Kepala BPHN Dorong Jajarannya untuk Bangun Konsep Pembinaan Hukum Nasional yang Holistik dan Inklusif

BPHN.GO.ID – Malang. Sebagai institusi yang telah berdiri sejak tahun 1958, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) memiliki sejarah panjang sebagai arsitek bagi konstruksi hukum di Indonesia. Ironisnya, hingga saat ini BPHN masih belum memiliki payung undang-undang yang mengatur kelembagaannya serta pembinaan hukum nasional secara menyeluruh. 

Hal ini menjadi fokus utama Kepala BPHN, Widodo Ekatjahjana, ketika memberikan sambutan dalam kegiatan Fasilitasi Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan BPHN, Senin (04/12/2023). Ia menganalogikan kinerja BPHN seperti tukang bangunan yang sibuk melayani dan membangun rumah orang lain, namun konstruksi rumahnya sendiri membutuhkan perbaikan atau renovasi.

“Walau telah lama berdiri, BPHN masih belum memiliki undang-undangnya sendiri. Ini sangat disayangkan, mengingat beberapa Unit Eselon I di lingkungan Kemenkumham lain sudah memiliki payung hukumnya sendiri,” ujar Widodo dalam kegiatan yang dihelat di Aston Inn Hotel Batu, Malang. 

Widodo menyoroti persepsi bahwa fungsi BPHN terlalu cenderung kepada pembinaan regulasi atau peraturan perundang-undangan. Padahal, menurutnya lingkup BPHN lebih luas dari itu. 

“BPHN seharusnya melakukan pembinaan hukum ke seluruh dimensi, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Cakupannya luas, melingkupi hukum adat, hukum agama, hukum internasional, dan lain sebagainya,” pungkas Widodo. 

Lebih lanjut, Kepala BPHN juga mengingatkan jajarannya untuk lebih jeli dalam melihat di mana pembinaan hukum dapat berperan. Hal tersebut kemudian dijabarkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pembinaan Hukum Nasional (RUU PHN), yang saat ini tengah disusun. 

“Beberapa contoh yang mungkin bisa dimasukkan, antara lain fungsi administrasi hukum, eksaminasi putusan peradilan, pembentukan jabatan fungsional auditor hukum, dan menyusun indeks kepatuhan hukum,” kata Widodo menjelaskan.

Legal auditor atau auditor hukum, tambah Widodo, memiliki wewenang eksekutorial dalam merekomendasikan produk hukum yang diuji. Sedangkan indeks kepatuhan sebagai penilaian terhadap kepatuhan aspek-aspek hukum di suatu institusi.

Sekretaris BPHN, I Gusti Putu Milawati, dalam laporannya menyampaikan bahwa kegiatan kali ini merupakan tindak lanjut atas sejumlah kegiatan terkait penyusunan RUU PHN yang telah diadakan sebelumnya. Selain itu, kegiatan ini juga sebagai langkah konkret untuk memperluas partisipasi publik dalam penyusunan RUU PHN.

“Seiring dengan hal tersebut, kegiatan ini turut melibatkan narasumber dari berbagai lapisan, mulai dari Biro Perencanaan Kemenkumham, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan,” pungkas Sekretaris BPHN.

Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian PPN/Bappenas, R.M. Dewo Broto Joko Putranto, menjelaskan bahwa Bappenas memiliki wacana serupa dengan indeks kepatuhan yang disampaikan Widodo, namanya Indeks Pembangunan Hukum (IPH). Rencananya, perhitungan terkait indeks tersebut akan dilakukan oleh BPHN.

“Dalam IPH, terdapat pilar budaya hukum yang mengukur kepatuhan hukum masyarakat dan lembaga hukum. Oleh karena itu, perlu dukungan BPHN untuk dapat mengembangkan pengukuran kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat sebagai input terhadap IPH,” jelas Dewo.  

Dari segi anggaran, Kepala Sub Direktorat Anggaran Bidang Hukum Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Fauzi Samsyuri, menyambut baik langkah BPHN menyusun RUU PHN. Fauzi menegaskan bahwa pendekatan dalam RUU PHN sejalan dengan penganggaran berbasis kinerja, di mana sistem penganggaran memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dan kinerja yang diharapkan.

“Jadi, kita harus memperhatikan apa output dan outcome dari kegiatan yang dilakukan. Tentunya dengan kuantitas dan kualitas yang terukur. Instrumen dari penganggaran berbasis kinerja ini ada tiga, yaitu indikator kinerja, standar biaya, dan evaluasi kinerja,” tutup Fauzi. (HUMAS BPHN)