Jakarta, WARTA-bphn
Pada awalnya pembentukannya disebut sebagai karya agung bangsa Indonesia.Namun tampaknya setelah berjalan selama tiga dasa warsa ini nampaknya hukum acara pidana belum selaras dalam menangani kasus-kasus pidana khususnya dalam perkembangan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Menanggapi hal tersebut Badan Pembinaan Hukum Nasional sebagai bagian dari Kementerian Hukum dan HAM RI terpanggil untuk melakukan pembenahan terhadap hukum-hukum yang ada di Indonesia.
Kiprah yang dilakukan oleh Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Wicipto Setiadi, dengan meluncurkan Website Kompilasi Hukum Acara Pidana di Indonesia. Peluncuran Website tersebut berlangsung di Four Seasons, Jakarta (11/1). Hadir dalam kegiatan tersebut Menteri Hukum dan HAM RI Amir Syamsuddin, Wakil Jaksa Agung, para pakar hukum, pemerhati hukum serta beberapa akademisi.
Dalam sambutannya Wicipto Setiadi menyampaikan bahwa Seminar dengan topik “Arah Perkembangan Hukum Acara Pidana di Indonesia” adalah merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka peluncuran website Kompilasi Hukum Acara Pidana di Indonesia. Penyusunan database berbasis web ini merupakan hasil kerjasama antara BPHN dengan Bank Dunia, dan dalam pelaksanaan pekerjaannya dibantu oleh pihak ketiga, yaitu Indonesian Legal Roundtable (ILR).
Tujuan penyusunan kompilasi atau database mengenai hukum acara pidana ini dimaksudkan untuk mempermudah bagi masyarakat umum dan masyarakat hukum memperoleh informasi mengenai hukum acara pidana di Indonesia, baik yang diatur dalam KUHAP maupun di luar KUHAP.
Kegiatan penyusunan database hukum acara pidana ini telah dimulai sejak Mei 2011 dengan melibatkan beberapa kegiatan seperti expert meeting, dan konsultasi yang intensif dengan para stakeholder. Setelah acara peluncuran ini, kami telah merencanakan untuk melaksanakan kegiatan capacity building baik pegawai BPHN sehingga nantinya mampu mengembangkan dan meng-update content dari website ini. Ke depan, kerjasama ini juga akan terus berlanjut dengan melakukan penyusunan database berbasis web untuk bidang hukum pidana materiil.
Kegitan seminar ini sengaja dilaksanakan bersamaan dengan peluncuran website hukum acara pidana bertujuan selain untuk mendiseminasi adanya website hukum acara pidana juga dimaksudkan untuk mencermati perkembangan hukum acara pidana di Indonesia dan kendala serta permasalahan di dalam praktek. Masukan-masukan yang mungkin dapat diberikan dalam acara seminar akan sangat berguna bagi pengembangan dan penyempurnaan website hukum acara pidana ini.
Pertama-tama saya ingin mengajak para hadirin semua untuk bersyukur kepada Tuhan YME karena kita semua masih diberikan kemampuan dan semangat untuk bisa hadir pada acara seminar dengan mengangkat topik Arah Perkembangan Hukum Acara Pidana, suatu topik yang menurut saya sangat penting di tengah upaya kita memperbaharui hukum acara pidana Indonesia. Saya juga ingin menyampaikan rasa syukur dan gembira saya bahwa pada pagi hari yang berbahagia ini akan diluncurkan website kompilasi hukum acara pidana Indonesia.
Menteri Hukum dan HAM RI, Amir Syamsuddin dalam sambutannya menyampaikan beberapa hal terkait dengan kebijakan pemerintah di bidang hukum acara pidana, termasuk bagaimana sebenarnya nasib RUU Hukum Acara Pidana (HAP) yang telah disusun, namun sampai sekarang masih belum juga disahkan.
