BPHN.GO.ID - Semarang – Hakim Konstitusi Arief Hidayat memberikan pandangannya mengenai arah dan strategi pembinaan hukum di daerah. Poin pentingnya adalah pembinaan hukum di daerah harus dilakukan dengan menjaga konsistensi, koherensi, dan korespondensi peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dengan UUD Tahun 1945 dan Pancasila. Pandangan ini disampaikan sewaktu menjadi narasumber dalam Diskusi Publik Penyusunan Dokumen Pembangunan Hukum Nasional (DPHN) Tahun 2022 “Refleksi dan Proyeksi Pembinaan Hukum di Jawa Tengah”, pada Jumat (10/6) di Hotel Aruss Semarang – Jawa Tengah.
Pandangan mengenai konsistensi, koherensi, dan korespondensi terhadap Pancasila dan UUD Tahun 1945, berulangkali disampaikan Arief dalam berbagai forum. Pendapatnya ini tidak bisa dilepaskan dari pengalamannya sehari-hari sebagai Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi (MK), yakni sewaktu menguji norma dalam Undang-Undang (UU) terhadap UUD Tahun 1945. Pandangan ini juga sangat penting sebagai masukan bagi BPHN dalam penyusunan DPHN tahun 2022 yang fokusnya pada persoalan pembinaan hukum di daerah.
Sesi pertama diskusi dipandu Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, Yunan Hilmy dengan Narasumber Hakim Konstitusi Arief Hidayat. Arief menegaskan, “Politik hukum ideal kita adalah Pancasila, lalu UUD Tahun 1945 menjadi politik hukum dasar negara. Selanjutnya, kita jabarkan ke dalam politik hukum instrumental melalui Undang-Undang sampai Perda. itu perlu dijaga konsistensi, koherensi, dan korespondensinya,” katanya.
Mengacu pada teori Trias Politika, masing-masing cabang kekuasaan dapat melakukan upaya menjaga konsistensi, koherensi, dan korespondensi melalui executive review, legislative review, dan judicial review.
Pentingnya Pengembangan Kualitas Sumber Daya Manusia di Bidang Hukum
“Pembangunan hukum di daerah sebagai bagian dari pembangunan hukum nasional diarahkan untuk mendukung terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap yang bersumber pada nilai Pancasila dan UUD Tahun 1945,” kata Sekretaris BPHN Audy Murfi MZ, dalam kapasitasnya mewakili Kepala BPHN untuk membuka Diskusi Publik.
Daerah pada dasarnya memiliki kedudukan yang krusial dalam sistem hukum di Indonesia karena pada hakikatnya daerah merupakan ujung tombak dari pelaksanaan pembangunan nasional itu sendiri termasuk pembangunan hukum. Namun, kita ketahui bahwa kualitas Perda masih perlu ditingkatkan. Kata Audy, kerap ada keluhan bahwa masih ada Perda yang saling bertentangan dengan peraturan di atasnya, banyak juga Perda yang menghambat pertumbuhan ekonomi, serta Perda yang kurang berjiwa Pancasila.
Oleh karena itu Audy juga berpesan agar pengembangan kualitas sumber daya manusia yang terlibat dalam proses pembentukan dan peninjauan produk hukum daerah dilakukan secara serius. Perancang Peraturan Perundang-undangan memiliki peran sentral bagi hadirnya produk hukum yang berkualitas baik. Lalu hadirnya Jabatan Fungsional Analis Hukum yang tersebar baik di kementerian-kementerian pusat, di kanwil-kanwil Kemenkumham, dan di instansi-instansi daerah, diharapkan dapat berdampingan dengan Perancang untuk semakin menguatkan substansi penyusunan peraturan di daerah.
Tantangan Pembentukan Produk Hukum Daerah
Tantangan pembentukan produk hukum daerah punya persoalannya tersendiri dan dibahas pada sesi kedua yang menghadirkan Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Lita Tyesta ALW dan Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Jawa Tengah, Iwanuddin Iskandar. Pada diskusi yang dipandu oleh Ketua Kelompok Kerja Penyusunan DPHN 2022, Tongam Renikson Silaban, terdapat sejumlah hal yang disoroti, salah satunya terkait pembinaan substansi hukum dalam pembentukan produk hukum daerah. Lebih spesifik lagi, yakni di tahap pembahasan, menurut Iwan terlampau banyak tahapan yang harus dilalui khususnya pada tahapan Fasilitasi oleh Kementerian Dalam Negeri dan Harmonisasi oleh Kementerian Hukum dan HAM.
“Solusinya seharusnya pembahasan fasilitasi produk hukum Kab/Kota dan Harmonisasi Produk Hukum dilakukan bersama dengan tujuan efisiensi waktu dan penyamaan persepsi terhadap substansi produk hukum Kab/Kota,” kata Iwan.
Dari Diskusi Publik ini, Iwan berharap pemerintah pusat melalui BPHN Kementerian Hukum dan HAM bisa menyederhanakan alur tahapan pembahasan yang pada saat ini terdiri dari Fasilitasi – Evaluasi – Register – Harmonisasi. Di samping itu, diharapkan terjadi sinergi dan persamaan persepsi pelaksanaan pembinaan rancangan produk hukum daerah, baik itu melalui Fasilitasi ataupun Harmonisasi.
Sementara dari sisi budaya hukum, Lita menyoroti pentingnya pelibatan masyarakat dalam setiap penyusunan regulasi. “Pelibatan yang dimaksud bukan hanya karena memenuhi proses formil tapi juga berkontribusi secara nyata atas materiilnya,” kata Lita.
Semangat yang diusung DPHN sendiri adalah para pemangku kepentingan mengacu kepada sumber atau pedoman yang sama dalam rangka melakukan pembangunan hukum nasional. Secara historis, DPHN baru dimulai pada tahun 2016 dan setiap tahunnya DPHN terus disempurnakan oleh BPHN dengan fokus pembahasan yang bersifat tematik.