Dua Isu Krusial terkait Ketenagalistrikan

Jakarta, BPHN.go.id - Sulitnya pelaksanaan ketentuan yang mewajibkan setiap instalasi pemanfaatan tenaga listrik untuk memiliki Sertifikat Laik Operasi/SLO, hingga persoalan terhambatnya pemanfaatan Energi Terbarukan bagi pembangkitan tenaga listrik menjadi dua Permasalahan krusial yang mengemuka dalam FGD (Focus Group Discussion) Temuan Kelompok Kerja (Pokja) Analisis dan Evaluasi Hukum terkait Ketenagalistrikan yang digelar dua hari pada 17-18 Juli di Hotel Veranda, Jakarta Selatan.

 

Merujuk Pasal 44 ayat (4) UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dan Pasal 46 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, diatur setiap pemanfaatan tenaga listrik wajib memiliki SLO. Kewajiban ini tanpa pengecualian, tidak hanya terbatas bagi industri, tetapi juga bagi rumah tangga, baik yang menggunakan tegangan tinggi, menengah maupun rendah.

Pemerintah sendiri telah menentukan standar pembangunan dan pemasangan listrik serta jasa konsultan kelistrikan terakreditasi. Namun, masyarakat pengguna tenaga listrik masih belum mengetahui mengenai kewajiban tersebut sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 27 Tahun 2017 tentang Tingkat Mutu Pelayanan dan Biaya Yang Terkait dengan Penyaluran Tenaga Listrik Oleh PT PLN (Persero). Tantangan lain yang dihadapi adalalah belum tersosialisasinya badan usaha yang terakreditasi dan telah bersertifikat SLO sekalipun telah dipublikasikan melalui laman resmi Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM.

Dalam diskusi, turut mencuat pula isu terkait implementasi Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik. ketentuan tersebut menghambat target capaian bauran Energi Terbarukan di sektor ketenagalistrikan sebagaimana Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang ditetapkan melalui Perpres Nomor 22 Tahun 2017, Padahal, pencapaian bauran Energi Terbarukan tersebut membutuhkan investasi yang sangat besar.

Di sisi lain, Kementerian ESDM memiliki pandangan bahwa Permen Nomor 50 Tahun 2017 merupakan solusi bagi kelemahan pelaksanaan penyediaan Energi Terbarukan di sektor ketenagalistrikan yang selama ini banyak yang mangkrak dan membuat beban yang berat bagi PLN.

Pencapaian bauran Energi Terbarukan ini membutuhkan investasi yang sangat besar, yang tidak mungkin jika tidak mengikutsertakan sektor swasta, sebagai mitra PLN. Permen ESDM ini dianggap mengakibatkan usaha energi terbarukan menjadi tidak bankable bagi pelaku usaha energi terbarukan, karena menentukan skema penentuan tarif listrik yang berdasarkan Biaya Pokok Pembangkitan (BPP) Pembangkitan setempat dan pola Build, Own, Operate, and Transfer/BOOT.

Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional, Liestiarini Wulandari, mengharapkan agar Pokja ini merumuskan rekomendasi terkait kedua isu krusial ini secara cemat, agar dapat dilaksanakan dan memperoleh outcome yang bermanfaat bagi masyarakat.

Patut diketahui, FGD yang yang diselenggarakan oleh Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) bertujuan untuk membahas masalah hukum di sektor ketenagalistikan sebagai bahan rujukan bagi perumusan rekomendasi Pokja. Tim Pokja diketuai oleh Dr. Tri Hayati dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) dengan anggota dari Biro Hukum Kementerian ESDM, Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Asosiasi Kontraktor Listrik Indonesia (AKLI), Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, PT PLN (Persero), Kementerian Kordinator Bidang Perekonomian dan Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN. (YK/NNP)

 

Editor: Erna Priliasari