BPHN.GO.ID – Jakarta. Sistem hukum nasional Indonesia saat ini dihadapkan pada masalah serius terkait banyaknya regulasi yang berlaku. Data yang dihimpun dari Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional (JDIHN) mencatat, hingga tahun 2024, pemerintah telah menerbitkan 425.318 peraturan perundang-undangan, mulai dari peraturan pusat dan peraturan daerah. Jumlah yang sangat besar ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih pengaturan, disharmoni antar regulasi, dan multi-tafsir yang dapat menghambat efektivitas pemberlakuannya.
Untuk menghadapi permasalahan tersebut, diperlukan langkah-langkah strategis dan terkoordinasi, salah satunya dengan menerapkan penyederhanaan regulasi. Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional, Arfan Faiz Muhlizi, menyebutkan tiga strategi yang bisa diterapkan, yaitu perencanaan peraturan perundang-undangan yang ketat dan selektif, deregulasi kebijakan, dan penerapan metode omnibus law.
“Jumlah peraturan dapat dikurangi dengan melakukan filterisasi ketat sejak awal. Deregulasi dapat dilaksanakan dengan mencabut berbagai peraturan oleh masing-masing kementerian/lembaga untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan penataan peraturan bisa dilakukan dengan menggabungkannya dalam satu peraturan perundang-undangan (omnibus law),” ujar Arfan ketika memberikan kuliah umum dalam kegiatan Sespimti Sespim Lemdiklat Polri, Rabu (05/06/2024).
Perencanaan peraturan perundang-undangan merupakan pintu masuk pertama dari pembentukan suatu Peraturan perundang-undangan. Tahapan ini, menurut Arfan, adalah yang paling krusial, sehingga perlu dilakukan secara cermat dan mempertimbangkan kebutuhan hukum secara substantif melalui proses seleksi analisis kebutuhan hukum.
“Dalam pengusulan, pemrakarsa harus menyampaikan justifikasi atas urgensi usulannya. Terdapat alat analisis berupa daftar pertanyaan yang akan menggambarkan bahwa peraturan yang akan disusun memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan serta mengetahui analisis dampak pengaturan,” tambah Arfan dalam kegiatan yang berlangsung di Gedung Tribrata PTIK Jakarta.
Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan pemangkasan regulasi secara bertahap dalam Rapat Terbatas di Istana Bogor pada 18 Desember 2015. Pada 2016, telah dilakukan deregulasi kebijakan di bidang perizinan dan investasi sebagai bagian paket kebijakan ekonomi. Pemerintah juga melakukan deregulasi peraturan daerah yang dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi daerah, memperpanjang jalur birokrasi, serta menghambat investasi dan kemudahan berusaha.
Lebih lanjut pada tanggal 17 Januari 2017 Presiden Joko Widodo menegaskan agar reformasi hukum tidak hanya menyentuh sektor hilir yang terkait pelayanan publik, tetapi juga menyentuh sektor hulu yang terkait dengan pembenahan regulasi, prosedur, penataan regulasi yang harus menjadi prioritas reformasi hukum saat ini. Regulasi harus sinkron satu sama lain dan sejalan dengan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, serta kepentingan nasional. Regulasi yang tidak sinkron, tumpang tindih, dan membuat segala sesuatu menjadi berbelit harus dievaluasi. Regulasi harus sederhana tetapi memiliki kekuatan yang mengikat.
Terkait Omnibus Law, Arfan mengatakan bahwa harmonisasi dan simplifikasi pengaturan merupakan tahapan penting dan krusial dalam mekanisme tersebut. Omnibus Law bertujuan untuk mencegah tumpang tindih pengaturan baru, menghindari duplikasi pengaturan yang akan menciptakan ketidakpastian hukum, serta mencegah kekosongan hukum.
“Omnibus Law juga dapat bermanfaat untuk menciptakan efisiensi proses perubahan/pencabutan regulasi dan menghilangkan ego sektoral yang terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan,” ungkap Arfan kepada 97 orang peserta diklat yang hadir.
Dalam kesempatan yang sama, Arfan menekankan pentingnya analisis dan evaluasi regulasi untuk menilai norma hukum pengaturan (regeling). Hal ini bertujuan mendorong proses reformasi regulasi agar berperan optimal dalam mengatasi permasalahan penyelenggaraan kehidupan bernegara dan bermasyarakat, sehingga dapat mendorong pembangunan yang lebih efektif dan efisien.
“Proses analisis dan evaluasi dilakukan dengan mengikuti pedoman enam dimensi, mencakup ketepatan jenis peraturan perundang-undangan, disharmoni pengaturan, kejelasan rumusan, kesesuaian asas bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dan efektivitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Hasilnya dapat berupa rekomendasi perubahan (revisi), penggantian (dicabut), atau dipertahankan,” tutup Arfan. (HUMAS BPHN)