Secara substansi RUU HAP dapat dikatakan sudah memadai, naskah akademiknya juga sudah siap, yang didukung dengan hasil-hasil penelitian dan hasil studi banding. Sekilas, konsep arah perkembangan hukum acara pidana dimaksudkan untuk menciptakan criminal justice system yang dilandasi oleh beberapa motivasi, yang di antaranya untuk: menyempurnakan perlindungan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa; keseimbangan antara perlindungan harkat martabat tersangka/terdakwa dengan perlindungan saksi/korban serta kepentingan umum; pembatasan yang tegas antara upaya penangkapan dan penahanan; penertiban dan penegakkan wibawa aparat penegak hukum. Dengan demikian, dalam RUU Hukum Acara Pidana termuat: konsep adversarial dalam sistem pemeriksaan, ketentuan mengenai Hakim Komisaris, ketentuan mengenai penyadapan, ketentuan mengenai ganti kerugian kepada korban dan jangka waktu penahanan yang diperketat dan sebagainya.
Menyadari pentingnya pembaharuan hukum acara pidana, maka Pemerintah selalu mengusulkan RUU Hukum Acara Pidana untuk diprioritaskan pembahasannya. Tercatat sejak tahun 2005 RUU HAP diusulkan dalam daftar Prolegnas Prioritas tahunan, dan bahkan terakhir juga masuk lagi dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2012. Sebenarnya, pada tahun 2010 draf RUU ini sudah sampai di Presiden, untuk menunggu keluarnya Supres. Namun, karena masih ada hal-hal yang belum disepakati, maka dikembalikan lagi kepada Menteri Hukum dan HAM untuk disempurnakan. Dalam kesempatan ini juga kami sebagai Menteri Hukum dan HAM mencatat beberapa persoalan yang membuat RUU ini terkendala untuk diajukan pembahasannnya di DPR. Di antaranya Pertama, ada pro kontra mengenai ketentuan tentang Hakim Komisaris. Jelas Amis Syamsuddin pada pada peserta seminar. Lebih lanjut Menkumham mengatakan Konsep Hakim Komisaris dalam RUU Hukum Acara Pidana dimakskudkan untuk dapat menggapai tujuan hukum acara pidana, yaitu mencapai objective truth dan melindungi hak asasi terdakwa dan jangan sampai orang tidak bersalah dijatuhi pidana. Maka perlu diadakan pengecekan terhadap terdakwa, saksi dan bukti lain, Hakim Komisaris inilah yang diberi wewenang untuk memeriksa secara fisik apakah terdakwa telah mendapat perlakuan yang adil atau tidak, dan berwenang memberi perintah penahanan, penggeledahan dan atau upaya paksa (coercive measure). Kedua, masih bercabangnya pemikiran apakah segera disahkan sekarang, atau menunggu RUU (pengganti) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai hukum materinya. Ini adalah suatu persoalan sendiri. Di satu sisi, relevansi RUU Hukum Acara Pidana adalah sebagai aturan yang akan menegakkan, mempertahankan atau menjaga ketentuan-ketentuan agar hukum pidana materiil (KUHP) dapat dilaksanakan, sehingga perlu dilakukan pembahasan yang simultan dengan RUU KUHP. Namun di sisi lain penyusunan RUU KUHP, yang notabene terdiri dari sekita 700an ketentuan pasal, memakan waktu yang sangat lama. Seperti kita ketahui semua, bahwa penyusunan RUU KUHP telah berjalan hampir tiga dekade yaitu sejak tahun 1980an, dan hingga saat ini masih belum sempat juga dimulai pembahasannya di DPR. Dapat dipastikan pembahasan RUU KUHP akan membutuhkan tenaga dan pemikiran yang sangat banyak dengan tingkat kesulitan yang tinggi, bahkan mungkin diperlukan strategi khusus terhadap pembahasan RUU KUHP ini agar dapat seefisien mungkin. Menurut pemikiran Menkumham, pembahasan RUU HAP dan RUU KUHP harus segera dimulai, agar tidak hanya sekadar masuk dalam daftar prioritas setiap tahun tanpa ada realisasinya. Urgensi percepatan pembahasan RUU HAP juga terkait dengan maraknya kasus-kasus ringan yang diproses secara legalistik formal berdasarkan hukum acara pidana yang ada, yang justru menimbulkan kontroversial di tengah masyarakat, seperti kasus pencurian kakao oleh nenek Minah, kasus pencurian listrik untuk pengisian baterai handphone di sebuah apartemen, dan terakhir kasus pencurian sandal di Sulawesi Tengah.
