FGD Pembangunan Masyarakat yang Toleran

Jakarta-BPHN, Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional menyelenggarakan Focus Group Disucssion (FGD) dengan topik Pembangunan Masyarakat yang Toleran, Senin (11/9), bertempat di Ruang Rapat Lantai 2, BPHN. Kegiatan FGD ini merupakan tahapan dari kegiatan Kelompok Kerja (Pokja) yang telah dilakukan oleh BPHN yang salah satunya adalah mengenai masyarakat yang toleran.

Acara dimulai dengan sambutan Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum yang dibacakan oleh Ibu Eko Suparmiyati, S.H., M.H, Kepala Bidang Sosial Budaya, Pusat Analisis dan Evaluasi, BPHN. Dalam sambutan pembukaannya Ibu Eko menyampaikan bahwa dasar hukum dari tema ini adalah Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu. RPJMN dalam hal ini menyebutkan bahwa tantangan utama pembangunan dalam rangka memperbaiki krisis kepribadian bangsa termasuk intoleransi mencakup peningkatan kualitas sumberdaya manusia, pengurangan kesenjangan antarwilayah, dan percepatan pembangunan kelautan.  Indonesia sudah 72 tahun menjadi negara yang merdeka, namun merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa, masih menjadi masalah pokok dalam mencapai tujuan nasional. Konflik-konflik vertikal dan horizontal yang berdimensi kekerasan masih terjadi menyebabkan banyak terlanggarnya hak asasi manusia dan mengancam NKRI. Lebih lanjut Ibu Eko mengatakan bahwa Indonesia sudah 72 tahun menjadi negara yang merdeka, namun merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa, masih menjadi masalah pokok dalam mencapai tujuan nasional. Konflik-konflik vertikal dan horizontal yang berdimensi kekerasan masih terjadi menyebabkan banyak terlanggarnya hak asasi manusia dan mengancam NKRI.  FGD ini mengangkat dua sub topik yang dibagi alam 2 sesi yaitu Efektivitas Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Permasalahan dan Kendala Pelaksanaan Undang-Undang No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dalam Mewujudkan Masyarakat.

Pada sesi 1, Ismail Hasani yang merupakan  Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta &Direktur Riset SETARA Institute menyampaikan bahwa SETARA Institute mencatat sedikitnya terdapat 232 peraturan perundang-undangan yang menjadi justifikasi dan mendorong penguatan intoleransi di tengah masyarakat termasuk dalam bentuk state favouritism. Sedangkan Komnas Perempuan (2016) mencatat setidaknya terdapat 421 peraturan daerah dan kebijakan daerah lainnya yang mengandung muatan diskriminatif. Dalam konstruksi hukum hak asasi manusia peraturan perundang-undangan yang intoleran dan diskriminatif tersebut bisa dikualifikasi sebagai violation by rule, karena posisinya yang memperkuat atau mendorong terjadinya berbagai pelanggaran hak asasi manusia. BPHN sebagai institusi yang memiliki otoritas, sudah tepat melakukan pengkajian sebagaimana yang dilakukan oleh Pokja ini, dan diharapkan betul-betul menjadi landasan penyusunan kebijakan baru, paket kebijakan reformasi hukum jilid II.

Wahyu Wagiman narasumber pada sesi 1 menyampaikan beberapa titik krusial terjadi intoleransi yang disebabkan oleh antara lain  Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah bukan hanya membiarkan, namun beberapa terkesan mendukung bahkan memfasilitasi tindakan dan kebijakan intoleransi tersebut; beberapa maraknya  kekerasan dan intoleransi atas nama agama, baik yang ditujukan kepada kelompok-kelompok minoritas agama, maupun kelompok yang dipandang tidak sepaham dalam satu agama; masih menjadi titik kritis adalah gelombang kekerasan dan intoleransi atas nama agama, baik yang ditujukan kepada kelompok-kelompok minoritas agama, maupun kelompok yang dipandang tidak sepaham dalam satu agama. Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah bukan hanya membiarkan, namun beberapa terkesan mendukung bahkan memfasilitasi tindakan dan kebijakan intoleransi tersebut.

Pada sesi II FGD ini telah menghadirkan Dr. Molan Tarigan, S.H., Direktur Instrumen HAM, Ditjen HAM, Kementerian Hukum dan HAM hadir sebagai narasumber. Diadakannya FGD ini karena untuk memfokuskan HAM dan penghapusan diskriminasi ras dan etnis. Lebih di fokuskan perundang-undangan dan sistem hukum di Indonesia (AAA/RMH/CF).