BPHN.GO.ID – Surabaya. Dokumen Pembangunan Hukum Nasional (DPHN) yang disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sejatinya merupakan dokumen yang dapat dijadikan acuan bagi para pemangku kepentingan dalam memberikan arah pembangunan hukum nasional. DPHN itu sendiri telah disusun sejak tahun 2016 dan hingga saat ini terus menjadi dokumen yang disempurnakan oleh BPHN.
Pada tahun ini, Penyusunan DPHN akan berfokus pada persoalan “Pembinaan Hukum di Daerah”. Ahli–ahli hukum kita terdahulu telah mengingatkan bahwa pembinaan hukum harus dipandang sebagai suatu kegiatan yang terencana dan terarah serta berkelanjutan.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan pandangannya mengenai arah dan strategi pembinaan hukum di daerah. Poin penting dari pembinaan hukum yang dilakukan BPHN tidak terlepas dari apa yang tertuang dalam Pembukaan Undang - Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yakni untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum. Pandangan tersebut disampaikan Enny dalam Diskusi Publik dengan tema “Arah dan Strategi Pembinaan Hukum di Jawa Timur”, yang diselenggarakan pada hari Jumat (29/07), di Hotel JW Marriot Surabaya.
“UUD menghendaki hukum yang berlaku di Indonesia ditujukan untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Berhukum yang demikian itulah yang seharusnya menjadi kerangka dasar dalam melakukan pembinaan hukum oleh BPHN,” ungkap Enny.
Melanjutkan pendapatnya, Enny menambahkan bahwa tugas dan fungsi BPHN sejatinya sangat strategis dalam menentukan arah hukum yang dicitakan bangsa Indonesia, karena BPHN memiliki fungsi pelaksanaan analisis dan evaluasi hukum, perencanaan hukum, penyuluhan dan bantuan hukum serta dokumentasi dan jaringan informasi hukum. “Bekerjanya fungsi–fungsi inilah yang akan menentukan sejauh mana pembinaan hukum tersebut berimplikasi bagi terwujudnya hukum yang menyejahterakan,” tegas Enny.
Pada tahap awal, Enny menyampaikan, terdapat kesulitan bagi BPHN untuk menjalankan fungsi analisis dan evaluasi hukum karena ketiadaan dasar hukum yang kuat untuk menjalankan fungsi tersebut. “UU No.12 Tahun 2011 hanya menentukan tahapan dalam pembentukan peraturan perundang–undangan meliputi tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan perundangan. Namun, dalam perkembangannya, dengan direvisi UU No. 12 Tahun 2011, secara substansial ‘pemantauan dan peninjauan’ dimaksud jika didalami substansi pengaturannya, tidak lain adalah analisis dan evaluasi,” kata Enny.
Merujuk pada pengertian ‘pemantauan dan peninjauan’, yaitu sebagai kegiatan untuk mengamati, mencatat, dan menilai atas pelaksanaan undang-undang yang berlaku sehingga dapat diketahui ketercapaian hasil yang direncanakan, dampak yang ditimbulkan, dan kemanfaatannya bagi Indonesia, BPHN dapat mendesain pola efektif untuk melakukan kegiatan-kegiatan dimaksud. Pola tersebut dapat didesain pada setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan undang-undang, serta pada tahap tindak lanjutnya, baik di lingkungan pemerintah (pusat) maupun di daerah.
Dalam kesempatan yang sama, Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya Hesti Armiwulan, menyampaikan bahwa dalam hal pembinaan hukum di masyarakat, juga perlu memperkuat partisipasi masyarakat. “Keterlibatan masyarakat jangan hanya dipandang sebagai unsur formalitas saja, sebatas penggugur kewajiban saja. Pemerintah daerah punya peran besar untuk memberdayakan masyarakat, terutama dalam pembentukan Peraturan Daerah (Perda),” ungkap Hesti.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Sukardi, menyampaikan perlu ada peraturan yang mengatur terkait hierarki dalam pembentukan peraturan perundang–undangan. “Sering kali terjadi Perda yang bertentangan dengan Peraturan Menteri. Kedudukannya lebih tinggi yang mana? Ini yang sering kali menjadi benturan di lapangan,” tuturnya.
Menambahkan pernyataannya, Sukardi menyampaikan bahwa masih banyak tantangan bagi Pemerintah Daerah ketika menyusun produk hukum, bukan hanya substansinya saja, melainkan juga disharmoni dengan peraturan yang lebih tinggi.