Saya berharap bahwa seminar ini akan menjadi salah satu bentuk usaha dan sekaligus pendorong bagi percepatan dimulainya pembahasan RUU HAP dan RUU KUHP. Mengapa demikian? Karena saya yakin, forum ini dihadiri oleh orang-orang yang memiliki kompetensi di bidang hukum. Dengan demikian, dapat memberikan ide-ide segar mengenai formulasi yang efektif bagi arah perkembangan hukum acara pidana dan gagasan bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk mempercepat proses pembahasan RUU HAP dan RUU KUHP di DPR. Harap menkumham.
Seminar ini menghadirkan tiga orang narasumber yang mampu menjawab permasalahan hukum, yakni : Narendra Jatna, SH.,LL.M, Dr. Luhut M. Pangaribuan, S.H.,LL.M dan Prof. Dr. Surya Jaya, S.H., M.H yang akan menguraikan langkah-langkah yang akan diambil oleh Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan melengkapi produk aturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung.
Kepala Pusat perencanaan hukum nasional, Agus Hariadi, ketika di minta tanggapannya mengatakan : bahwa kegiatan ini nyatanya sangat di minati, hal ini dapat di lihat dari jumlah peserta ±200 (dua ratus) yang berasal dari berbagai unsur seperti pakar hukum dari perguruan tinggi (akademisi), pembuat peraturan perundang-undangan, penyelenggara pemerintahan, penegak hukum baik dari Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Mahkamah Agung, perwakilan dari lembaga professional, lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa dan media massa. Harapan saya apa yang dilakukan oleh BPHN kiranya menjadi bagian bagi supremasi hukum di Indonesia* Humas/Tatung Oneal.
Pada awalnya pembentukannya disebut sebagai karya agung bangsa Indonesia.Namun tampaknya setelah berjalan selama tiga dasa warsa ini nampaknya hukum acara pidana belum selaras dalam menangani kasus-kasus pidana khususnya dalam perkembangan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Menanggapi hal tersebut Badan Pembinaan Hukum Nasional sebagai bagian dari Kementerian Hukum dan HAM RI terpanggil untuk melakukan pembenahan terhadap hukum-hukum yang ada di Indonesia.
Kiprah yang dilakukan oleh Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Wicipto Setiadi, dengan meluncurkan Website Kompilasi Hukum Acara Pidana di Indonesia. Peluncuran Website tersebut berlangsung di Four Seasons, Jakarta (11/1). Hadir dalam kegiatan tersebut Menteri Hukum dan HAM RI Amir Syamsuddin, Wakil Jaksa Agung, para pakar hukum, pemerhati hukum serta beberapa akademisi.
Dalam sambutannya Wicipto Setiadi menyampaikan bahwa Seminar dengan topik “Arah Perkembangan Hukum Acara Pidana di Indonesia” adalah merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka peluncuran website Kompilasi Hukum Acara Pidana di Indonesia. Penyusunan database berbasis web ini merupakan hasil kerjasama antara BPHN dengan Bank Dunia, dan dalam pelaksanaan pekerjaannya dibantu oleh pihak ketiga, yaitu Indonesian Legal Roundtable (ILR).
Tujuan penyusunan kompilasi atau database mengenai hukum acara pidana ini dimaksudkan untuk mempermudah bagi masyarakat umum dan masyarakat hukum memperoleh informasi mengenai hukum acara pidana di Indonesia, baik yang diatur dalam KUHAP maupun di luar KUHAP.
