BPHN.GO.ID – Bali. Sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945, negara wajib menjamin kedudukan masyarakat dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Meski demikian tak bisa dipungkiri masih banyak permasalahan hukum yang menuai polemik di masyarakat. Salah satunya adalah mengenai praktik pemberian Grasi, Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi (GAAR).
Pemberian GAAR merupakan hak prerogatif Presiden. Dikhawatirkan pemberian GAAR ternodai dengan kepentingan politik. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang mengatur GAAR agar nantinya hak yang digunakan Presiden tersebut tidak bersifat subyektif, terdapat asas akuntabilitas dan transparansi publik.
Saat ini Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) melalui Pusat Perencanaan Hukum Nasional (Pusren) sedang melakukan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi (NA RUU GAAR) ini. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, setiap RUU harus disertai dengan NA sebagai landasannya. Dalam pendalaman dan penyempurnaan NA dimaksud perlu disertai pemberian masukan yang konstruktif dari masyarakat umum.
Berdasarkan hal tersebut, BPHN bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) melaksanakan kegiatan Diskusi Publik Penyusunan NA RUU GAAR di Hotel Courtyard Seminyak Bali pada Kamis (07/07) silam. Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan dari Direktorat Pidana (Ditjen AHU), Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kanwil Kemenkumham) Provinsi Bali, Kejaksaan Tinggi Bali, Pengadilan Tinggi Bali, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Kepolisian, dan perwakilan TNI Angkatan Darat.
Kepala Kanwil Kemenkumham Provinsi Bali Anggiat Napitupulu menyambut baik kegiatan Diskusi Publik ini karena menurutnya masukan masyarakat begitu penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. “Terima kasih dan selamat datang kepada para peserta kegiatan diskusi publik ini. Kegiatan ini sangat penting dan saya harapkan dapat bermanfaat bagi pembentukan regulasi terkait, karena masukan masyarakat didengar langsung untuk kebaikan regulasi ini ke depannya,” ujar Anggiat Napitupulu dalam sambutannya.
I Wayan Eka Widyara dari Kejaksaan Tinggi Bali yang hadir sebagai narasumber mengingatkan agar pemberian GAAR nantinya jangan sampai bergeser menjadi kepentingan politik. “Yang menjadi pertanyaan apakah Amnesti atau Abolisi terhadap pidana umum benar-benar bertujuan untuk kepentingan negara ataukah bergeser untuk kepentingan politik tertentu. Jangan sampai pemberian Amnesti atau Abolisi dijadikan saranan untuk momen tertentu, karena tidak adanya peraturan atau aturan yang secara eksplisit menyatakan tentang syarat untuk mendapatkan Amnesti atau Abolisi untuk kepentingan negara ini,” pungkas I Wayan Eka Widyara menyatakan pendapatnya.
Dari sisi kebermanfaatan, Ali Aranofal dari Center for Detention Studies mengungkapkan RUU GAAR dapat mengurangi permasalahan over capacity di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). “Semakin banyak narapidana, akan semakin membuat bengkaknya anggaran. Itu merupakan beban untuk keuangan negara. Dengan adanya RUU ini diharapkan ada narapidana, terpidana, terdakwa hingga tersangka, yang dapat mengajukan GAAR sehingga masalah over capacity dapat sedikit teratasi,” ungkap Ali Aranofal.
Direktur Pidana Ditjen AHU Slamet Prihantara menyampaikan kegiatan Diskusi Publik ini merupakan perwujudan komitmen Pemerintah memenuhi hak masyarakat untuk memberi masukan terhadap setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk tahapan penyusunan Naskah Akademik.
“Sesuai amanat Pasal 43 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 di mana penyempurnaan NA dapat dilakukan dengan adanya masukan dari masyarakat umum, seperti akademisi dan penegak hukum. Demi melaksanakan amanat tersebut, kami terus melibatkan masyarakat dengan mengadakan Focus Group Discussion (FGD) serta Diskusi Publik seperti yang kita laksanakan hari ini,” kata Slamet Prihantara.
Slamet menambahkan, pada bulan Maret hingga Mei 2022 telah diadakan FGD di dua daerah yaitu Papua dan Aceh. Sedangkan Diskusi Publik telah dilaksanakan di dua tempat, yakni Yogyakarta dan Sumatera Barat. Provinsi Bali tempat dihelatnya acara Diskusi Publik kali ini merupakan daerah ketiga sekaligus daerah terakhir dari rangkaian kegiatan yang mengakomodir masukan masyarakat mengenai NA RUU GAAR.
Output dari rangkaian kegiatan tadi, berupa masukan dari masyarakat, akan menjadi bahan pendukung finalisasi NA RUU GAAR dan tahapan proses penyusunan RUU GAAR dapat dilanjutkan. Agenda sesuai Road Map, pada akhir Juli 2022 NA telah final dan tujuan membuat regulasi di bidang GAAR akan tercapai. (HUMAS BPHN)