Makna Filosofi Bakso: Pengabdian, Persatuan, dan Semangat Pantang Menyerah

BPHN.GO.ID – Jakarta. Penyuluh Hukum Ahli Utama Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menyampaikan amanat penuh makna dalam kegiatan Apel Pagi Pegawai di Lingkungan BPHN hari ini, Senin (19/02/2024). Ia memilih untuk mengawali pidatonya dengan cerita sederhana yang cukup unik, yakni tentang filosofi bakso.

“Sajian bakso pertama kali dibuat oleh Meng Bo, seorang anak yang tinggal bersama ibunya di daerah Fuzho, Cina, pada era Dinasti Ming,” ujar Djoko mengawali ceritanya. Meng Bo dan ibunya yang cukup renta hidup di daerah peternakan. Sebagai seorang anak yang berbakti, Meng Bo berupaya memastikan ibunya tetap bisa menikmati daging, meskipun kesulitan mengunyahnya.

"Dia berpikir keras, dan akhirnya menemukan cara dengan menggiling daging, membuat bundaran, dan memasaknya dengan kaldu. Ibu Meng Bo sangat menyukainya, dan begitu juga dengan kita hingga saat ini," lanjut Djoko. Dari cerita ini, Djoko mengajak para pegawai untuk merenung bahwa bakso, makanan sederhana, dapat menjadi simbol pengabdian dan kesetiaan anak kepada orang tuanya.

Djoko menjelaskan bahwa bakso tidak hanya menjadi makanan yang disukai semua kalangan, tapi juga menjadi wujud persatuan dan kesatuan. Bakso bisa dimakan oleh siapa saja, tua muda, kapan saja, dan di mana saja. Hal ini mencerminkan makna persatuan dan kesatuan dalam keberagaman.

Selain itu, Djoko menyoroti loyalitas pelanggan terhadap bakso. "Pedagang bakso zaman dulu, meskipun dengan gerobak dorong di tengah panas atau hujan, tetap semangat. Mereka berharap baksonya laris, menunjukkan semangat pantang menyerah," tambah Djoko dalam kegiatan yang berlangsung di Lapangan BPHN ini.

Djoko juga menyinggung soal Asosiasi Pedagang Mie dan Bakso (Apmiso), yang jumlah anggotanya telah mencapai 12 juta orang. Hal ini, menurut Djoko, memberikan gambaran betapa besar peran pedagang bakso, terutama dalam membangkitkan ekonomi masyarakat selama masa pandemi. 

Menutup amanatnya, Djoko mengutip kata-kata Confusius, “Manusia yang unggul selalu berpikir dan berbuat kebaikan.” Ia mengajak semua pegawai BPHN untuk berpikir lebih besar, berbuat baik, dan memilih menjadi manusia yang unggul.

“Kita memiliki pilihan untuk menjadi manusia yang unggul atau manusia pada umumnya. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari filosofi bakso ini untuk lebih mendalamkan pengabdian, mempererat persatuan, dan menumbuhkan semangat pantang menyerah dalam menjalani tugas-tugas kita. Terima kasih, dan mari kita bersama-sama berkontribusi bagi BPHN yang lebih baik,” tutup Djoko. (HUMAS BPHN)