BPHN.GO.ID – Jakarta. Pemerintah melibatkan Pejabat Fungsional Penyuluh Hukum untuk mensosialiasikan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada masyarakat. Hal ini merespons arahan Presiden Joko Widodo agar masyarakat lebih memahami substansi dan mendapatkan kesempatan yang sama untuk memberikan masukan-masukan. Selain sosialisasi difokuskan atas 14 pasal yang mengandung isu krusial, Pejabat Fungsional Penyuluh Hukum secara khusus diperintahkan untuk menangkal informasi menyesatkan terkait draf rancangan.
Wakil Menteri Hukum dan HAM RI Prof Eddy OS Hiariej menyebut bahwa respons masyarakat terhadap RKUHP kurang positif terutama berkaitan dengan proses penyusunannya. Bagi masyarakat, penyusunan RKUHP tidak partisipasif dan tidak terbuka terhadap masukan sehingga prosesnya diibaratkan seperti berjalam dalam lorong gelap. Faktanya sebaliknya, kata Eddy. Menurutnya, sejak awal disusun, RKUHP telah mengakomdasi berbagai masukan dan saran yang bisa dibuktikan dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang mencapai enam ribu lebih.
“Pelibatan itu kita lakukan mulai dari penyusunan,” kata Eddy, pada acara pembekalan dalam rangka Sosialisasi RKUHP kepada Pejabat Fungsional Penyuluh Hukum di seluruh Indonesia, Kamis (1/9) digelar secara hybrid dari Aula Mudjono kantor BPHN, Cililitan – Jakarta Timur.
Sebagai latar belakang, RKUHP nyaris disahkan pada bulan September tahun 2019, namun batal lantaran mendapat banyak kritik dari masyarakat. Dari kejadian itu, Presiden Joko Widodo memerintahkan agar Kementerian Hukum dan HAM RI menyerap aspirasi masyarakat atas pasal-pasal yang banyak mendapat perhatian. Tahun 2021, sebanyak 12 sosialisasi digelar dan melibatkan kalangan akademisi, praktisi, Kementerian/Lembaga (K/L), LSM, dan mahasiswa. Belakangan ini, Presiden saat Rapat Terbatas awal Agustus 2022 kemarin, meminta agar memasifkan sosialisasi dan menjaring masukan yang lebih luas.
Adapun, terkait dengan 14 Pasal krusial, lanjut Eddy, terdiri dari pengaturan living law atau hukum yang hidup di masyarakat (Pasal 2 & 601 RKUHP); pidana mati (Pasal 67 & 100 RKUHP); penghinaan presiden (Pasal 218 RKUHP); santet (Pasal 252 RKUHP); dokter atau dokte gigi (Pasal dihapus); unggas yang merusak kebun (Pasal 277 RKUHP); penyesatan peradilan atau contempt of court (Pasal 280 RKUHP); advokat curang (Pasal dihapus); penodaan agama (Pasal 302 RKUHP); penganiayaan hewan (Pasal 340 ayat (1) RKUHP); menunjukkan alat pencegah kehamilan (Pasal 412 RKUHP); penggelandangan (Pasal 429 RKUHP); aborsi (Pasal 467 RKUHP); dan perzinaan, kohabitasi, dan perkosaan dalam perkawinan (Pasal 415, 416, & 477 RKUHP).
“Pejabat Fungsional Penyuluh Hukum, ketika kita baca satu pasal, yang pertama harus dilihat adalah kita harus baca pasal itu ada di dalam BAB apa. Ini prinsip titulus est lex dan rubrica est lex agar jangan sampai lakukan penafsiran contra legem atau bertentangan dengan maksud dan tujuan undang-undang. Ini menjadi penting,” kata Eddy.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM RI Prof Widodo Ekatjahjana mengatakan, Pejabat Fungsional Penyuluh Hukum harus mengambil peran dengan baik. Sebab, ada bias pemahaman yang terjadi di tengah masyarakat mengenai upaya pemerintah dan DPR dalam melahirkan KUHP nasional yang sudah diimpikan sejak puluhan tahun silam. Ruang diskursus publik justru banyak menampilkan pihak-pihak yang tidak punya kapasitas mengomentari RKUHP sehingga pemahaman masyarakat menjadi terdistorsi.
