INDONESIA MASIH MENGHADAPI KENDALA DENGAN CENTRAL AUTHORITY

Jakarta, WARTA-BPHN

Mengingat beberapa materi muatan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana sudah tidak sesuai lagi dengan pekembangan masyarakat serta adanya permasalahan yang belum diakomodir, maka Badan Pembinaan Hukum Nasional c.q Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional mengundang para pakar hukum untuk menyumbangkan pemikirannya terkait pembahasan draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana, Selasa, (20/10).

 Kegiatan yang dilaksanakan di Aula Mudjono Kantor BPHN tersebut dipandu oleh Yunus dari FH Universitas, dalam pembukaannya menjelaskan Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana belum mengatur mengenai pemblokiran yang didasarkan atas permintaan negara lain untuk mencegah beralihnya dana atau harta kekayaan. Tindakan pemblokiran ini perlu dilakukan untuk mengantisipasi berbagai kejahatan yang melibatkan perbankan.

Selain itu, Perkembangan hukum internasional terkait kejahatan ekonomi yang belum diakomodir dalam hukum nasional adalah terkait dengan perampasan hasil tindak pidana. Perampasan hasil tindak pidana adalah bagian penting dari upaya menekan tingkat kejahatan. Selain mengungkapkan tindak pidana dan menemukan pelakunya, penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tidak pidana menjadi bagian utama dari penyelidikan dan penuntutan tindak pidana, jelas beliau.

Disampaikan juga terkait penegakan hukum, Indonesia masih menghadapi kendala dengan central authority. Indonesia menetapkan Kementerian Hukum dan HAM sebagai central authority untuk pelaksanaan meminta atau menfasilitasi sebagai Negara diminta bagi negara lain. Berbeda dengan beberpa negara yang central outhority-nya berada pada Departement of Justice yang membawahi secara langsung proses penyidikan ataupun penuntutan, Kemenkumhan lebih berperan sebagai lembaga yang memiliki otoritas administrasi dan tidak memiliki kewenangan langsung untuk melakukan penyelidikan, penyidikan ataupun penuntutan.

Masalah Penenggakan hukum lainnya adalah dasar penolakan permintaan bantuan atas prinsip double criminality, imunitas terhadap pejabat diplomatik, dan kepentingan umum dalam konteks kedaulatan negara. Kedudukan prinsip double criminality assistance bersifat diskresi dan tidak bersifat mandatory. Dalam perkembangan tindak pidana transnasional penggunaan prinsip double criminality dalam kerja sama penegakan hukum antara negara, untuk kasus-kasus tertentu dapat menghambat upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana tersebut, demikian peparan yang beliau sampaikan pada peserta.

Adapun peserta kegiatan ini terdiri, Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Akademisi, Instansi Kementerian serta beberapa undangan. Akhir dari penyelenggaraan kegiatan ini di tutup dengan sesi diskusi.  *tatungoneal