FGD Pembangunan Industri Wisata Bahari

 Jakarta-BPHN, Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional mengadakan Focus Group Discussion (FGD)  tentang Pembangunan Industri Wisata Bahari Rabu (13/9).  Penyelenggaraan FGD merupakan rangkaian dari kegiatan Kelompok Kerja (Pokja) Analisis dan Evaluasi Hukum mengenai Pembangunan Industri Wisata Bahari. Acara FGD di buka oleh Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, Ibu Pocut Eliza, S.Sos., S.H., M.H. Dalam sambutannya beliau mengatakan bahwa pengaturan pembangunan industri wisata tidak hanya terkait dengan UU kepariwisataan melainkan terkait dengan pengaturan di sektor lainnya seperti kelautan, kehutanan, lingkungan hidup, sumber daya alam lainnya, dan sebagainya. Oleh karena itu dengan analisis dan evaluasi hukum diharapkan peraturan perundang-undangan di satu sektor dengan sektor lainnya dapat berjalan secara harmonis karena dalam melakukan analisis dan evaluasi hukum kita melakukan analisis dan evalauasi baik terhadap substansi hukum, struktur hukum, maupun budaya hukum.

FGD dibagi dalam 2 sesi, pada sesi pertama dengan narasumber Prof. Dr. Ir. Rokmin Dahuri dengan topik pembangunan industri wisata bahari yang berdaya saing, inklusif dan berkelanjutan dalam rangka pemberdayaan ekonomi kelautan. Dalam paparannya Prof Rokhmin mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi wisata bahari yang sangat besar karena sebagian besar wilayahnya adalah lautan. Pariwisata bahari merupakan salah satu sektor  dari 11 sektor ekonomi kelautan yang dapat meningkatkan akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional.  Namun sampai saat ini, kontribusi sektor pariwisata bahari bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa masih relatif dan terdapat pula tantangan dalam pembangunan antara lain; sensitivitas lingkungan pantai dan pesisir, dampak lingkungan, ekonomi dan sosial budaya dari kegiatan wisata bahari. Selain itu karakter pulau pulau kecil yang memiliki beberapa keterbatasan sumber daya seperti energi, bahan material bangunan serta ketergantungan dengan akses laut dan udara, menyebabkan pembangunan fasilitas dan aksesibilitas memerlukan biaya tinggi dan lintas sektor. Sementara dalam konteks pembangunan pariwisata bahari harus bisa mewujudkan pembangunan yang berdaya saing, inklusif dan berkelanjutan. Untuk menjamin keberlanjutan (sustainability) pariwisata bahari maka, semua pembangunan (bisnis) pariiwsata bahari harus dikerjakan secara ramah lingkungan dan menganut prinsip-prinsip pembnagunan berkelanjutan (sustainable development).

Pada sesi  kedua dengan narasumber Ir. Suharyanto.,M.Sc (Direktur Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan), dengan topik Pengaturan Zonasi Dalam Pengelolaan Ruang Laut dan Kaitannya  dengan Pengembangan  Industri Wisata Bahari. Dalam paparannya Suharyanto mengatakan bahwa masih sering terjadinya konflik pemanfaatan wilayah pesisir karena belum adanya tata ruang yang terencana di wilayah peisisr yang mengakibatkan tidak adanya strategi dan arah kebijakan pembangunan wilayah pesisir. Sebagian besar daerah belum  memiliki Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K)  sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 7 UU No 27 Tahun 2007 Jo Uu No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) dan pengaturan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K) yang dalam UU PWP3K  yang harus diserasikan, diselaraskan dan diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah  (RTRW) tidak sesuai dengan konsep negara Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelago state), seharusnya menurut Suharyanto justru RTRW yang menyesuaikan dengan RZWP3K.  

Permasalahan yang menonjol dalam FGD ini adalah terkait dengan masalah zonasi khususnya kelembagaannya. Dalam Lampiran UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah kewenangan perihal urusan dan sub urusan bidang kelautan dan perikanan hanya ada pada pemerintah pusat dan provinsi, sementara pembagian urusan pemerintahan bidang pekerjaan umum dan penataan ruang mempunyai kewenangan yang sama baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi, maupun pemerintah kabupaten/kota yakni untuk melaksanakan penyelenggaraan penataan ruang di level nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Dengan demikian, maka RZWP3K hanya dapat dibentuk pada level provinsi, sedangkan RTRW dapat dibentuk pada level nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Jadi perlu sinkronisasi kelembagaan di tingkat kabupaten/kota dalam penyusunan zonasi dalam hal ini antara RTRW dan RZWP3K.

Acara ini dihadiri oleh stakeholders terkait antara lain Kementerian Pariwisata, Kementerian ATR, Bappenas, BNSP,Kementerian Perhubungan, Barekraf, Care Tourism, Kiara, dan Gahawisri dengan moderator Ir. Soehartini Sekartjakrarini. Ph.D (pengamat pariwisata).

Diharapkan melalui FGD ini  dari narasumber dan pembahas FGD dapat diperoleh masukan, saran sekaligus informasi khususnya yang terkait dengan dimensi potensi disharmoni, efektivitas Implementasi PUU, sekaligus memperkaya dan mempertajam hasil analisis dan evaluasi yang dilakukan oleh Pokja.  (AAA/RMH/CF)- editing Nur