MUNGKINKAH PARPOL DIBUBARKAN
JIKA TIDAK AKUNTABEL?
Jakarta, WARTA-bphn
Partai Politik (Parpol) memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Hal ini dikarenakan, Parpol sebagai salah satu pilar utama dalam kehidupan demokrasi. Namun untuk mewujudkan sebuah kehidupan domokrasi yang berkualitas tentu dibutuhkan Parpol yang berkualitas pula. Untuk itu maka salah satu upaya menjadikan Parpol lebih berkualitas untuk membangun demokrasi yang berkualitas adalah dengan meningkatkan akuntabilitas Parpol. Hal ini merupakan semangat utama penelitian yang dilaksanakan oleh BPHN mengenai akuntabilitas pendanaan Parpol dalam UU No.2 Tahun 2011 yang telah dipaparkan pada 29 November 2014.
Dalam pemaparan penelitian yang dipimpin oleh Rooseno dari Puslitbang SHN BPHN tersebut tersebut terungkap bahwa sebagian besar Parpol masih belum melaksanakan kewajiban untuk menjalankan standar akuntabilitas Parpol. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan sebagian besar partai politik cenderung tertutup terhadap laporan keuangan partai maupun sumber keuangan partai. Hal ini menimbulkan dugaan, adanya dana-dana tak wajar yang mengalir ke parpol selain bantuan dari APBN. Salah satu contoh dari tertutupnya parpol untuk membuka informasi dana, ditunjukkan melalui hasil uji akses informasi laporan keuangan yang dilakukan ICW. Hanura adalah satu-satunya parpol dari 9 (Sembilan) parpol di parlemen yang tidak bersedia memberikan laporan penggunaan dana APBN.
Dari kondisi demikian kemudian muncul pertanyaan: “mungkinkah Parpol dibubarkan jika terbukti tidak akuntabel?” Pertanyaan ini dilontarkan oleh Abdullah dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang hadir dalam acara pemaparan penelitian tersebut. Hal ini ditanggapi oleh Baroto dari Dirjen Administrasi Hukum Hukum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM dengan terlebih dulu menjelaskan bahwa pembubaran Parpol adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi. Tetapi diakui bahwa bahwa banyak sekali Parpol yang setelah terdaftar di AHU tidak menunjukkan aktivitas dan kewajiban sebagaimana diharuskan oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini juga dibenarkan oleh Mimah Susanti, Ketua Bawasda DKI Jakarta yang hadir dalam acara tersebut.
Pengaturan dana kampanye pemilu legislatif dan eksekutif saat ini dinilai masih memberikan ruang-ruang ketidakadilan dalam pemilu. Peserta pemilu masih sangat mungkin mengumpulkan dana politik sebanyak mungkin dan dari berbagai sumber pendanaan. Ditengah kultur masyarakat yang masih bersikap apolitis dan keinginan para peserta pemilu untuk meraup suara maksimal, besarnya dana kampanye harus mereka dapatkan bagaimanapun caranya. Bahkan terdapat celah normatif yang dapat membuka peluang untuk melakukan pencucian uang. Di antara celah tersebut adalah tidak adanya batasan sumbangan dari anggota partai politik; masih dibolehkannya sumbangan dana kampanye dalam bentuk uang tunai; dana kampanye dalam bentuk barang dan/jasa; serta calon legislatif membiayai diri sendiri tanpa diwajibkan untuk memiliki rekening dana kampanye yang dilaporkan kepada KPU sebagaimana partai politik peserta pemilu.
Seringkali dana kampanye yang dikumpulkan tidak dicek asal-asulnya, apakah dari sumber yang sah menurut batasan dan sumber pendanaan yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam konteks ini, dana ilegal (hasil kejahatan) berpotensi besar masuk sebagai dana kampanye. Jika pendanaan kamapanye politik bersumber dari dana illegal tersebut, maka hal demikian sudah mengarah kepada aktivitas pencucian uang (money laundering).
Dari berbagai persoalan di atas maka ke depan menjadi sangat penting agar akuntabilitas ini dijadikan sebagai syarat pokok pendirian Parpol agar jika tidak melakukannya dapat diajukan untuk diberikan sanksi atau bahkan dibubarkan. Penting juga untuk menjadikan akuntabilitas Parpol ini sebagai syarat mengikuti Pemilu.