Kunjungan Universitas Bandar Lampung

Sekretaris BPHN Sadikin Sabirin Sambut Magister  Universitas Bandar Lampung.

Jakarta, Warta bphn

Koordinator kunjungan dari Universitas Bandar Lampung Erina, mengatakan bahwa kunjungan Mahasiswa Magister  dari berbagai disiplin ilmu ke Badan Pembinaan Hukum Nasional adalah ingin melihat sejauhmana perkembangan hukum yang akan datang, hal ini terkait dengan kendala didaerah mengenai pembuatan prolegsa, sebab yang ikut dalam kunjungan tersebut salah satunya adalah ketua DPRD Tulang Bawang serta beberapa anggota dewan daerah. Demikian Erina katakan pada Warta-bphn (3/10).

Dalam kesempatan ini, Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diwakili oleh Sadikin Sabirin selaku sekretaris  yang  didampingi oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Nasional menjelaskan sebagaimana telah diketahui, mekanisme penyusunan dan pengelolaan Prolegda tidak diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 maupun dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.  Bahkan kedua Undang-Undang tersebut juga tidak mendelegasikan tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegda ke dalam peraturan pelaksanaan.  Oleh karena itu, memang wajar apabila sampai saat ini masih ada “kebingungan”, khususnya di daerah, dalam melaksanakan ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 10 tahun 2004.  Oleh karena itu, pembangunan nasional selalu mensyaratkan adanya pembangunan substansi hukum (legal substance) yang berkelanjutan di samping sub-sub sistem hukum yang lain, yaitu budaya hukum (legal culture) dan kelembagaan/aparatur hukum (legal structure). Jelas Sadikin Sabirin pada peserta.

Sebagai komponen penting dalam kesatuan sistem hukum nasional, pembentukan peraturan perundang-undangan harus dibangun melalui sebuah proses yang dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Paling tidak terdapat 3 (tiga) hal ideal yang harus dijadikan dasar dalam proses pembangunan pembentukan peraturan perundang-undangan (substansi hukum),  yaitu: (a) asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik; (b) Politik hukum pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik; dan (c) sistem pengujian peraturan perundang-undangan yang memadai.

Fakta bahwa masih banyaknya peraturan perundang-undangan, yang tumpang tindih, inkosisten dan bertentangan baik antara peraturan yang sederajat maupun dengan peraturan yang lebih tinggi, adalah merupakan permasalahan hukum yang harus segera diatasi. Menurut data dari Kementerian Dalam Negeri, sepanjang tahun 2002 sampai dengan tahun 2009, tercatat sebanyak 1.878 peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah telah dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri. Kebanyakan Perda yang bermasalah tersebut terkait dengan kecenderungan Pemerintah Daerah yang menciptakan berbagai pungutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di atasnya dan bertentangan dengan kepentingan umum, menghambat arus barang antardaerah, serta menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Padahal berdasarkan ketentuan Pasal 136 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa  Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Kemudian pada ayat (4) dinyatakan Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Ketentuan Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 tersebut memberikan penegasan bahwa walaupun otonomi yang seluas-luasnya memberikan kewenangan kepada daerah  untuk mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat, akan tetapi tidak berarti daerah dapat membentuk peraturan perundang-undangan atau keputusan yang terlepas dari sistem perundang-undangan nasional. Peraturan perundang-undangan di tingkat daerah merupakan bagian tak terpisahkan dari kesatuan sistem perundang-undangan nasional

Sesungguhnya permasalahan mengenai pembatalan peraturan daerah, bukan sepenuhnya menjadi kesalahan dari Pemerintah Daerah. Selain Pemerintah Daerah yang memang harus melakukan introspeksi dan evaluasi terhadap peraturan daerah yang disusunnya, Pemerintah Pusat juga harus melakukan evaluasi terhadap kebijakan Pemerintah yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah, utamanya yang terkait dengan pembentukan peraturan daerah. Salah satunya adalah kebijakan mengenai perencanaan pembentukan peraturan daerah. Sebagai instrumen awal yang penting dalam proses pembentukan peraturan daerah, sampai dengan saat ini instrumen pengaturan mengenai teknis penyusunan dan pengelolaan Prolegda masih belum jelas. Kondisi inilah yang menyebabkan timbulnya permasalahan dalam hal tata cara perencanaan pembentukan peraturan daerah yang tentu saja hal tersebut berdampak pada produk hukum yang dihasilkan.

Sebagaimana telah diketahui, mekanisme penyusunan dan pengelolaan Prolegda tidak diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 maupun dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.  Bahkan kedua Undang-Undang tersebut juga tidak mendelegasikan tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegda ke dalam peraturan pelaksanaan.  Oleh karena itu, memang wajar apabila sampai saat ini masih ada “kebingungan”, khususnya di daerah, dalam melaksanakan ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 10 tahun 2004. 

Walaupun terdapat aturan dari Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Prolegda, yaitu Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 169 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Program Legislasi Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah, akan tetapi pada pelaksanaannya di lapangan, kedua kebijakan tersebut belum mampu menjawab kebingungan mengenai pelaksanaan Prolegda. Permendagri Nomor 16 Tahun 2006 hanya menyebutkan “Penyusunan produk hukum daerah yang bersifat pengaturan dilakukan berdasarkan Prolegda”. Akan tetapi ternyata Permendagri tersebut juga tidak mengatur lebih lanjut ketentuan yang berkenaan dengan aspek Prolegda. Sebenarnya Kepmendagri No. 169 Tahun 2004 relatif lebih rinci mengatur mekanisme Prolegda, akan tetapi produk hukum ini masih juga mempunyai kelemahan, antara lain belum sepenuhnya mengacu ketentuan UU No. 10 tahun 2004, penyusunan Prolegda yang diatur dalam Kepmendagri tersebut hanya ditujukan untuk lingkungan pemerintah daerah sehingga untuk kalangan DPRD sendiri boleh dikatakan sama sekali belum ada gambaran atau pedoman mengenai bagaimana mekanisme penyusunan Prolegda yang berasal dari inisiatif DPRD.

Salah satu bentuk kemajuan terkait dengan fungsi legislasi di DPRD adalah  keberadaan Badan Legislasi Daerah (Balegda) di DPRD. Pasal 302 ayat (1) dan Pasal 353 ayat (1) huruf d UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Jo. Pasal 35 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD, menentukan bahwa salah satu alat kelengkapan DPRD adalah Badan Legislasi Daerah. Ketentuan ini merupakan langkah maju sekaligus dapat menjawab pertanyaan dan keraguan anggota DPRD semasa diberlakukannya UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD terkait pembentukan dan sifat alat kelengkapan DPRD, dalam hal ini Panitia Legislasi (Panleg). Dengan memperhatikan tugas Balegda sebagaimana diatur dalam Pasal 53 huruf a, huruf b dan huruf c PP No. 16 Tahun 2010, maka Keberadaan Balegda akan dapat memaksimalkan peran DPRD dalam pembentukan peraturan daerah yang dimulai dari proses perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengundangan dan penyebarluasan sehingga tercipta program legislasi daerah yang terencana, terpadu dan sistematis untuk mendukung penyusunan peraturan daerah yang berkualitas di RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Papar Sadikin Sabirin.

Menurut salah seorang peserta mengatakan bahwa apa yang dijelaskan oleh sekretaris cukup memberi gambaran apa yang harus dilakukanh oleh kami di daerah, hanya kami berharap Badan Pembinaan Hukum Nasional lebih proaktif lagi bagi kepentingan pembuatan perda yang berkualitas. **Tang/Wt-bphn