FOCUS GROUP DISCUSSION "ASEAN EXTRADITION"

Focus Group Discussion: "ASEAN Extradition"

 

Jakarta (BPHN)Kejahatan transnasional seperti perdagangan manusia (trafficking), penyelundupan narkoba, terorisme atau kaburnya para koruptor keluar negeri sangatlah merugikan bangsa Indonesia. Kaburnya para koruptor misalnya telah membawa kerugian ekonomis yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Data dari Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa ada 17 buron kasus korupsi yang bermukim di Singapura. Bahkan total kekayaan orang Indonesia yang berada di Singapura mencapai US$ 87 miliar atau setara dengan Rp 750 triliun yang sebagian berasal dari para koruptor.

Pergaulan internasional tidak terhindarkan dalam era global, hubungan antarnegara menjadi penting, dan menimbulkan dampak hukum, sehingga perlu aturan, agar tak terjadi sengketa. Oleh karena itulah kesepakatan dan pranata hukum yang menjadi landasan dalam melaksanakan hubungan itu perlu ada, misalnya mengenai perjanjian ekstradisi. 

Gagasan membentuk perjanjian ekstradisi di kawasan ASEAN, sebenarnya sudah ada sejak “Declaration of ASEAN Concord” tahun 1976 atau yang dikenal dengan “Bali Concord I”. Perjanjian ekstradisi tidak hanya penting untuk ASEAN tapi ini juga penting bagi negara-negara lain karena kejahatan transnasional sudah semakin meluas, jenis-jenis kejahatan semakin banyak, Indonesia sudah punya Undang-Undang Ekstradisi yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979,” kata Direktur Hukum Internasional Ditjen AHU, Chairijah,SH.,MH.,Ph.D. Sejauh ini, Indonesia telah melakukan perjanjian ekstradisi dengan tujuh negara. Negara-negara tersebut antara lain Malaysia, Philipina, Thailand, Australia, Hongkong, Korea Selatan dan Singapura.

Saat berbicara pada Focus Group Discussion (FGD) dengan Topik "ASEAN Extradition" di BPHN 26 Mei 2011, Abdulkadir Jailani (Direktorat Jenderal HPI Kemenlu) mengatakan di tingkat multilateral sudah ada ketentuan tentang ekstradisi namun sayangnya hanya untuk kejahatan-kejahatan tertentu, di tingkat bilateral juga sudah ada, namun dirasa belum sesuai harapan dan kita berharap untuk tingkat regional.

Dalam berbagai pertemuan ekstradisi itu terus menjadi perhatian bahkan pada FGD yang bertujuan sebagai persiapan menyambut Pertemuan ASEAN Working Group on Extradition yang Ke-3 ini, Prof. Huala Adolf, SH., LLM., Ph.D (Guru Besar UNPAD-Bandung) menegaskan lagi Indonesia sebenarnya menghendaki hard law, aturan yang kuat dan mengikat. Hal ini untuk memperkuat kerjasama di bidang hukum yang menekankan pada pengaturan tentang ekstradisi.

Direktur Hukum Internasional Ditjen AHU, Chairijah,SH.,MH.,Ph.D. mengatakan, semua negara anggota ASEAN telah memiliki undang-undang ekstradisi, dan masing-masing negara telah memiliki prosedural domestik untuk ekstradisi. Indonesia mengharapkan terbentuknya perjanjian ekstradisi  ASEAN seperti MLAT (Mutual Legal Assistance Treaty). (ft)