pemaparan Hasil Penelitian mengenai Penegakan Hukum Konflik Agraria yang terkait dengan Hak-Hak Masyarakat Adat yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI, Kamis (19/11).

Dari konteks kelahirannya, TAP MPR tersebut merupakan manifestasi semangat reformasi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam supaya lebih responsif terhadap keberadaan masyarakat adat.  salah satu prinsip Pembaruan Agraria adalah mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria.

Setelah ada Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 35/PUU-X/2012 Pengujian Terhadap UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan  yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara, hal ini belum menjadi menjadi landasan yang kuat bagi masyarakat.  Karena Peraturan Perundang-undangan yang terkait agraria Yang terkait dengan Hak-hak Masyarakat Adat bersebaran. Untuk itu diperlukan sinkronisasi dan harmonisasi antar peraturan perundang-undangan tersebut. Kondisi ini hal mudah untuk lakukan karena masih adanya ego sektoral dari masing-masing Kementerian dan lembaga yang berwenang di bidangnya masing-masing.

Melihat kondisi ini maka BPHN memandang perlu untuk melakukan diskusi publik untuk melihat secara objektif bagi para pembentuk kebijakan utamanya dalam rangka Penegakan Hukum Konflik Agraria yang terkait dengan Hak-hak Masyarakat Adat. Sehingga dapat mengetahui reaksi pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 terhadap Penyelesaian konflik Agraria serta mengetahui hambatan dan Upaya penyelesaian Penegakan Hukum Konflik Agraria Yang Terkait dengan Hak-Hak Masyarakat adat melalui mekanisme kearifan lokal. Selain itu BPHN dapat mengkaji kebijakan yang dilakukan Pemerintah dalam rangka upaya menyelesaikan Konflik Agraria yang terkait dengan hak-hak masyarakat adat. Diharapkan pada pertemuan ini akan menghasilkan masukan-masukan konkrit, objektif bagi para pembentuk kebijakan,  untuk  penyempurnaan Hasil Penelitian  Penegakan Hukum Konflik Agraria yang terkait dengan Hak-hak Masyarakat adat oleh Pusat Penelitan dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, BPHN, pangkas Pocut Eliza.

Lain halnya disampaikan oleh Ketua Tim, Ahyar Ary Gayo, SH., MH APU. Menurut beliau bahwa konflik Agraria yang terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia banyak dipicu oleh alasan-alsan ketimpangan kepemilikan, penguasaan danpengelolaan sumber-suber agraria atau yang diebut ketimpangan struktur agraria.

Selanjutnya, dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara, hal ini belum menjadi kebaikan bagi masyarakat adat. Di Lapangan kiminalisasi masyarakat adat sangat tinggi dan luar biasa. Masalah dalam pengadaan tanah sskala luar untuk investasi infrastruktur, perkebunan, pertambangan dankehutanan atau istilah lebih memihak, “perampasan tanah”, sebagaimana dilaporkan oleh Komnas HAM dari tahun ketahun, selalu menjadi urutan pertama dari pengaduan rakyat.

Akibat lanjutan dari konflik agraria adalah meluasnya konflik itu sendiri, dari sekedar klaim atas tanah, sumberdaya alam dan wilayah menjadi konflik-konflik lain. Konflik agraria yang berkepanjangan menciptakan krisis sosial ekologi, termasuk yang mendorong penduduk desa bermigrasi kewilah-wilayah baru untuk mendapatkan tanah pertanian baru, atau pergi dan hidup menjadi golongan miskin kota. Hal ini menjadi sumber masalah baru di kota-kota. Lebih dari itu, artikulasi konflik dapat membentuk konflik lain seperti konflik antara petani pemilik asal tanah dengan pekerja perkebunan, konflik etnis antar penduduk  asli  dan pendatang, bahkan hingga konflik antar kampung atau desa, sebagian besar dilatarbelakangi oleh perebutan atas tanah, Sumber Daya Alam dan wilayah hidup. Masyarakat hukum adat saat keberadaannya seringkali terabaikan dalam pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh  Pemerintah yang menyangkut konflik-konflik agraria yang terus terjadi sampai saat ini dan tidak jarang permasalah ini terus bergulir, tandanya. *tatungoneal