Sebagai pemateri terakhir, Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur Lilik Pudjiastuti menyampaikan pentingnya kolaborasi dan komunikasi. “Kedepannya perlu ada kolaborasi dan komunikasi yang lebih intens antara Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur dengan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Jawa Timur, dalam hal penyusunan Peraturan Daerah agar kendala – kendala yang selama ini dirasakan dapat dicari solusi ke depannya” ujar Lilik Pudjiastuti. (HUMAS BPHN)
Pada tahun ini, Penyusunan DPHN akan berfokus pada persoalan “Pembinaan Hukum di Daerah”. Ahli–ahli hukum kita terdahulu telah mengingatkan bahwa pembinaan hukum harus dipandang sebagai suatu kegiatan yang terencana dan terarah serta berkelanjutan.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan pandangannya mengenai arah dan strategi pembinaan hukum di daerah. Poin penting dari pembinaan hukum yang dilakukan BPHN tidak terlepas dari apa yang tertuang dalam Pembukaan Undang - Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yakni untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum. Pandangan tersebut disampaikan Enny dalam Diskusi Publik dengan tema “Arah dan Strategi Pembinaan Hukum di Jawa Timur”, yang diselenggarakan pada hari Jumat (29/07), di Hotel JW Marriot Surabaya.
“UUD menghendaki hukum yang berlaku di Indonesia ditujukan untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Berhukum yang demikian itulah yang seharusnya menjadi kerangka dasar dalam melakukan pembinaan hukum oleh BPHN,” ungkap Enny.
Melanjutkan pendapatnya, Enny menambahkan bahwa tugas dan fungsi BPHN sejatinya sangat strategis dalam menentukan arah hukum yang dicitakan bangsa Indonesia, karena BPHN memiliki fungsi pelaksanaan analisis dan evaluasi hukum, perencanaan hukum, penyuluhan dan bantuan hukum serta dokumentasi dan jaringan informasi hukum. “Bekerjanya fungsi–fungsi inilah yang akan menentukan sejauh mana pembinaan hukum tersebut berimplikasi bagi terwujudnya hukum yang menyejahterakan,” tegas Enny.
Pada tahap awal, Enny menyampaikan, terdapat kesulitan bagi BPHN untuk menjalankan fungsi analisis dan evaluasi hukum karena ketiadaan dasar hukum yang kuat untuk menjalankan fungsi tersebut. “UU No.12 Tahun 2011 hanya menentukan tahapan dalam pembentukan peraturan perundang–undangan meliputi tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan perundangan. Namun, dalam perkembangannya, dengan direvisi UU No. 12 Tahun 2011, secara substansial ‘pemantauan dan peninjauan’ dimaksud jika didalami substansi pengaturannya, tidak lain adalah analisis dan evaluasi,” kata Enny.
Merujuk pada pengertian ‘pemantauan dan peninjauan’, yaitu sebagai kegiatan untuk mengamati, mencatat, dan menilai atas pelaksanaan undang-undang yang berlaku sehingga dapat diketahui ketercapaian hasil yang direncanakan, dampak yang ditimbulkan, dan kemanfaatannya bagi Indonesia, BPHN dapat mendesain pola efektif untuk melakukan kegiatan-kegiatan dimaksud. Pola tersebut dapat didesain pada setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan undang-undang, serta pada tahap tindak lanjutnya, baik di lingkungan pemerintah (pusat) maupun di daerah.
Dalam kesempatan yang sama, Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya Hesti Armiwulan, menyampaikan bahwa dalam hal pembinaan hukum di masyarakat, juga perlu memperkuat partisipasi masyarakat. “Keterlibatan masyarakat jangan hanya dipandang sebagai unsur formalitas saja, sebatas penggugur kewajiban saja. Pemerintah daerah punya peran besar untuk memberdayakan masyarakat, terutama dalam pembentukan Peraturan Daerah (Perda),” ungkap Hesti.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Sukardi, menyampaikan perlu ada peraturan yang mengatur terkait hierarki dalam pembentukan peraturan perundang–undangan. “Sering kali terjadi Perda yang bertentangan dengan Peraturan Menteri. Kedudukannya lebih tinggi yang mana? Ini yang sering kali menjadi benturan di lapangan,” tuturnya.
Menambahkan pernyataannya, Sukardi menyampaikan bahwa masih banyak tantangan bagi Pemerintah Daerah ketika menyusun produk hukum, bukan hanya substansinya saja, melainkan juga disharmoni dengan peraturan yang lebih tinggi.
Sebagai pemateri terakhir, Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur Lilik Pudjiastuti menyampaikan pentingnya kolaborasi dan komunikasi. “Kedepannya perlu ada kolaborasi dan komunikasi yang lebih intens antara Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur dengan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Jawa Timur, dalam hal penyusunan Peraturan Daerah agar kendala – kendala yang selama ini dirasakan dapat dicari solusi ke depannya” ujar Lilik Pudjiastuti. (HUMAS BPHN)