KESIAPAN HUKUM NASIONAL DALAM MENGHADAPI  ASEAN COMMUNITY 2015

KESIAPAN HUKUM NASIONAL DALAM MENGHADAPI

ASEAN COMMUNITY 2015

 

Jakarta, WARTA-bphn

Kemandirian ekonomi dan kesiapan daya saing internasional menjadi isu penting dalam agenda Nawa Cita sebagaimana diamanatkan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Hal ini ditegaskan kembali oleh Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum., dalam dialog bersama keluarga besar Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional BPHN yang diselenggarakan pada Selasa, 11 November 2014.

 

Persaingan global menjadi isu yang semakin penting dengan segera dibukanya Komunitas Ekonomi ASEAN pada 2015. Badan Pembinaan Hukum Nasional merespons isu ini dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan menerbitkan Jurnal Rechtsvinding yang khusus bertema “Kesiapan Hukum Nasional Dalam Menghadapi ASEAN Community 2015”.

 

Terdapat optimisme sekaligus pesimisme dalam menghadapi ASEAN Community 2015 yang tercermin dalam berbagai artikel jurnal ini. Optimisme terlihat dalam tulisan Syprianus Ariesteus yang berharap bahwa dengan adanya perdagangan bebas, interaksi antarnegara dalam perdagangan menjadi lebih intensif tanpa harus dibatasi oleh peraturan yang membelenggu di dalam negeri negara tujuan. Untuk itu harus segera dijalankan sebuah transformasi industrialisasi berdasarkan sebuah kebijakan yang selektif untuk menjalankannya. Syprianus Aristeus menawarkan peleburan Kementerian Perindustrian dan Perdagangan menjadi satu agar ada satu kebijakan industri yang kuat dan bahwa kebijakan perdagangan dan investasi harus menginduk kepada kebijakan industri.  Senada dengan ini, Masnur Tiurmaida Malau yang melihat pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN di 2015 menuntut upaya-upaya persiapan yang maksimal dari negara-negara anggotanya terutama dari sisi perangkat hukum di berbagai sektor  seperti lalu lintas barang dan modal, tenaga kerja terampil dan penurunan bea masuk (tariff barrier). Begitu juga dengan Subianta Mandala memandang pendekatan konsensus atau musyawarah untuk mufakat perlu diubah model pendekatan yang berlandaskan aturan hukum (rules-based) dalam menghadapi MEA ini, termasuk kerangka hukum penyelesaian sengketa. Salah satu mekanisme penyelesaian sengketa yang menarik dibahas adalah mekanisme penyelesaian sengketa utang piutang pajak yang memposisikan negara sebagai Kreditor. Hal ini lebih jauh dibahas oleh B.G.M. Widipradnyana Arjaya yang menawarkan penyelesaian sengketa melalui prosedur kepailitan dengan  mengoptimalkan peran Kejaksaan.

 

Pendekatan yang berlandaskan aturan hukum sebagaimana ditawarkan  Subianta Mandala juga didukung oleh Muhammad Sapta Murti yang memandang perlunya penataan regulasi akibat  tumpang tindih regulasi di Pulau Batam. Tumpang tindih regulasi tersebut melahirkan dua otoritas yang justru menghambat pembangunan. Dengan memberikan perhatian pada hal ini maka diharapkan cita-cita menjadikan Batam sebagai jalur perdagangan internasional dapat berhasil.

 

Di sisi lain pesimisme pelaksanaan MEA 2015 juga tergambar dalam beberapa artikel seperti Harison Citrawan dan Ade Irawan Taufik.  Harison Citrawan menunjukkan bahwa interaksi perlindungan HAM di tingkat regional dengan nasional akan sia-sia apabila tidak diikuti dengan tingkat kepatuhan hukum (legal compliance) negara-negara anggota ASEAN terhadap norma dan prinsip HAM di tingkat domestik. Terdapat kebutuhan akan harmoni dalam reposisi politik hukum HAM baik di tingkat nasional dan regional, agar dapat diimplementasikan. Sementara Ade Irawan Taufik menyoroti isu ketenagakerjaan, khususnya  masih menonjolnya perlakuan yang tidak manusiawi terhadap pekerja migran. Untuk itu  Piagam ASEAN perlu dielaborasi lebih jauh agar terwujud konsensus dalam penyusunan instrumen perlindungan hak pekerja migran, meski terdapat pesimisme bahwa dukungan dan komitmen negara anggota ASEAN masih  relatif rendah. Pesimisme terkait isu ketenagakerjaan ini kemudian dibahas lebih jauh oleh Muhammad Fadli dengan meningatkan perlunya menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan untuk memberikan pelatihan kerja serta pembentukan Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang bertugas mempersiapkan tenaga kerja terampil, berkualitas dan berdaya saing serta diakui oleh negara ASEAN lainnya dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Mekanisme perlindungan ketenagakerjaan lainnya ditawarkan oleh Budi S.P. Nababan dengan mengatur Tenaga Kerja Asing (TKA) melalui Peraturan Daerah (Perda). Menurutnya perlu Perda tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan TKA agar daerah bisa memungut retribusi terhadap perpanjangan izin bekerja para TKA, sebab tanpa adanya pengaturan maka tidak ada dasar yuridis bagi Pemerintah Daerah untuk memungutnya. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk pengawasan TKA di Indonesia. Lebih jauh mengenai hal ini silahkan mengunjungi: http://www.rechtsvinding.bphn.go.id/?page=home (Arfan FM)