Jakarta BPHN - Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Pemnuhan Hak Kesehatan, Selasa (12/9), bertempat di Ruang Rapat Lantai 2, BPHN. Tujuan dari FGD ini ialah untuk melakukan analisis dan evaluasi terhadap perundang-undangan mengenai kesehatan.Acara dimulai dengan tanggapan dari semua peserta FGD kemudian dilanjutkan paparan dari narasumber. Hadir sebagai narasumber pada FGD tersebut adalah Dr. Asih Eka Putri dari Dewan Konsultan Martabat Jaminan Nasional dan Dr. M. Nasser dari Dewan Pakar PB IDI. Dr. Asih Eka Putri dalam paparannya menyoroti reformasi dalam regulasi kesehatan yaitu perlu menata ulang semua peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan dengan meletakkan SKN sebagai peraturan tertinggi di bidang kesehatan, mengatur kembali undang-undang rumpun kesehatan untuk disesuaikan dengan hirark/jenis peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan subsitem SKN, mengintgrasikan pendidikan nasional dengan sistem pembangunan perekonomian, dan melakukan simplifikasi perarutan dengan mengatur secara koheren dan kolektif serta perlu segera mengatur standar pelayanan kesehatan nasional dan pedoman nasional praktek kedokteran. Sedangkan M. Naser menyoroti disharmoni antara Perpres No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan dengan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kesehatan antara lain UU SJSN, UU BPJS dengan menguraikan beberapa pasal yang saling bertentangan. Lebih kanjut M. Naser menyampaiakan bahwa dengan adanya benturan antara perpres dengan undang-undanng menimbulkan konsekuensi yang serius antara lain:
1) Badan Hukum Publik (BHP) tidak sempurna dalam operasional karena keterbatasan yang diciptakan melalui beberapa Perpres yang kontra produktif karena berpotensi terjadinya konflik kewenangan dan konflik tanggung jawab. Sebagai contoh dalam membuat regulasi dan keputusan-keputusan operasional, BPJS tidak mandiri karena tergantung pada Regulator (kementerian Kesehatan). Semua atau hampir semua regulasi BPJS dibuat oleh Pemerintah (Kemenkes). Hal ini menyebabkan BPJS berada pada kedudukan hukum yang gamang, tidak jelas sehingga menyebabkan pertanggungan jawab hukum Badan Hukum Publik kepada Presiden tidak sempurna
2) BPJS Kesehatan tidak dapat sepenuhnya melakukan kewenangan operasional secara optimal dan mandiri sesuai perintah undang-undang karena menerima pembatasan-pembatasan yang tidak perlu yang selama ini diatur oleh peraturan perundangan dibawah undang-undang (Perpres)
“Walau masih harus dibuktikan dengan penelitian lanjutan bahwa kelemahan-kelemahan BPJS dalam pelayanan kesehatan dan kelemahan lain dilapangan serta terjadinya defisit sekitar 9 Triliun dalam 3 tahun beroperasi mungkin saja terjadi disebabkan antara lain oleh karena adanya benturan dan konflik kewenangan yang terjadi akibat langsung muatan Perpres yang bertentangan dengan amanah undang-undang yang pada gilirannya telah membuat BPJS terkungkung dan terbatas kualitas operasionalnya”, ujar Naser. (AAA/CF/RMH)