Kabid Prolegnas, Tongam R. Silaban, S.H., M.H
Sampai saat ini Balegda menjadi badan pembentuk Peraturan Daerah
Jakarta, WARTA-bphn
Badan Pembinaan Hukum Nasional, sebagai badan pembina hukum, baik itu nasional maupun daerah tak henti-henti memberikan informasi/masukan yang menyangkut legislasi sesuai dengan arahan perundang-undangan.
Demikian juga yang dilakukan 14 orang anggota DPRD kota Padang yang datang ke BPHN untuk konsultasi terkait Penyusunan Legislasi Daerah. Konsultasi Penyusunan Legislasi Daerah menjadi penting untuk dilakukan sebab anggota DPRD memiliki latar belakang dan kemampuan yang berbeda-beda dalam hal legislative drafting/legal drafting, demikian salah seorang rombingan katakan pada Warta-bphn.
Kehadiran rombongan tersebut diterima oleh Kepala Pusat Perencanaan dan Pengembangan Hukum Nasional Agus Subandriyo, S.H., M.H dan Kepala Bidang Program Legislasi Nasional Tongam R. Silaban, S.H., M.H sekaligus sebagai narasumber dalam rapat konsultasi ini. Pertemuan dilaksanakan di ruang rapat Muchtar lt. IV Gedung BPHN,Jl. Mayjen. Sutoyo-Cililitan, Selasa[28/10].
Menurut Kepala Program Legislasi Nasional [Prolegnas],Tongam R. Silaban mengatakan: Sampai saat ini Balegda menjadi badan pembentuk Peraturan Daerah, hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Perpu Nomor 2 Tahun 2014. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 12 Tahun 2011 dan dengan Perpres Nomor 87 Tahun 2014 menjadi pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan, dimana dinyatakan bahwa posisi Program Legislasi Daerah tetap menjadi perencanaan pembangunan daerah dan Perpresnya sudah mengakomodir hal ini. Pada masa sekarang ini Program Legislasi Daerah seolah menjadi milik Badan Legislasi Daerah padahal sebenarnya milik DPRD, sehingga anggota DPRD harus bisa memahami pembentukan Peraturan Daerah. Namun mengenai mekanisme pembentukan Peraturan Daerah tidak mampu dijabarkan dalam pertemuan sesingkat ini, diperlukan waktu yang cukup panjang sebab harus dilakukan pengkajian secara mendalam, ujar beliau.
Dijelaskan pula oleh beliau mengenai pemahaman hukum terhadap alur penyusunan Program Legislasi Daerah (Perpu Nomor 2 Tahun 2014) yakni: 1)Tahap Pengusulan Raperda: yaitu Kepala daerah menugaskan kepada SKPD untuk menyusun Program Legislasi Daerah, dan pimpinan SKPD menugaskan kepada anggota komisi atau Balegda untuk menyusun Program Legislasi Daerah; 2) Tahap Pembahasan: Biro/bagian hukum melakukan pembahasan Program Legislasi Daerah pemerintah daerah di dalam rapat Program Legislasi Daerah, dengan dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari Kemenkumham atau pemangku kepentingan lainnya. Selanjutnya Balegda melakukan pembahasan Program Legislasi Daerah di dalam rapat internal Balegda; 3).Tahap Finalisasi Program Legislasi Daerah di Lingkungan Internal: Biro/bagian hukum menyerahkan hasil pembahasan Program Legislasi Daerah di lingkungan Pemerintah Daerah kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah. Kemudian Balegda menyerahkan hasil pembahasan Program Legislasi Daerah di lingkungan DPRD ke pimpinan DPRD; 4). Tahap Koordinasi Pemerintah Daerah dan Balegda: Penyusunan Program Legislasi Daerah antara Pemerintah Daerah dan DPRD dikoordinasikan oleh DPRD melalui Balegda, hasil penyusunan Program Legislasi Daerah antara Pemerintah Daerah dan DPRD disepakati menjadi Program Legislasi Daerah dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD. Program Legislasi Daerah ditetapkan dengan keputusan DPRD. Itulah penjelasan awal yang dapat disampaikan, kata Tongam Silaban.
Adapun pertanyaan yang disampaikan para anggota DPRD Kota Padang ke BPHN mengenai APBD yang belum disusun, bagaimana penyusunan Program Legislasi Daerahnya?, bagaimana menentukan prioritas suatu Raperda? Mengenai Bimtek untuk penyusunan Program Legislasi Daerah, apakah BPHN memiliki anggaran untuk itu? Mengingat kami dari DPRD memiliki latar belakang dan kemampuan yang berbeda-beda dalam hal legislative drafting/legal drafting; mengenai Bimtek mengenai penyusunan Raperda? Mengenai Raperda Disabilitas hal ini diprioritaskan secara nasional diseluruh daerah serta banyak Peraturan Daerah yang dibiarkan bertentangan dengan peraturan diatasnya.
