FGD PENGKAJIAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN HKI MELALUI PEMBENTUKAN  PENYELESAIAN SENGKETA ACARA CEPAT (SMALL CLAIM COURT)

Jakarta, WARTA BPHN

Indonesia merupakan negara anggota GATT/WTO yang telah meratifikasi perjanjian WTO dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Salah satu persetujuan penting tersebut mengenai Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs) yang mengatur standar mengenai keberadaan, lingkup dan penggunaan HKI, dengan menggunakan prinsip kesesuaian penuh (full compliance) sebagai syarat minimal bagi Negara pesertanya. Ini berarti, Indonesia sebagai negara peserta persetujuan TRIPs wajib menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasional mengenai HKI secara penuh terhadap perjanjian-perjanjian internasional di bidang HKI tersebut, demikian Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Pocut Eliza saat membuka kegiatan Focus Group Discussion tentang Perlindungan HKI melalui Pembentukan Penyelesaian Sengketa Acara Cepat (Small Claim Court) di BPHN, Senin (09/11).

                Selanjutnya beliau menjelaskan pula bahwa dalam Persetujuan TRIPs, diatur mengenai penegakan hukum di bidang HKI dengan upaya penyelesaian hukum yang cepat dengan menggunakan hukum acara peradilan perdata. Namun mengenai ketentuan mengenai small claim court (SCC) belum diatur dalam hukum acara perdata nasional, disebabkan hukum acara perdata yang ada masih menggunakan hukum acara perdata produk kolonial Belanda. Dan saat ini Kemenkumham sedang menyiapkan RUU tentang Hukum Acara Perdata yang memasukan ketentuan SCC ini dengan nilai gugatan maksimal 50 juta rupiah yang perkaranya meliputi utang piutang yang timbul berdasarkan perjanjian; kerusakan barang yang timbul berdasarkan perjanjian; cedera badan pribadi yang timbul berdasarkan perjanjian dan pembatalan perjanjian. Dalam hal pembatalan perjanjian adalah pembatalan perjanjian secara sepihak yang bertentangan dengan syarat sahnya suatu perjanjian atau berdasarkan Pasal 300 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menegaskan bahwa peradilan niaga selain berwenang memeriksa perkara di bidang kepailitan juga berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang, yaitu peraturan perundang undangan di bidang HKI yang telah tersebut di atas.

Dengan demikian, Pengadilan Niaga merupakan badan peradilan yang berwenang untuk menangani perkara bagi para pihak yang dirugikan sehubungan dengan pemakaian hak intelektual seperti merek, ciptaan dan paten oleh pihak yang tidak berhak. Kemungkinan dengan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)  maka akan banyak terjadi kasus-kasus sengeta dagang yang butuh penanganan cepat.

                Yang menjadi masalah adalah peradilan niaga hanya terdapat di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar, sehingga menyulitkan masyarakat yang akan berperkara di suatu daerah yang tidak terdapat peradilan niaga. Sementara menurut Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2014, perkara yang masuk ke Pengadilan Niaga selama tahun 2014 sebanyak 85 perkara. Sisa perkara tahun 2013 sebanyak jadi 260 perkara. Jadi jumlah yang ditangani pengadilan niaga pada tahun 2014 adalah  sebanyak 345 perkara. Perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Niaga tahun 2014 sebanyak 56 perkara, sehingga sisa perkara tahun 2014 sebanyak 289 perkara. Rasio penyelesaian perkara niaga tahun 2014 sebesar 16,23%.

Saat ini ada PERMA No. 2 Tahun 2015 yang mendefinisikan Small Claim Court adalah tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai materil paling banyak Rp 200 juta yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktian sederhana. Lebih lanjut PERMA ini menetapkan kriteria-kriteria perkara yang diselesaikan dengan mekanisme small claim court adalah perkara cidera janji (wanprestasi) dan atau perbuatan melawan hukum (PMH).

Terkait dengan jangka waktu, Perma ini menetapkan bahwa small claim court berlangsung paling lama 25 (dua puluh lima) hari sejak hari pertama.

Kajian ini sesuai dengan permasalahan yang berkembang di bidang kekayaan intelektual yang menuntut penyelesaian sengketa secara cepat. Apalagi para pembicara/narasumber yang dihadirkan adalah mereka yang berkompeten di bidangnya, begitu juga peserta yang mengikuti kegiatan ini adalah perwakilan dari berbagai unsur yang juga merupakan para stakeholder. Diharapkan kajian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan hukum di bidang HKI khususnya dalam hal penyelesaian perkara di peradilan niaga serta membawa hasil konkret untuk hukum kita kedepan. *tatungoneal