Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Wicipto Setiadi bahas Rancangan Peraturan Pemerintah terkait Pelaksanaan Bantuan Hukum.
Jakarta, WARTA-bphn
Untuk mengimplentasikan Undang Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum diperlukan piranti-piranti yang harus disepakati. Ada dua pasal yang mendelagasikan untuk disusun Peraturan Pemerintah dalam UU No. 16 tentang bantuan hukum ini, yaitu Pasal 15 [5] Pasal 18 UU tentang Bantuan Hukum, dikatakan oleh Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional bahwa substansinya pada Pasal 15 (5) yaitu syarat dan tatacara pemberian bantuan hukum, kemudian Pasal 18 mengenai tata cara penyaluran dana bantuan hukum, yang perlu disepakati dalam forum ini, apakah hanya satu PP saja atau 2 PP seperti yang diamanatkan oleh UU, demikian Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional katakan dalam rapat Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah terkait dengan Pelaksanaan Bantuan Hukum yang dilaksanakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jl. Mayjen Sutoyo-Cililitan, Jakarta Timur. Selasa (24/1).
Dikatakan juga bahwa, pertemuan seperti ini telah dilakukan beberapa kali, namun belum membahas pada kelompok kerja, pertemuan sebelumnya lebih banyak pada program apa yang akan dikerjakan, dan juga siapa yang akan bertangung jawab dan di bidang apa, jelas Wicipto pada forum pertemuan.
Adapun pembiayaan dalam kegiatan ini sepenuh dibantu oleh empat mitra kerja yaitu UNDP, AIPJ, World bank dan Open sociaty. Harapan saya, rapat ini bisa diselenggarakan beberapa kali dengan tujuan agar Undang Undang Bantuan Hukum ini berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan, tambahnya. Dalam rapat ini juga kami mengundang stakeholders dengan tujuan agar dalam pertemuan ini sesuai dengan harapan stakeholders.
Hadir dalam rapat yang digelar Badan Pembinaan Hukum Nasional, antara lain Adnan Buyung Nasution, Ahmad Santosa, AKBP M Marbun dari Mabes POLRI, Mahkamah Agung serta perwakilan dari Bapenas, LSM serta perwakilan dari instansi pemerintah.
Dengan banyaknya peserta ini diharapkan akan memperkaya rancangan yang akan disusun namun diharapkan juga untuk tidak menjadi penghambat dalam penyusunan rancangan peraturan pemerintah, harap Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Wicipto Setiadi.
Adnan Buyung yang juga hadir dalam pertemuan tersebut menjelaskan mengatakan bahwa Negara harus menjamin hak warga negara untuk memperoleh bantuan hukum; serta harus memisahkan antara civil society (masyarakat) dengan state (pemerintah) agar dapat diketahui mana hak rakyat, mana hak negara; saya menyadari bahwa banyak bangsa Indonesia belum menyadari akan hak-hak konstitusionalnya.
Adapun menurut pandangan Mas Ahmad Sentosa, yang perlu digarisbawahi adalah dalam undang-undang ini ada satu tendensi bahwa orang yang berhak memperoleh bantuan hukum adalah orang yang miskin secara ekonomi, pengertian miskin dapat diartikan secara luas, bukan hanya secara ekonomi. Pertanyaannya apakah orang yang berhak memperoleh bantuan hukum hanya orang yang miskin secara ekonomis? Bagaimana orang yang miskin secara struktural ?. Jika yang dibantu hanya orang yang miskin secara ekonomis maka tidak akan banyak membantu menjamin hak-hak orang secara konstitusional. paparnya
Lain halnya menurut Alvon dari YLBHI yang menyinggung tentang mekanisme, bagaimana dengan perempuan dan anak diakomodir untuk memperoleh bantuan hukum. Lebih rinci ia katakan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 83 juga ditegaskan tentang bantuan hukum secara cuma-cuma, dan peraturan pemerintah tentang bantuan hukum harus mengarah pada teknis, bukan lagi filosofis.
Menurut pandangan LBH APIK yang diwakili oleh Ratna Batara, mengharapkan agar RPP ini dapat menutupi kelemahan dalam UU Bantuan Hukum, namun persepsi saya dalam RPP ini terutama dalam Pasal 14 lebih dipersempit lagi hanya pada tersangka. Dalam beberapa kasus korban juga membutuhkan bantuan hukum, khususnya perempuan. Bantuan hukum diharapkan juga mencakup pendampingan di pengadilan, visum, juga transportasi. Lalu berkaitan dengan konsep miskin, sebenarnya banyak sekali orang-orang yang termarjinalkan. Banyak masalah-masalah yang tidak terakomodir dalam sistem hukum. Harapan saya RPP yang akan dibuat ini dapat menjawab persoalan-persoalan dilapangan.
AKBP W. Marbun dari Mabes Polri, mengatakan, berkaitan dengan syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum sebaiknya diganti dengan prosedur bantuan hukum. Untuk pemberi bantuan hukum, adalah lembaga bantuan hukum. Bagaimana dengan lembaga lain yang memberikan bantuan hukum. Di Polri, Pembina Hukum Polri memberikan bantuan hukum. Dalam Perkap juga diatur tentang bantuan hukum. Jika objeknya adalah bantuan hukum dan penerima bantuan hukum sebaiknya tidak terfokus pada orang miskin saja, tetapi secara umum. Karena dalam undang-undangnya tidak disebutkan bantuan hukum untuk orang miskin.
