BPHN.GO.ID – Jakarta. Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional pada Rabu (21/09) menyelenggarakan kegiatan Rapat Kelompok Kerja (Pokja) Analisis dan Evaluasi Hukum Perfilman dengan mengundang dua narasumber yang berkompeten di bidangnya, yaitu Ketua Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF RI), Rommy Fibri Hardiyanto dan Praktisi Hukum Persaingan Usaha dari Kantor Hukum Arkananta Vennootschap, Nurmalita Malik. Turut hadir dalam rapat tersebut Yunan Hilmy selaku Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional dan Ketua Badan Perfilman Indonesia sekaligus Anggota Pokja, Gunawan Paggaru.
Yunan Hilmy, yang membuka rapat ini, menuturkan bahwa Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman layak untuk dievaluasi. “Rapat bersama kali ini diselenggarakan untuk mengetahui perspektif yang mendalam terkait permasalahan hukum dalam industri Perfilman. Diharapkan rapat ini dapat mempertajam sekaligus menyempurnakan rekomendasi hasil analisis dan evaluasi yang dilakukan oleh Tim Pokja,” ungkap Yunan.
Rommy Fibri Hardiyanto dalam paparannya mengungkapkan permasalahan yang terjadi di dalam dunia perfilman. “Banyak sekali permasalahan di industri perfilman. Kalau kita bicara LSF, jangan bayangkan film bioskop saja, tetapi ada film televisi, VCD/DVD, e-cinema dan jaringan informatika. Khusus terkait Lembaga Sensor Film, saat ini belum ada Peraturan Pemerintah mengenai tarif sensor sebagai PNBP,” kata Rommy. Rommy juga menuturkan permasalahan kelembagaan LSF, yakni belum adanya kejelasan status tenaga sensor, kompetensi tenaga sensor dan juga mekanisme sensor. Penjelasan Umum UU Perfilman mengamanatkan bahwa film harus dapat berfungsi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan prinsip persaingan usaha yang sehat. Hal ini kemudian dipaparkan secara mendalam oleh Nurmalita Malik dengan memberi beberapa masukan.
“Kami menyarankan RUU Perfilman untuk menundukkan diri secara penuh pada pengaturan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta tidak perlu mengatur secara lex spesialis. Industri perfilman saat ini memiliki kekuatan ekonomi yang besar dan oleh karena itu sudah sepatutnya mendapatkan stimulasi dan perlindungan persaingan usaha yang sehat,” ujar Nurmalita Malik dalam paparannya.
Sebagai informasi, Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum Perfilman merupakan salah satu dari enam kelompok kerja di Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN dengan melakukan analisis dan evaluasi PUU menggunakan metode enam dimensi, yaitu dimensi utama Pancasila, dimensi ketepatan jenis PUU, dimensi disharmoni pengaturan, dimensi kejelasan rumusan, dimensi kesesuaian asas bidang hukum PUU yang bersangkutan, dan dimensi efektivitas pelaksanaan PUU. Penilaian dilakukan berdasarkan variabel serta indikator untuk mempertajam hasil analisis dan evaluasi sehingga dihasilkan rekomendasi yang bisa dimanfaatkan oleh Kementerian/Lembaga maupun masyarakat umum. (HUMAS BPHN)
Yunan Hilmy, yang membuka rapat ini, menuturkan bahwa Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman layak untuk dievaluasi. “Rapat bersama kali ini diselenggarakan untuk mengetahui perspektif yang mendalam terkait permasalahan hukum dalam industri Perfilman. Diharapkan rapat ini dapat mempertajam sekaligus menyempurnakan rekomendasi hasil analisis dan evaluasi yang dilakukan oleh Tim Pokja,” ungkap Yunan.
Rommy Fibri Hardiyanto dalam paparannya mengungkapkan permasalahan yang terjadi di dalam dunia perfilman. “Banyak sekali permasalahan di industri perfilman. Kalau kita bicara LSF, jangan bayangkan film bioskop saja, tetapi ada film televisi, VCD/DVD, e-cinema dan jaringan informatika. Khusus terkait Lembaga Sensor Film, saat ini belum ada Peraturan Pemerintah mengenai tarif sensor sebagai PNBP,” kata Rommy. Rommy juga menuturkan permasalahan kelembagaan LSF, yakni belum adanya kejelasan status tenaga sensor, kompetensi tenaga sensor dan juga mekanisme sensor. Penjelasan Umum UU Perfilman mengamanatkan bahwa film harus dapat berfungsi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan prinsip persaingan usaha yang sehat. Hal ini kemudian dipaparkan secara mendalam oleh Nurmalita Malik dengan memberi beberapa masukan.
“Kami menyarankan RUU Perfilman untuk menundukkan diri secara penuh pada pengaturan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta tidak perlu mengatur secara lex spesialis. Industri perfilman saat ini memiliki kekuatan ekonomi yang besar dan oleh karena itu sudah sepatutnya mendapatkan stimulasi dan perlindungan persaingan usaha yang sehat,” ujar Nurmalita Malik dalam paparannya.
Sebagai informasi, Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum Perfilman merupakan salah satu dari enam kelompok kerja di Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN dengan melakukan analisis dan evaluasi PUU menggunakan metode enam dimensi, yaitu dimensi utama Pancasila, dimensi ketepatan jenis PUU, dimensi disharmoni pengaturan, dimensi kejelasan rumusan, dimensi kesesuaian asas bidang hukum PUU yang bersangkutan, dan dimensi efektivitas pelaksanaan PUU. Penilaian dilakukan berdasarkan variabel serta indikator untuk mempertajam hasil analisis dan evaluasi sehingga dihasilkan rekomendasi yang bisa dimanfaatkan oleh Kementerian/Lembaga maupun masyarakat umum. (HUMAS BPHN)