“Ini tanggung jawab Pejabat Fungsional Penyuluh Hukum bagaimana kita meng-counter (menangkal) ini dan membendung melalui instrumen yang ada,” kata Prof Widodo. (HUMAS BPHN)
Wakil Menteri Hukum dan HAM RI Prof Eddy OS Hiariej menyebut bahwa respons masyarakat terhadap RKUHP kurang positif terutama berkaitan dengan proses penyusunannya. Bagi masyarakat, penyusunan RKUHP tidak partisipasif dan tidak terbuka terhadap masukan sehingga prosesnya diibaratkan seperti berjalam dalam lorong gelap. Faktanya sebaliknya, kata Eddy. Menurutnya, sejak awal disusun, RKUHP telah mengakomdasi berbagai masukan dan saran yang bisa dibuktikan dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang mencapai enam ribu lebih.
“Pelibatan itu kita lakukan mulai dari penyusunan,” kata Eddy, pada acara pembekalan dalam rangka Sosialisasi RKUHP kepada Pejabat Fungsional Penyuluh Hukum di seluruh Indonesia, Kamis (1/9) digelar secara hybrid dari Aula Mudjono kantor BPHN, Cililitan – Jakarta Timur.
Sebagai latar belakang, RKUHP nyaris disahkan pada bulan September tahun 2019, namun batal lantaran mendapat banyak kritik dari masyarakat. Dari kejadian itu, Presiden Joko Widodo memerintahkan agar Kementerian Hukum dan HAM RI menyerap aspirasi masyarakat atas pasal-pasal yang banyak mendapat perhatian. Tahun 2021, sebanyak 12 sosialisasi digelar dan melibatkan kalangan akademisi, praktisi, Kementerian/Lembaga (K/L), LSM, dan mahasiswa. Belakangan ini, Presiden saat Rapat Terbatas awal Agustus 2022 kemarin, meminta agar memasifkan sosialisasi dan menjaring masukan yang lebih luas.
Adapun, terkait dengan 14 Pasal krusial, lanjut Eddy, terdiri dari pengaturan living law atau hukum yang hidup di masyarakat (Pasal 2 & 601 RKUHP); pidana mati (Pasal 67 & 100 RKUHP); penghinaan presiden (Pasal 218 RKUHP); santet (Pasal 252 RKUHP); dokter atau dokte gigi (Pasal dihapus); unggas yang merusak kebun (Pasal 277 RKUHP); penyesatan peradilan atau contempt of court (Pasal 280 RKUHP); advokat curang (Pasal dihapus); penodaan agama (Pasal 302 RKUHP); penganiayaan hewan (Pasal 340 ayat (1) RKUHP); menunjukkan alat pencegah kehamilan (Pasal 412 RKUHP); penggelandangan (Pasal 429 RKUHP); aborsi (Pasal 467 RKUHP); dan perzinaan, kohabitasi, dan perkosaan dalam perkawinan (Pasal 415, 416, & 477 RKUHP).
“Pejabat Fungsional Penyuluh Hukum, ketika kita baca satu pasal, yang pertama harus dilihat adalah kita harus baca pasal itu ada di dalam BAB apa. Ini prinsip titulus est lex dan rubrica est lex agar jangan sampai lakukan penafsiran contra legem atau bertentangan dengan maksud dan tujuan undang-undang. Ini menjadi penting,” kata Eddy.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM RI Prof Widodo Ekatjahjana mengatakan, Pejabat Fungsional Penyuluh Hukum harus mengambil peran dengan baik. Sebab, ada bias pemahaman yang terjadi di tengah masyarakat mengenai upaya pemerintah dan DPR dalam melahirkan KUHP nasional yang sudah diimpikan sejak puluhan tahun silam. Ruang diskursus publik justru banyak menampilkan pihak-pihak yang tidak punya kapasitas mengomentari RKUHP sehingga pemahaman masyarakat menjadi terdistorsi.
“Ini tanggung jawab Pejabat Fungsional Penyuluh Hukum bagaimana kita meng-counter (menangkal) ini dan membendung melalui instrumen yang ada,” kata Prof Widodo. (HUMAS BPHN)