Kegiatan penyusunan database hukum acara pidana ini telah dimulai sejak Mei 2011 dengan melibatkan beberapa kegiatan seperti expert meeting, dan konsultasi yang intensif dengan para stakeholder. Setelah acara peluncuran ini, kami telah merencanakan untuk melaksanakan kegiatan capacity building baik pegawai BPHN sehingga nantinya mampu mengembangkan dan meng-update content dari website ini. Ke depan, kerjasama ini juga akan terus berlanjut dengan melakukan penyusunan database berbasis web untuk bidang hukum pidana materiil.
Kegitan seminar ini sengaja dilaksanakan bersamaan dengan peluncuran website hukum acara pidana bertujuan selain untuk mendiseminasi adanya website hukum acara pidana juga dimaksudkan untuk mencermati perkembangan hukum acara pidana di Indonesia dan kendala serta permasalahan di dalam praktek. Masukan-masukan yang mungkin dapat diberikan dalam acara seminar akan sangat berguna bagi pengembangan dan penyempurnaan website hukum acara pidana ini.
Pertama-tama saya ingin mengajak para hadirin semua untuk bersyukur kepada Tuhan YME karena kita semua masih diberikan kemampuan dan semangat untuk bisa hadir pada acara seminar dengan mengangkat topik Arah Perkembangan Hukum Acara Pidana, suatu topik yang menurut saya sangat penting di tengah upaya kita memperbaharui hukum acara pidana Indonesia. Saya juga ingin menyampaikan rasa syukur dan gembira saya bahwa pada pagi hari yang berbahagia ini akan diluncurkan website kompilasi hukum acara pidana Indonesia.
Menteri Hukum dan HAM RI, Amir Syamsuddin dalam sambutannya menyampaikan beberapa hal terkait dengan kebijakan pemerintah di bidang hukum acara pidana, termasuk bagaimana sebenarnya nasib RUU Hukum Acara Pidana (HAP) yang telah disusun, namun sampai sekarang masih belum juga disahkan.
Secara substansi RUU HAP dapat dikatakan sudah memadai, naskah akademiknya juga sudah siap, yang didukung dengan hasil-hasil penelitian dan hasil studi banding. Sekilas, konsep arah perkembangan hukum acara pidana dimaksudkan untuk menciptakan criminal justice system yang dilandasi oleh beberapa motivasi, yang di antaranya untuk: menyempurnakan perlindungan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa; keseimbangan antara perlindungan harkat martabat tersangka/terdakwa dengan perlindungan saksi/korban serta kepentingan umum; pembatasan yang tegas antara upaya penangkapan dan penahanan; penertiban dan penegakkan wibawa aparat penegak hukum. Dengan demikian, dalam RUU Hukum Acara Pidana termuat: konsep adversarial dalam sistem pemeriksaan, ketentuan mengenai Hakim Komisaris, ketentuan mengenai penyadapan, ketentuan mengenai ganti kerugian kepada korban dan jangka waktu penahanan yang diperketat dan sebagainya.
Menyadari pentingnya pembaharuan hukum acara pidana, maka Pemerintah selalu mengusulkan RUU Hukum Acara Pidana untuk diprioritaskan pembahasannya. Tercatat sejak tahun 2005 RUU HAP diusulkan dalam daftar Prolegnas Prioritas tahunan, dan bahkan terakhir juga masuk lagi dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2012. Sebenarnya, pada tahun 2010 draf RUU ini sudah sampai di Presiden, untuk menunggu keluarnya Supres. Namun, karena masih ada hal-hal yang belum disepakati, maka dikembalikan lagi kepada Menteri Hukum dan HAM untuk disempurnakan. Dalam kesempatan ini juga kami sebagai Menteri Hukum dan HAM mencatat beberapa persoalan yang membuat RUU ini terkendala untuk diajukan pembahasannnya di DPR. Di antaranya Pertama, ada pro kontra mengenai ketentuan tentang Hakim Komisaris. Jelas Amis Syamsuddin pada pada peserta seminar. Lebih lanjut Menkumham mengatakan Konsep Hakim Komisaris dalam RUU Hukum Acara Pidana dimakskudkan untuk dapat