Menanggapi hal tersebut Bang Adnan Buyung memberi penjelasan antara state dan society, society lebih membutuhkan bantuan hukum. Polisi itu termasuk dalam state. Jika state diberi bantuan hukum akan berpotensi terjadi penindasan. Hugeng memberi contoh responsif pada masyarakat. Polisi harus responsif karena dalam tugasnya memang memberikan pelayanan pada masyarakat. Berkaitan dengan empowering the people, ada kasus LBH hanya mendukung dari belakang ’ghost lawyer’. Yang berperkara maju sendiri. Ketika ada masalah, LBH tidak bertanggung jawab. LBH juga harus ksatria.
Sementara Nursani mewakili lebih mencermati bahwa dalam Pasal 4, ada batasan miskin secara ekonomi. Namun sesuai dengan perkembangan, bagaimana orang yang bukan miskin tapi membutuhkan juga bisa diakomodasi; Lalu pada Pasal 3 Rancangan ini perlu ada penajaman untuk kriteria miskin. Juga berkaitan dengan anggaran, diharapkan bisa lintas tahun anggaran. Karena waktu berperkara bisa lintas tahun. Harus ada klausul khusus berkaitan dengan anggaran lintas tahun. Hal yang mendetail dan berkenaan dengan anggaran bagaimana pertanggungjawaban keuangannya? Apakah ke BPHN atau kepada publik.Menanggapi persoalan tersebut Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional mengatakan bahwa ada bantuan hukum internal, ada yang eksternal. Ini akan ditindaklanjuti dengan assessment yang dikoordinir Bappenas, dan Assessment selanjutnya adalah nomenklatur kelembagaan. Yang perlu dipikirkan pengalihan anggarannya, jika tidak ingin ada pengalihan, ada konsekuensi bentuk kegiatan dan nomenklaturnya.
Dalam kesempatan ini juga perlu diketahui bahwa di Mahkaman Agung ada tiga kegiatan bantuan hukum yakni, Sidang Keliling; Prodeo dan Posbakum, terang Wicipto. Selanjutnya dia menambahkan bahwa posisi Pemerintah hanya sebagai fasilitator dan regulator dan juga pemerintah hanya menyediakan uang melalui LBH, tidak berhadapan langsung dengan pencari keadilan. Diharapkan para stakeholder percaya pada BPHN.
Mengenai masalah yang krusial, memang berkaitan dengan penerima bantuan hukum. Apakah LBH diperbolehkan memberi bantuan hukum pada orang yang bukan miskin secara finansial, termasuk perempuan ?, ini berkaitan dengan objek dan subjek memang dibatasi oleh UU.
Waktu pembahasan RUU, miskin memang dibatasi pada miskin secara finansial, hal ini perlu dicarikan jalan keluar bagi yang miskin secara struktural. Diakui bahwa RPP ini memang masih perlu perbaikan. Perbaikan dari segi teknis, langsung implementasi tidak perlu pakai tujuan, ataupun substansi serta jangkauan UU ini memang dibatasi pada miskin secara finansial. Lalu mengenai Verifikasi dan akreditasi, kementerian akan menentukan LBH yang dapat memberikan bantuan hukum dan untuk LKBH kampus sebaiknya memang menggunakan badah hukum kampus. Dalam kesempatan ini juga saya berharap agar antar LBH juga bisa ’rukun’.
Berkaitan dengan ’ghost lawyer’ dimungkinkan bantuan hukum non litigasi. Selain itu yang berkaitan dengan anggaran, diharapkan tidak dibatasi pada perkara dan mekanisme akan dibuat akuntabel, transparan.
Berkenaan dengan lintas anggaran, memang sulit jika ’multi years’ sulit pertanggung jawabannya.
Mengenai dengan penyuluhan hukum dapat langsung ke Kanwil, namun kendala yang kami hadapi adalah Kemenkumham tidak punya ’kaki’ sampai ke kabupaten/kota.
Dan perlu diketahui bahwa Badan Pembinaan Hukum Nasional saat ini hanya melaksanakan satu program yaitu, pembinaan hukum. Ini juga yang menjadi pemikiran bersama, apakah dimungkinkan dua program, yaitu Pembinaan dan Bantuan Hukum dan rancangan peraturan pemerintah yang kita bahas ini adalah pelaksanaan dari UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, tandas Wicipto Setiadi.
Bang Adnan Buyung menekankan bahwa tidak tepat jika ada ’state’ yang memberikan bantuan hukum dan pembela harus independen, mutlak serta jangan dibuka pintu lembaga pemerintah memberikan bantuan hukum dan jika ini tidak dipenuhi, maka bisa melanggar hukum internasional. Advokad tidak boleh merangkap jadi pejabat negara, tegas Adnan Buyung. Humas *Tatung Oneal-Sindy Lesita-Dina Novianti.