Menyimak dari pertanyaan tersebut menurut Tongam R. Silaban menegaskan bahwa sebelum penetapan APBD memang harus terlebih dahulu disusun Program Legislasi Daerah agar bisa diketahui kebutuhan anggaran dari Raperda yang akan dibahas. Balegda menginventarisir dan mengumpulkan ide-ide dari Komisi/Anggota yang nantinya akan dibahas Balegda. Di Program Legislasi Daerah ada mekanisme pengajuan legislasi di luar Program Legislasi Daerah, tetapi harus terhadap hal yang demikian penting dan mendesak. Tetapi memang di Indonesia hal ini kurang berjalan dengan baik.
Adapun mengenai Raperda Perzinahan di kota Padang sebenarnya masih bisa diatur tidak dengan Peraturan Daerah tetapi dengan peraturan lainnya. Tetapi memang hal ini menjadi kebijakan daerah untuk mengatur mana yang menjadi prioritas atau tidak di daerahnya. Usulan Balegda di tampung dengan usulan bidang hukum, nanti ada instrument komulatif terbuka untuk menampung hal ini, juga nanti akan ada biaya cadangan untuk kepentingan yang memaksa (sebagai contoh bilamana terjadi bencana alam atau kepentingan yang memaksa lainnya). Mekanisme penganggaran daerah terhadap hal ini tergantung dari daerah sendiri dalam pembagiannya.
Sementara untuk Bimtek dalam bidang penyusunan Raperda ini BPHN tidak punya anggaran untuk melakukan Bimtek ini, daerah yang menyelenggarakan sendiri dengan dapat mengundang Kanwil Kemenkumham sebagai narasumber terutama tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan. Namun memang daerah seringkali lebih senang menunjuk dari pusat bisa dari BPHN atau Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan.
Mengenai Raperda disabilitas untuk penyandang cacat memang ini merupakan isu HAM, sementara secara nasional Rancangan Peraturan Perundang-Undangannya sedang dibahas. Kalau memang menurut DPRD Kota Padang penting untuk disahkan silahkan saja (semua program Raperda prioritas sudah ada strategi pembentukan Raperda prioritas).
Mengenai banyaknya peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan diatasnya memang hal ini sulit dihindari disatu sisi bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, namun di sisi lain merupakan bentuk otonomi daerah. Semen padang memiliki keuntungan yang sedemikian besar, namun sedikit yang dibagikan untuk pembangunan daerah Kota Padang sendiri (apa salahnya untuk memberikan 5 % share kepada Kota Padang). Memang hal tersebut sering terjadi di Republik Indonesia sebagai contoh dalam pengelolaan hutan, apakah hutan milik Kabupaten atau Propinsi? Hal ini bisa dimanfaatkan dalam bentuk retribusi atau sharing profit, namun hal ini harus dilakukan secara transparan. Sejauh mana retribusi atau sharing provit tersebut dilakukan terbuka kepada masyarakat. Semen Padang hanya memberikan “pajak” tidak ada share terhadap Kota Padang. Ikon Balegda sebagai pembentuk hukum sudah lebih baik, dan biro hukum Kabupaten Kota juga akan dilakukan monitoring evaluasi.
BPHN mempunyai bukti bahwa ada banyak PP/Perpres yang tidak ada perkembangannya dan akan diberi warna merah dalam evaluasinya. Diharapkan Rancangan PP/Perpres tersebut tidak ada yang berulang tahun dan selesai pada tahun itu juga. Hal tersebut dapat diketahui karena BPHN telah mengkaji dan menginventarisir data peraturan seluruh Indonesia (dapat dilihat pada bahan Monitoring dan Evaluasi Peraturan Daerah 2013 di depan). Dalam kumulatif terbuka nantinya perlu ada pengkajian atau penelitian mengenai kebutuhan daerah seperti tingkat kemiskinan dan lain-lain, karena memang itu daerah yang tahu mengenai kebutuhan sendiri (data yang diutarakan mengenai 75 % pendapatan semen padang tidak kepada daerahnya bisa digunakan bila memang disusun secara baik dan tertulis).
Tambahan dari salah seorang peserta menyampaikan bahwa Kota Padang telah membuat Peraturan Daerah mengenai CSR dan semen padang sebagai perusahaan besar berkewajiban melakukan hal ini, lalu juga ada Perda RT/RW. Semen padang member Rp. 5,- per sack semen bantuan ini hanya dilakukan dalam bentuk CSR sesuai dengan Undang-Undang BUMN. Program Legislasi Daerah 2014 ada 24 Raperda terdiri dari 8 insiatif DPRD dan 16 dari Pemerintah Kota, sedangkan yang menjadi Peraturan Daerah hanya 2. Memang sangat penting dilakukan Bimtek untuk menentukan prioritas analisis peraturan perundang-undangan.*tatungoneal-Benny.