BPHN.GO.ID – Jakarta. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) kembali menyelenggarakan Dengar Pendapat (Public Hearing) Perencanaan Legislasi. Setelah sebelumnya dilaksanakan di Makassar, kegiatan kali ini diadakan di kota Senggigi, Nusa Tenggara Barat. Kepala BPHN Widodo Ekatjahjana dalam sambutan yang disampaikan oleh Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional (Kapusren) Constantinus Kristomo mengungkapkan bahwa saat ini BPHN mulai memetakan kebutuhan hukum untuk Prolegnas Jangka Menengah Periode 2025-2029.
“Kami berharap Prolegnas Usulan Pemerintah tidak lagi hanya menjadi daftar keinginan, namun benar-benar dibutuhkan secara objektif, berbasis ‘masalah (problem)’ yang ingin diselesaikan dan kajian dampak. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat dalam kegiatan ini menjadi krusial karena dapat menjaring masukan, gagasan dan saran dari para pemangku kepentingan,” ujar Kristomo dalam kegiatan yang berlangsung di Hotel Marumata, Senggigi, pada Senin (20/03/2023).
Kapusren menambahkan, BPHN selaku pembina hukum nasional mendorong agar pengusulan perencanaan PUU didahului dengan analisis kebutuhan hukum. Tujuannya untuk menjaga dan memastikan kesesuaiannya dengan hukum nasional, memastikan adanya kebutuhan yang objektif dan memastikan kesesuaian dengan asas kesesuaian jenis dan hierarki PUU.
Pocut Eliza yang menjadi narasumber dalam kegiatan tersebut berpendapat bahwa Prolegnas saat ini belum sepenuhnya berjalan optimal. “Ketidakoptimalan tersebut karena kebutuhan pembentukan hukum sering kali tidak berdasarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Namun lebih didasarkan pada kepentingan atau ‘keinginan’ yang muncul saat disusunnya Prolegnas,” ujar wanita yang pernah menjabat sebagai Kepala Pusat dan Analisis Hukum Nasional BPHN periode 2016-2018 ini.
Oleh karena itu, lanjut Eliza, selain analisis kebutuhan hukum, pemerintah juga harus mengedepankan pemanfaatan hasil pemantauan dan peninjauan terhadap UU berbasis analisis dan evaluasi hukum. “Seharusnya hasil pemantauan dan peninjauan harus menjadi dasar dalam tahap perencanaan. Tahapan ini sangat penting karena akan menentukan tahapan berikutnya dari proses pembentukan PUU. Selain itu, pemantauan dan peninjauan juga sesuai dengan amanat Pasal 95A Ayat 4 UU Nomor 13 Tahun 2022 Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” tambahnya.
Kegiatan hearing ini melibatkan para pemangku kepentingan, baik dari akademisi, pemerhati Hukum Adat, Lembaga Swadaya Masyarakat, KADIN serta ahli hukum perundang-undangan. Para Narasumber banyak memberikan masukan baik terkait daftar RUU pemerintah yang belum masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahunan maupun kebutuhan hukum di luar Prolegnas. Hasil masukan dari para Narasumber akan dijadikan sebagai bahan dalam penyusunan perencanaan program legislasi nasional jangka menengah 2025-2029 usulan pemerintah untuk nanti dibahas bersama dengan Kementerian/Lembaga terkait. (HUMAS BPHN)
“Kami berharap Prolegnas Usulan Pemerintah tidak lagi hanya menjadi daftar keinginan, namun benar-benar dibutuhkan secara objektif, berbasis ‘masalah (problem)’ yang ingin diselesaikan dan kajian dampak. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat dalam kegiatan ini menjadi krusial karena dapat menjaring masukan, gagasan dan saran dari para pemangku kepentingan,” ujar Kristomo dalam kegiatan yang berlangsung di Hotel Marumata, Senggigi, pada Senin (20/03/2023).
Kapusren menambahkan, BPHN selaku pembina hukum nasional mendorong agar pengusulan perencanaan PUU didahului dengan analisis kebutuhan hukum. Tujuannya untuk menjaga dan memastikan kesesuaiannya dengan hukum nasional, memastikan adanya kebutuhan yang objektif dan memastikan kesesuaian dengan asas kesesuaian jenis dan hierarki PUU.
Pocut Eliza yang menjadi narasumber dalam kegiatan tersebut berpendapat bahwa Prolegnas saat ini belum sepenuhnya berjalan optimal. “Ketidakoptimalan tersebut karena kebutuhan pembentukan hukum sering kali tidak berdasarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Namun lebih didasarkan pada kepentingan atau ‘keinginan’ yang muncul saat disusunnya Prolegnas,” ujar wanita yang pernah menjabat sebagai Kepala Pusat dan Analisis Hukum Nasional BPHN periode 2016-2018 ini.
Oleh karena itu, lanjut Eliza, selain analisis kebutuhan hukum, pemerintah juga harus mengedepankan pemanfaatan hasil pemantauan dan peninjauan terhadap UU berbasis analisis dan evaluasi hukum. “Seharusnya hasil pemantauan dan peninjauan harus menjadi dasar dalam tahap perencanaan. Tahapan ini sangat penting karena akan menentukan tahapan berikutnya dari proses pembentukan PUU. Selain itu, pemantauan dan peninjauan juga sesuai dengan amanat Pasal 95A Ayat 4 UU Nomor 13 Tahun 2022 Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” tambahnya.
Kegiatan hearing ini melibatkan para pemangku kepentingan, baik dari akademisi, pemerhati Hukum Adat, Lembaga Swadaya Masyarakat, KADIN serta ahli hukum perundang-undangan. Para Narasumber banyak memberikan masukan baik terkait daftar RUU pemerintah yang belum masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahunan maupun kebutuhan hukum di luar Prolegnas. Hasil masukan dari para Narasumber akan dijadikan sebagai bahan dalam penyusunan perencanaan program legislasi nasional jangka menengah 2025-2029 usulan pemerintah untuk nanti dibahas bersama dengan Kementerian/Lembaga terkait. (HUMAS BPHN)