menggapai tujuan hukum acara pidana, yaitu mencapai objective truth dan melindungi hak asasi terdakwa dan jangan sampai orang tidak bersalah dijatuhi pidana. Maka perlu diadakan pengecekan terhadap terdakwa, saksi dan bukti lain, Hakim Komisaris inilah yang diberi wewenang untuk memeriksa secara fisik apakah terdakwa telah mendapat perlakuan yang adil atau tidak, dan berwenang memberi perintah penahanan, penggeledahan dan atau upaya paksa (coercive measure). Kedua, masih bercabangnya pemikiran apakah segera disahkan sekarang, atau menunggu RUU (pengganti) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai hukum materinya. Ini adalah suatu persoalan sendiri. Di satu sisi, relevansi RUU Hukum Acara Pidana adalah sebagai aturan yang akan menegakkan, mempertahankan atau menjaga ketentuan-ketentuan agar hukum pidana materiil (KUHP) dapat dilaksanakan, sehingga perlu dilakukan pembahasan yang simultan dengan RUU KUHP. Namun di sisi lain penyusunan RUU KUHP, yang notabene terdiri dari sekita 700an ketentuan pasal, memakan waktu yang sangat lama. Seperti kita ketahui semua, bahwa penyusunan RUU KUHP telah berjalan hampir tiga dekade yaitu sejak tahun 1980an, dan hingga saat ini masih belum sempat juga dimulai pembahasannya di DPR. Dapat dipastikan pembahasan RUU KUHP akan membutuhkan tenaga dan pemikiran yang sangat banyak dengan tingkat kesulitan yang tinggi, bahkan mungkin diperlukan strategi khusus terhadap pembahasan RUU KUHP ini agar dapat seefisien mungkin. Menurut pemikiran Menkumham, pembahasan RUU HAP dan RUU KUHP harus segera dimulai, agar tidak hanya sekadar masuk dalam daftar prioritas setiap tahun tanpa ada realisasinya. Urgensi percepatan pembahasan RUU HAP juga terkait dengan maraknya kasus-kasus ringan yang diproses secara legalistik formal berdasarkan hukum acara pidana yang ada, yang justru menimbulkan kontroversial di tengah masyarakat, seperti kasus pencurian kakao oleh nenek Minah, kasus pencurian listrik untuk pengisian baterai handphone di sebuah apartemen, dan terakhir kasus pencurian sandal di Sulawesi Tengah.
Saya berharap bahwa seminar ini akan menjadi salah satu bentuk usaha dan sekaligus pendorong bagi percepatan dimulainya pembahasan RUU HAP dan RUU KUHP. Mengapa demikian? Karena saya yakin, forum ini dihadiri oleh orang-orang yang memiliki kompetensi di bidang hukum. Dengan demikian, dapat memberikan ide-ide segar mengenai formulasi yang efektif bagi arah perkembangan hukum acara pidana dan gagasan bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk mempercepat proses pembahasan RUU HAP dan RUU KUHP di DPR. Harap menkumham.
Seminar ini menghadirkan tiga orang narasumber yang mampu menjawab permasalahan hukum, yakni : Narendra Jatna, SH.,LL.M, Dr. Luhut M. Pangaribuan, S.H.,LL.M dan Prof. Dr. Surya Jaya, S.H., M.H yang akan menguraikan langkah-langkah yang akan diambil oleh Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan melengkapi produk aturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung.
Kepala Pusat perencanaan hukum nasional, Agus Hariadi, ketika di minta tanggapannya mengatakan : bahwa kegiatan ini nyatanya sangat di minati, hal ini dapat di lihat dari jumlah peserta ±200 (dua ratus) yang berasal dari berbagai unsur seperti pakar hukum dari perguruan tinggi (akademisi), pembuat peraturan perundang-undangan, penyelenggara pemerintahan, penegak hukum baik dari Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Mahkamah Agung, perwakilan dari lembaga professional, lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa dan media massa. Harapan saya apa yang dilakukan oleh BPHN kiranya menjadi bagian bagi supremasi hukum di Indonesia* Humas/Tatung Oneal.