FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)  KAJIAN KONSTITUSI: HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA PENEGAKAN HUKUM

Jakarta, WARTA-BPHN

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional (Puslitbang SHN), Pocut Eliza, mewakili Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Prof. Enny Nurbaningsih, SH., M.Hum membuka Forum Group Discussion (FGD) mengenai Hubungan Antar Lembaga Penegak Hukum, Jum’at (2/10).

Dalam kesempatan tersebut Kepala BPHN dalam sambutan yang dibacakan oleh Kapuslibang SHN menyampaikan hal-hal yang krusial  terhadap lembaga penegak hukum saat ini.

Menurut Kepala BPHN, lembaga penegak hukum saat ini sedang berada pada posisi yang tidak menguntungkan hal tersebut menyangkut tingkat kepercayaan masyarakat pada hukum dan aparat penegak hukum sangat rendah. Terlebih lagi dengan semakin banyaknya berita di media massa yang menggambarkan perilaku menyimpang dari aparat penegak hukum.

Penegakan hukum (law enforcement) dilakukan mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, hingga penindakan terhadap setiap pelanggaran atau pe­nyimpangan terhadap peraturan perundang-undang­an, melalui proses per­adil­an. Penegakan hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut ditaati. Oleh karena itu, memberikan keadilan dalam suatu perkara berarti memutuskan perkara dengan menerapkan hukum dan menemukan hukum in concreto dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal sebagai pengejawantahan Konstitusi. Hal terpenting dalam penegakan hukum sesungguhnya adalah dengan  ditegakkannya hukum itu tujuan hukum itu terlaksana.

Lembaga penegakan hukum dalam kajian konstitusi ini terkait dengan fungsi “kekuasaan kehakiman” dalam Konstitusi. Dalam UUD NRI 1945 pemegang kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Di samping keduanya ada pula Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas martabat, kehormatan, dan perilaku hakim. Keberadaan fungsi Komisi Yudisial ini bersifat penunjang (auxiliary) terhadap cabang kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak hukum (the enforcer of the rule of law), tetapi merupakan lembaga penegak etika kehakiman (the enforcer of the rule of judicial ethics).

Tetapi jika kekuasaan kehakiman ini diuraikan berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD NRI 1945, maka dapat membuka pintu bagi lembaga-lembaga negara lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang tidak secara eksplisit disebut dalam UUD NRI 1945. Pasal 24 ayat (3) UUD NRI 1945 menentukan, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Artinya, selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, serta Komisi Yudisial dan kepolisian negara yang sudah diatur dalam UUD NRI 1945, masih ada badan-badan lainnya yang jumlahnya lebih dari satu yang mempunyai fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Badan-badan lain yang dimaksud itu antara lain adalah Kejaksaan Agung, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini, meskipun tidak secara eksplisit disebut dalam UUD NRI 1945, tetapi sama-sama memiliki constitutional importance dalam sistem konstitusional berdasarkan UUD NRI 1945.

Misalnya, mengenai keberadaan Komnas Hak Asasi Manusia. Materi perlindungan konstitusional hak asasi manusia merupakan materi utama setiap konstitusi tertulis di dunia. Untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak asasi manusia itu, dengan sengaja negara membentuk satu komisi yang bernama Komnasham (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Artinya, keberadaan lembaga negara bernama Komnas Hak Asasi Manusia itu sendiri sangat penting bagi negara demokrasi konstitusional. Karena itu, meskipun pengaturan dan pembentukannya hanya didasarkan atas undang­-undang, tidak ditentukan sendiri dalam UUD, tetapi keberadaannya sebagai lembaga negara mempunyai apa yang disebut sebagai constitutional importance yang sama dengan lembaga-lembaga negara lainnya yang disebutkan eksplisit dalam UUD 1945.

Problem penegakan hukum saat ini salah satunya  disebabkan oleh persoalan paradigmatik berupa ambiguitas orientasi atas konsepsi Negara hukum. Pergeseran orientasi paradigm atas konsepsi Negara hukum dari rechtsstaat menjadi the rule of law  seperti yang banyak dikembangkan di Negara-negara Anglo Saxon diharapkan akan mampu melepaskan diri dari jebakan-jebakan formalitas-prosedural serta mendorong para penegak hukum untuk ”kreatif” dan berani menggali nilai-nilai keadilan serta menegakkan etika dan moral di dalam masyarakat dalam setiap penyelesaian kasus hukum.

Pada konteks ini, hubungan antar lembaga penegak hukum justru seringkali menjadi penghambat penegakan hukum itu sendiri. Oleh karena itu perlu dibangun sebuah sistem yang mengintegrasikan hubungan antar lembaga hukum agar menjadi lebih harmonis. Harmonisasi hubungan antar lembaga penegakan hukum, dilakukan dalam konstruksi negara hukum yang demokratis, dalam bingkai pembangunan system hukum nasional.  Semua upaya penataan dan pemantapan sistem hukum nasional mestilah dilakukan dalam suasana yang bebas dari tekanan politik, dan bebas dari emosi yang tidak konstruktif.

FGD Hubungan Antar Lembaga Penegakan Hukum ini merupakan rangkaian kegiatan untuk melengkapi laporan tim Kajian Konstitusi tentang Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam UUD NRI Tahun 1945 yang dilaksanakan di Puslitbang SHN BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI di bawah pimpinan Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, S.H.,M.Si,  yang di antaranya bertujuan untuk menyusun prinsip-prinsip utama hubungan antar lembaga penegakan hukum  yang mengacu pada nilai-nilai Pancasila dari berbagai perspektif beserta indikatornya. Kajian Konstitusi ini juga diharapkan dapat menyusun rekomendasi konkrit berupa usulan kebijakan pemerintah yang diperlukan dalam rangka konsistensi pelaksanaan penegakan hukum maupun perubahan peraturan perundang-undangan yang menghambat penegakan hukum dalam rangka melaksanakan UUD NRI 1945.

Diakhir teks sambutan Kepala BPHN tersebut juga menyampaikan terima kasih kepada para Narasumber, yaitu Prof. Dr. Saldi Isra, S.H.,M.H., yang akan menyampaikan makalah mengenai “Prinsip-prinsip dan Indikator dalam hubungan antar lembaga penegakan hukum  yang mengacu pada nilai-nilai Pancasila dari berbagai perspektif”, serta Refly Harun, S.H., M.H., LL.M yang juga akan menyampaikan makalah mengenai Daya Ikat Putusan MK terhadap MA dan Implikasi Dalam Sistem Penegakan Hukum. Di harapkan seluruh  hadirin dapat mengelaborasi pemikiran kedua Narasumber ini sehingga menghasilkan rumusan yang konkrit bagi rekomendasi Kajian Konstitusi tentang Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam UUD NRI Tahun 1945. *tatungoneal