EVALUASI EX-POST PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBENAHAN SISTEM HUKUM NASIONAL

Pada hari Rabu, 24 Juni 2015 lalu Puslitbang Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) mengadakan kegiatan Continuing Legal Education dengan topik  “Evaluasi Ex-post Terhadap Peraturan Perundang-undangan Dalam Rangka Pembenahan Sistem Hukum Nasional”. Kegiatan dibuka oleh Plh. Kapuslitbang, Agus Subandriyo, S.H., M.H. dan dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh narasumber, Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H.,M.H., Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember.

 

Dalam paparannya, Dr. Bayu mengemukakan evaluasi peraturan perundang-undangan sebagai salah satu upaya untuk menjawab tantangan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berkualitas di Indonesia. Selama beberapa dekade terakhir ini, tren global menitikberatkan pada evaluasi dampak suatu proposal peraturan perundang-undangan sebelum diterapkan (evaluasi ex-ante) dan memberi sangat sedikit perhatian pada evaluasi dampak suatu peraturan perundang-undangan setelah diterapkan (evaluasi ex-post).

 

Padahal, sebaik-baiknya evaluasi ex-ante tidak akan mampu memprediksi 100% dampak penerapan suatu aturan hukum karena kualitas suatu hukum baru dapat diketahui setelah hukum itu diterapkan. Karenanya, evaluasi ex-post sangat penting untuk dilakukan terhadap hukum yang sudah ada (existing law) untuk menemukan kekurangan dan hal-hal yang harus diperbaiki dalam rangka pembangunan hukum ke depannya.

 

Di Indonesia, evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan yang ada dilakukan secara tersebar oleh lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sesuai dengan kewenangan masing-masing. Belum ada lembaga khusus yang fokusnya melakukan analisa dan evaluasi peraturan perundang-undangan secara menyeluruh. Akibatnya, evaluasi selama ini masih bersifat parsial, tidak terencana karena sangat bergantung pada lembaga-lembaga tersebut. Kondisi ini, juga didorong dengan paradigma pembentuk undang-undang yang masih mengedepankan kuantitas, membuat Indonesia mengalami persoalan hiper-regulasi yang perlu ditanggulangi secara cermat.

 

Dr. Bayu mengusulkan agar Kementerian Hukum dan HAM dapat menjadi kementerian yang bertanggungjawab melakukan evaluasi ex-post terhadap peraturan perundang-undangan. Ia memandang BPHN sebgai lembaga yang paling tepat melakukan evaluasi peraturan perundang-undangan dan karenanya tidak perlu membuat lembaga baru sebagaimana diusulkan sebelumnya oleh OECD terhadap Indonesia. Hal ini bergayung sambut dengan telah disahkannya Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 tentang Kementerian Hukum dan HAM yang di dalamnya menugaskan BPHN melakukan analisa dan evaluasi hukum. Pada 2016 diharapkan Pusat Analisa dan Evaluasi sebagai unit di BPHN yang ditugaskan melakukan analisa dan evaluasi hukum telah dapat menjalankan tugasnya. Sementara itu, evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat diserahkan pada kementerian atau lembaga yang memprakarsai pembentukannya dengan koordinasi Kementerian Hukum dan HAM c.q. BPHN.

 

Dengan jumlah regulasi yang mencapai ribuan, langkah pertama yang perlu dilakukan dalam melakukan evaluasi ex-post adalah pemetaan persoalan regulasi yang dihadapi. Setelah itu perlu dibuat sebuah dokumen perencanaan reformasi regulasi yang menguraikan secara jelas tahapan-tahapan reformasi regulasi yang akan dilakukan dan tanggungjawab tiap-tiap lembaga dalam proses tersebut. Hal ini yang dilakukan negara-negara yang telah lebih dulu melakukan reformasi regulasi seperti Finlandia, Jerman, dan Vietnam. Dengan demikian, proses reformasi regulasi dapat memiliki arah yang jelas dan memberi hasil yang efektif.

 

Mengenai prosedur evaluasi peraturan perundang-undangan, Dr. Bayu mengusulkan agar evaluasi dilakukan berkala dalam kurun waktu 3-5 tahun setelah peraturan ditetapkan. Kurun waktu 3-5 tahun didasarkan pada periode satu pemerintahan dengan maksud agar ketika evaluasi dilakukan, kebijakan pemerintahan yang membentuk undang-undang masih mudah ditelusuri karena belum diganti pemerintahan baru. Terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum ketentuan prosedur evaluasi ditetapkan, evaluasi dapat dilakukan secara tematik dengan cara-cara yang cepat dan sederhana.

 

Di akhir uraiannya, Dr.Bayu mengusulkan instrumen evaluasi peraturan perundang-undangan yang mengacu pada 3 prinsip keberlakuan yakni keberlakuan yuridis, keberlakuan sosiologis, dan keberlakuan teknis. Selain itu juga disinggung mengenai prinsip keberlakuan moral atau ideologis yang nantinya akan merujuk pada Pancasila.

 

Keseluruhan gagasan tersebut mengukuhkan urgensi dilakukannya evaluasi ex-post terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia dan peran strategis yang dapat dilakukan BPHN. Beriringan dengan penerapan evaluasi ex-ante, evaluasi ex-post diharapkan dapat meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan di Indonesia dan lebih besar lagi, pada pembenahan sistem hukum nasional kita (vio).