Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Turun Lagi, Penegakan Hukum Tipikor Perlu Dikaji Ulang?
BPHN.GO.ID - Tanjung Pinang. Korupsi nampaknya masih leluasa menggeliat dalam sistem pemerintahan kita. Berdasarkan data Corruption Perception Index (Indeks Persepsi Korupsi/IPK) untuk tahun 2022, Indonesia memperoleh skor 34 dengan peringkat 110 dari 180 negara. Skor tersebut turun 4 poin dari tahun sebelumnya dan merupakan skor terendah Indonesia sejak tahun 2015. Tak ayal, Presiden Joko Widodo langsung memberikan arahan kepada jajarannya untuk melakukan koreksi dan evaluasi agar ke depannya IPK Indonesia menjadi lebih baik.

 

Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN Yunan Hilmy mengungkapkan, tindak pidana korupsi tergolong sebagai extra ordinary crime. Oleh karena itu penanganan tindak pidana korupsi membutuhkan penanganan khusus (extra ordinary measure). Turunnya skor IPK Indonesia menunjukkan bahwa kita masih perlu melakukan banyak perbaikan terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi di negara ini.

 

“Seluruh perangkat peraturan perundang-undangan terkait penindakan tindak pidana korupsi ini telah berusia cukup lama. UU Tipikor misalnya, telah berusia kurang lebih 24 tahun. Oleh karena itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui BPHN menyikapi sangat serius dengan membentuk Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi Hukum mengenai Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi,” kata Yunan ketika memberikan sambutan kegiatan Diskusi Publik Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi Hukum mengenai Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Selasa (14/03/2023), di Aula Kantor Wilayah Kemenkumham Kepulauan Riau.

 

Pokja ini, lanjut Yunan, akan bertugas melakukan analisis dan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum tindak pidana korupsi. Ketercapaian hasil pemberantasan korupsi serta potret permasalahan-permasalahan yang menjadi kendala juga akan dinilai oleh Pokja tersebut.

 

“Komisi III DPR menyoroti kelembagaan dan proses penegakan hukum dan kemudian mengusulkan wacana dibentuknya omnibus law aparat penegakan hukum guna menciptakan persepsi yang sama dalam penegakan hukum. Usulan tersebut kemudian ‘ditangkap’ oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai Omnibus Law Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal tersebut perlu pengkajian lebih lanjut, mengingat masih adanya ketidaksamaan standar dalam pemberantasan tindak pidana korupsi,” tambah Yunan.

 

Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Kepulauan Riau Saffar Muhammad Godam menyatakan bahwa kegiatan Analisis dan Evaluasi Hukum ini penting untuk dilakukan. “Kegiatan ini adalah suatu pengumpulan informasi tentang bagaimana permasalahan hukum yang terjadi, baik di tataran normatif maupun empiris. Oleh karena itu, evaluasi menjadi hal yang wajib dilakukan guna menemukan solusinya. Saya berharap kegiatan ini dapat menjaring informasi sebanyak-banyaknya untuk dapat menemukan solusi tersebut,” pungkasnya.

 

Endri, seorang Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji, menyampaikan bahwa penegakan hukum tindak pidana korupsi bergantung dari berbagai macam aspek. Hal ini meliputi substansi, struktur, dan kultur. Termasuk di dalamnya cara pandang, cara berpikir penegak hukum.

 

“Apabila diidentifikasi lebih lanjut, mungkin lebih banyak ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan tindak pidana korupsi, yang secara yuridis memiliki masalah. Hal ini akan berdampak pada tidak maksimalnya tahap penegakan hukum,” ungkap Endri.

 

Hakim Adhoc Tindak Pidana Korupsi Tanjung Pinang Syaiful Arif menyampaikan fenomena menarik terkait tindak pidana korupsi di wilayahnya. Subjek terdakwa yang kerap mendominasi yaitu PNS dan Perangkat Desa. Apabila bicara tentang Perangkat Desa, hal ini menyangkut adanya peningkatan pengelolaan dana yang dikelola desa selama 2 tahun belakangan. Sayangnya, pengelolaan dana tersebut tidak diikuti oleh pemahaman yang mumpuni.

 

“Hal ini bisa terjadi karena kompetensi perangkat desa itu sendiri. Misalnya bisa kita lihat dari perekrutan Perangkat Desa yang dilakukan melalui sistem politik sehingga kualitasnya kurang. Padahal, alokasi dana yang mereka kelola tinggi. Oleh karena itu, dibutuhkan pembinaan dan pendampingan dalam mengelola keuangan desa,” ujar Syaiful Arif.

 

Kegiatan ini turut dihadiri stakeholder terkait, terutama para aparat penegak hukum, yaitu Ditretkrimsus Polda Kepulauan Riau, Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau, Polresta Tanjung Pinang, Kejaksaan Negeri Tanjung Pinang, BPK Kepulauan Riau, BPKP Kepulauan Riau, dan Biro Hukum Setda Provinsi Kepulauan Riau dan peserta lainnya. Melalui kegiatan ini diharapkan para peserta dapat memberikan masukan dan pengkayaan terhadap Kelompok Kerja. Hal ini penting agar selanjutnya tim Pokja dapat merumuskan rekomendasi yang tepat terhadap peraturan perundang-undangan di bidang penegakan hukum tindak pidana korupsi. (HUMAS BPHN)