BPHN.GO.ID – Jember. Persoalan pembinaan hukum di Indonesia merupakan masalah yang sangat krusial di tengah meningkatnya angka kriminalitas atau pelanggaran hukum tiap tahun. Berdasarkan data yang dikelola oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dalam Sistem Informasi Database Bantuan Hukum (SIDBANKUM) bahwa pada tahun 2021 jumlah Penerima Bantuan Hukum (Orang/Kelompok Orang Miskin yang berhadapan dengan hukum) di seluruh Indonesia sebanyak 11.990 orang dan berdasarkan data historis dari tahun sebelumnya, angka Penerima Bantuan Hukum biasanya akan terus meningkat.
Meskipun adanya upaya supremasi sebagai tindakan represif, namun program pembinaan sebagai tindakan preventif adalah hal yang lebih diutamakan karena melihat efisiensi penyelenggaraan pembangunan hukum dapat tercipta dengan mewujudkan masyarakat yang sadar hukum dan masyarakat yang tertib hukum.
Sebagai langkah pembinaan hukum, diperlukan peran aktif Penyuluh Hukum yang memiliki tugas utama melaksanakan penyebarluasan informasi dan pemahaman terhadap norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada masyarakat. Meski demikian, Penyuluh Hukum tidak dapat bekerja sendirian dalam melakukan pembinaan hukum. Diperlukan sinergi dengan Organisasi/Lembaga Bantuan Hukum (OBH/LBH), yang juga termasuk paralegal di dalamnya.
Berangkat dari hal tersebut, BPHN melalui Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum menginisiasi kegiatan Sinergitas Peran Penyuluh Hukum dan Organisasi Pemberi Bantuan Hukum dalam Mewujudkan Masyarakat Cerdas Hukum dan Berkeadilan yang dilaksanakan di Hotel Grand Valonia Jember pada Sabtu (16/07).
Kegiatan ini dihadiri oleh Kepala BPHN Widodo Ekatjahjana, Kepala Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum Kartiko Nurintias, Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional Djoko Pudjiraharjo, perwakilan OBH/LBH Jember, perwakilan dari perangkat Desa Sumber Sari, I Gde Widhiana Suarda dan Ermanto Fahamsyah dari Universitas Jember serta Penyuluh Hukum di BPHN dan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Jawa Timur.
Dalam laporannya, Kepala Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum Kartiko Nurintias menyampaikan bahwa saat ini pemerintah mengedepankan upaya preventif dan restoratif justice dalam sistem peradilan di Indonesia.
“Upaya efektif dalam penyelesaian permasalahan hukum yang terjadi di masyarakat tidak selalu melalui lembaga peradilan (litigasi) saja, melainkan upaya preventif dalam pencegahan terjadinya permasalahan hukum berupa kegiatan Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. Kemudian upaya restoratif justice pun menjadi langkah yang lebih efektif sesuai dengan asas budaya masyarakat Indonesia yang selalu mengedepankan permusyawaratan dan kekeluargaan,” ujar Kartiko.
Kepala BPHN Widodo Ekatjahjana yang memberikan sambutan dalam acara ini, menyoroti pentingnya sinergitas Penyuluh Hukum dengan para stakeholders dalam menegakkan pembinaan hukum di masyarakat. “Saat ini jumlah Penyuluh Hukum sekitar 480 orang, dan jumlah ini terus ditambah. Walau demikian, rasanya pekerjaan Penyuluh Hukum tidak bisa dilakukan sendirian. Oleh karena itu sinergitas dengan 619 OBH/LBH, termasuk di dalamnya sekitar 8.000 paralegal, menjadi sebuah keniscayaan untuk bersama-sama mendorong peningkatan kualitas kesadaran hukum di masyarakat,” kata Widodo.
Widodo melanjutkan, tantangan penyuluhan hukum saat ini, adalah para Penyuluh Hukum harus menyentuh tiga aspek sistem hukum guna mengetahui efektivitas keberhasilan penyuluhan hukumnya. Meminjam tiga aspek dari Friedman, pekerjaan Penyuluh Hukum harus menyentuh aspek Legal Substance, Legal Structure dan Legal Culture. Legal Substance (Substansi Hukum) meliputi pemaparan produk dan materi hukum seperti peraturan dan perundang-undangan. Legal Structure (Struktur Hukum) mengenai bagaimana sasaran pembinaan/penyuluhan hukum bergerak memperkuat lembaga/institusi hukum yang ada. Kemudian Legal Culture (Budaya Hukum), ialah bagaimana menanamkan kesadaran dan kepatuhan hukum di masyarakat meliputi perilaku, mental dan cara berpikir.
“Oleh karena itu kegiatan saat ini begitu penting guna menyentuh tiga aspek tersebut. Kegiatan penyuluhan dimulai dari unit terkecil, yaitu desa dan kelurahan. Diharapkan desa/kelurahan tadi juga dapat membangun keluarga taat hukum sehingga legal culture (budaya hukum) dapat berjalan dengan baik di masyarakat,” tutup Widodo. (HUMAS BPHN)