BPHN.GO.ID – Jember. Pemerintah terus berupaya mewujudkan supremasi hukum yang berkeadilan, berkepastian, bermanfaat, dan berlandaskan hak asasi manusia untuk menuju Indonesia Emas 2045. Meski demikian, perjalanan menuju agenda pembangunan tersebut tak selamanya mulus dan akan menemui beberapa tantangan.
Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Arfan Faiz Muhlizi, menyebutkan tantangan pembangunan hukum yang mungkin akan ditemui ke depannya meliputi aspek demografi, geopolitik dan geoekonomi, perkembangan teknologi dan digitalisasi, perubahan iklim, dan tata kelola regulasi.
“Dari sisi regulasi, Indonesia saat ini mengalami ‘over regulation’, yang ditandai dengan jumlah peraturan perundang-undangan yang begitu banyak. Di sisi lain, terjadi ketimpangan antara jumlah regulasi dalam dokumen perencanaan dengan yang direalisasikan,” kata Arfan dalam kegiatan Konsultasi Publik Prolegnas, yang digelar Kamis (18/07/2024).
BPHN sebagai koordinator penyusunan Prolegnas mencoba mengatasi tantangan aspek perencanaan dengan menginventarisasi proyeksi kebutuhan RUU dalam Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2025-2029. Inventarisasi tersebut berasal dari residu Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2020-2024, rekomendasi analisis dan evaluasi RUU yang dilakukan oleh Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum BPHN, dan kerangka regulasi dalam rancangan RPJMN 2025-2029.
Pertimbangan RUU untuk dimasukkan ke dalam daftar Prolegnas juga dimulai sejak pembentukan peraturan perundang-undangannya (PUU). Menurut Arfan, setiap pembentukan PUU harus didasari atas penelitian/kajian yang komprehensif mengenai landasan hukum, substansi kebijakan, analisis evaluasi peraturan dan dampak penerapan regulasi (Cost & Benefit Analysis).
“Tidak seluruh permasalahan hukum harus diselesaikan dengan regulasi. Oleh karena itu pembentukan regulasi harus diseleksi sesuai kebutuhannya. Terlalu banyak regulasi berpotensi adanya disharmoni PUU,” tambah Arfan dalam kegiatan yang digelar di Gedung Aula Rektorat Universitas Jember, Jawa Timur.
Selain itu, Arfan menambahkan bahwa dalam sistem hukum nasional pembentukan regulasi hanya satu bagian dari substansi hukum. Penyelesaian masalah hukum harus memperhatikan pula aspek non regulasi seperti struktur hukum (sarana, prasarana, dan aparatur) serta budaya hukum.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, mengkritisi praktik Prolegnas yang lebih menyerupai daftar keinginan daripada perencanaan. Sejak 2005 hingga 2024, persentase capaian terbesar Prolegnas hanya ada pada periode 2010-2014 dengan jumlah 26% saja. Selain itu, dari banyaknya RUU yang telah disetujui, mayoritas berasal dari RUU Kumulatif Terbuka, bukan dari Prolegnas.
Bayu juga memaparkan beberapa strategi penataan Prolegnas, di antaranya mempedomani asas pembentukan PUU yang baik, memperkuat kewenangan Kemenkumham dan Badan Legislasi DPR dalam penyusunan Prolegnas serta Panitia Perancang Undang-Undang DPD.
“Strategi lainnya yakni dengan mencegah format Prolegnas yang hanya sebagai daftar keinginan atau daftar judul, pengetatan syarat bagi RUU yang akan lolos menjadi prioritas, mengadopsi mekanisme evaluasi PUU, dan mencegah agar tidak banyak lagi RUU yang masuk dalam pembahasan di luar RUU Prolegnas,” jelas Bayu.
Gautama B. Arundhati, Pengajar Hukum Internasional Publik FH Universitas Jember, memberikan perspektif dari sisi perencanaan RUU Prolegnas di bidang perjanjian internasional. Menurutnya, pengaturan mengenai perjanjian internasional menjadi hal yang penting berkaitan dengan bagaimana Indonesia harus bertindak dan bagaimana harus mengimplementasikannya.
“Kehati-hatian dalam hal pengaturan mengenai perjanjian internasional di level nasional adalah hal yang luar biasa penting, karena berkaitan dengan bagaimana negara mengekspresikan pengikatannya terhadap suatu kesepakatan yang berupa perjanjian internasional, dan bagaimana pula negara menikmati hak serta menjalankan kewajibannya,” imbuh Gautama.
Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember, Fendy Setyawan, menjelaskan metode Regulatory Impact Analysis (RIA) sebagai alat analisis dan evaluasi suatu kebijakan. Fendy menjabarkan bahwa metode RIA dapat dipahami sebagai proses, alat, dan logika berpikir.
Metode RIA sebagai proses menjelaskan langkah-langkah dalam menganalisis dan mengevaluasi suatu kebijakan, mulai dari identifikasi dan analisis masalah, penetapan tujuan, pengembangan berbagai pilihan/alternatif kebijakan untuk mencapai tujuan, penilaian terhadap pilihan alternatif kebijakan, pemilihan kebijakan terbaik, penyusunan strategi implementasi, dan partisipasi masyarakat di semua proses.
“Selain sebagai proses, metode RIA juga dapat diposisikan sebagai alat untuk menghasilkan kebijakan, tata kelola dan pembangunan yang lebih baik. Metode RIA juga dapat diposisikan sebagai sebuah logika berpikir. Pengambil kebijakan didorong untuk berpikir terbuka dengan menerima masukan dari berbagai komponen yang terkait dengan kebijakan yang hendak diambil,” ujar Fendy.
Kegiatan tersebut dimoderatori oleh Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Muda BPHN Nunuk Febriananingsih dan Muhammad Ilham Fadhlan Putuhena serta dihadiri oleh akademisi, Perancang Peraturan Perundang-undangan, Analis Hukum, Penyuluh Hukum, Asosiasi, Mahasiswa Fakultas Hukum dan Asosiasi yang bergerak di bidang Hukum dan HAM yang ada di wilayah Kabupaten Jember, Jawa Timur. (HUMAS BPHN)